Zaman penjajahan dulu, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang dirasa membahayakan kepentingan pemerintah kolonial sering dibuang ke tempat-tempat terpencil di Nusantara. Di sana, mereka dijadikan tahanan politik dan dijauhkan dari rekan-rekan sesama pejuang.
Dari sekian banyak lokasi yang biasanya dijadikan tempat pengasingan, inilah enam yang paling sering disebut dalam buku-buku sejarah:
1. Ende
Sampai sekarang pun Kota Ende yang terletak di pesisir selatan Pulau Flores masih sepi. Saking sunyinya, melihat matahari terbenam dari dermaga akan terasa seperti melepas sang surya bungy jumping di ujung dunia.
Tak terbayangkan rasanya bagaimana diasingkan di sini antara tahun 1934-1938 seperti yang dialami Bung Karno sebagai tahanan politik dan keluarga kecilnya. Tapi, konon Endelah—budaya dan alamnya—yang menginspirasi Bung Karno dalam menemukan formulasi paling pas dari Pancasila.
Rumah pengasingan Bung Karno di Ende terletak di sebuah jalan kecil bernama Jl. Perwira. Rumahnya mungil, hanya terdiri dari beberapa kamar. Di sini dipajang benda-benda peninggalan Bung Karno selama diasingkan di jantung Flores ini, seperti perabotan, lukisan, buku-buku, sampai naskah tonil atau drama.
2. Boven Digoel
Lokasi ini barangkali adalah lokasi internir yang paling ditakuti oleh para pejuang kemerdekaan. Sebabnya jelas. Pertama, lokasinya paling terpencil sehingga kecil kemungkinan untuk bisa kabur. Kedua, para tawanan selalu dihantui oleh ancaman penyakit malaria yang sewaktu-waktu bisa merenggut nyawa.
Diresmikan pada 1927, Boven Digoel (boven adalah bahasa Belanda dari upper atau atas, sehingga Boven Digoel berarti Digoel Atas) yang terletak di ujung timur Pulau Papua ini sengaja didirikan pemerintah kolonial untuk menampung tahanan politik yang terlibat dalam pemberontakan komunis tahun 1926.
Dibentengi oleh alam liar, Boven Digoel tak ubahnya seperti Siberia semasa Uni Soviyet dulu. Bung Hatta dan Sjahrir pernah diasingkan selama sekitar 2 tahun ke Boven Digoel sebelum dipindahkan ke Banda Neira yang dinilai lebih “manusiawi.”
3. Banda Neira
Banda Neira yang terletak di Maluku Tengah, Maluku, dahulunya adalah jantung Kepulauan Rempah yang dicari para pedagang Eropa di pertengahan milenium ke-2. Namun seiring dengan berkurangnya pengaruh VOC dan diselundupkannya bibit-bibit pala ke koloni-koloni Eropa lain, kian lama Kepulauan Rempah kian dilupakan.
Ketika Bung Hatta dan Sjahrir diasingkan sebagai tahanan politik selama 6 tahun antara 1936-1942, Banda sedang sepi-sepinya. Di pulau itu, untuk mengusir rasa bosan kedua bapak bangsa tersebut menghabiskan waktu dengan membaca buku, mengajar anak-anak, dan bersampan di sekitar Kepulauan Banda. Dan sampai sekarang pun akses menuju ke Banda Neira masih belum terlalu lancar.
4. Berastagi
Kota yang dingin ini terletak di Kabupatan Tanah Karo, Sumatera Utara. Selain terkenal dengan buah markisa, Berastagi juga masuk dalam sejarah sebagai tempat Bung Karno diasingkan ketika Belanda melakukan Agresi Militer II pada tahun 1948.
Bersama Bung Karno, Haji Agus Salim dan Sutan Sjahrir juga ikut diasingkan. Namun hanya 12 hari ketiga bapak bangsa Indonesia itu berada di Berastagi. Atas alasan keamanan mereka kemudian dipindahkan ke Parapat di pinggir Danau Toba.
Rumah pengasingan Bung Karno di Berastagi bisa kamu temukan di Jl. Sempurna, Belakang Bukit Kubu. Gampang sekali menemukannya sebab di depan rumah tua itu ada patung raksasa Bung Karno sedang duduk.
5. Bangka
Dari Berastagi dan Parapat, pada Februari 1949 Soekarno kemudian dipindahkan ke ujung barat Pulau Bangka, yakni Kota Muntok (atau Mentok) menyusul jejak Bung Hatta dan para pejuang lain yang dua bulan sebelumnya sudah terlebih dahulu diasingkan ke sana.
Para pejuang itu ditempatkan di sebuah wisma di Bukit Menumbing. Salah satu yang ikonik di rumah pembuangan Bung Karno di Bangka itu adalah sebuah mobil Ford berplat nomor BN 10 yang konon dahulunya biasa dipakai oleh Bung Hatta.
Di masa kini, Muntok bisa kamu capai baik dari Pangkalpinang maupun dari Palembang. Dari Pangkalpinang, kamu tinggal naik bis. Sementara dari Palembang kamu mesti naik ferry selama sekitar 8-10 jam, tergantung cuaca.
6. Pulau Buru
Pulau Buru tiba-tiba menjadi ramai setelah G30S ketika dijadikan sebagai lokasi pengasingan mereka-mereka yang terlibat peristiwa berdarah itu. Jalan-jalan ke pulau ini akan terasa sangat menyenangkan jika kamu menyukai sejarah dan petualangan.
Sampai sekarang pun akses menuju pulau ini masih lumayan susah sehingga belum terlalu banyak para pelancong domestik yang sengaja datang jauh-jauh ke Pulau Buru. Dan tahukah kamu bahwa di pulau inilah sastrawan Pramoedya Ananta Toer membangun cerita empat novel legendaris yang sekarang dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.