Roti Widoro adalah legenda bagi masyarakat yang tinggal di seputaran wilayah Sukoharjo. Bukan hanya karena cita rasanya yang cukup khas, melainkan juga sejarah serta budaya yang turut serta membentuknya.
Demi mengobati rasa penasaran, sekaligus dalam rangka menyelesaikan pekerjaan saya untuk mendokumentasikan ragam olahan kuliner sewaktu bekerja di perusahaan televisi swasta kala itu, saya pun bersama tim produksi melesat jauh dari tempat bermalam saya di Jalan Supriyadi Surakarta untuk menyambangi rumah produksi roti yang dikenal memiliki cita rasa yang cukup klasik ini.
Olahan kue ini dinamakan roti Widoro karena memang hanya dapat dijumpai di Dusun Widoro, Desa Kepuh, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Lokasi rumah produksi yang sekaligus menjadi gerai penjualan roti ini mudah ditemukan, sebab berada tepat di sebelah Sungai Kepuh, jalan raya utama Wonogiri – Sukoharjo.
Resep warisan
Hari masih cukup pagi ketika saya dan kawan-kawan tiba di rumah sekaligus tempat produksi olahan kudapan ini, namun proses produksi di dapur sudah hampir selesai. Sebagian adonan sudah dipanggang, beberapa potong roti jadi tengah didinginkan.
Olahan makanan kategori kue milik keluarga Mbah Wongsodinomo ini memang hampir setiap hari hanya memproduksi dalam jumlah cukup terbatas. Mereka hanya memproduksi kue sedari subuh hingga pukul 9 pagi. Karena sejak berdiri hingga kini rumah produksi ini masih menjalankan proses secara tradisional, minim bantuan mesin modern, mereka tidak bisa memproduksi bahan adonan dengan kuantitas banyak layaknya produsen kue atau roti modern lainnya.
Selain itu, satu lagi keunikan dari olahan ini adalah penggunaan beberapa bahan dasar yang tidak umum ditemukan dalam adonan olahan roti lainnya. Meskipun juga memakai tepung terigu sebagai bahan utama, roti Widoro yang unik ini tidak menggunakan mentega dan pengembang. Sebagai gantinya, ia dicampurkan telur bebek dalam jumlah yang cukup banyak untuk menyatukan dan mengembangkan adonan.
Keunikan lainnya adalah penggunaan gula pasir dengan takaran relatif banyak sebagai pemanis, sekaligus berfungsi sebagai pengawet alami adonan. Sementara, sebagai penambah aroma sekaligus penetralisir bau amis dari telur bebek, digunakan parutan kulit jeruk purut. Ketiga bahan ini adalah kunci dalam pembuatan roti Widoro.
Resep yang sudah bertahan selama empat generasi ini ditemukan pertama kali oleh Mbah Wongsodinomo. Beliau mendapatkan resep olahan roti ketika menjadi salah seorang juru masak Keraton Kasunanan Surakarta. Sejak tahun 1922 Roti Widoro memang masih mempertahankan komposisi bahannya. Kualitasnya pun terus dijaga hingga sekarang. Setelah Mbah Wongsodinomo wafat tahun 1975, perusahaan roti ini dilanjutkan oleh Ibu Tamtinah bersama keluarga besarnya. Kini, keponakannya turut membantu dan melanjutkan bisnis keluarga ini.
Roti cantik untuk tradisi hantaran
Bagi saya, roti adalah sebuah kuliner yang menarik. Olahan makanan yang konon berasal dari daratan Eropa ini sudah cukup lama mewarnai keragaman kuliner Indonesia. Bahkan, tidak sedikit sudah menjadi bagian tradisi serta budaya. Misalnya saja masyarakat Betawi. Ketika menggelar acara pernikahan, tidak akan komplet rasanya bila tak ada roti buaya sebagai salah satu dari beberapa syarat hantaran.
Begitu pula dengan roti Widoro. Bagi masyarakat seputaran Dusun Widoro, olahan camilan ini sudah menjadi bagian dari tradisi. Hampir di setiap helatan acara pernikahan maupun hajatan lain, olahan camilan keluarga Mbah Wongsodinomo ini akan hadir, baik sebagai suguhan untuk teman minum teh atau kopi bagi para tamu atau sebagai hantaran bagi salah satu keluarga mempelai.
Selain itu, makanan ini juga sering kali menjadi buah tangan yang dibawa para perantau untuk kerabat atau handai taulan sepulang mudik dari Sukoharjo. Penampilan khas dan cantik dari camilan klasik ini barangkali adalah alasan yang membuatnya selalu jadi pilihan. Apalagi, setiap potong rotinya selalu dibubuhi tulisan tangan “Roti Widoro” yang terbuat dari adonan gula pasir dan putih telur. Ini menjadi semacam signature bagi roti unik dengan nilai historis tinggi ini.
Kesederhanaan adalah kunci
Semasa berkeliling ke berbagai penjuru Indonesia untuk sebuah program kuliner sebagai seorang jurnalis televisi swasta, memang tidak jarang saya menjumpai toko roti penyintas zaman. Namun, beberapa rumah produksi itu tampaknya sudah mendapat pengaruh modernisasi. Beda halnya dengan Roti Widoro yang tidak banyak mengalami perubahan. Mereka tetap mempertahankan kesederhanaan dalam produknya, mulai dari bahan adonan, proses pembuatan, hingga pengemasan.
Penggunaan gula sebagai pemanis sekaligus pengawet alami, contohnya, membuat roti Widoro dapat bertahan hingga 10 hari, sedikit lebih lama bila dibandingkan olahan camilan sejenisnya yang tidak mengandung bahan pengawet. Selain itu usaha Roti Widoro juga cukup ramah limbah plastik, sebab rotinya dikemas secara sederhana dengan kertas sisa percetakan. Pembungkusannya juga tidak memakai staples, melainkan batang lidi.
Menurut Rayendra, penerus usaha keluarga ini, menggunakan stapler akan menghasilkan bungkus yang tidak rapi. Selain itu, stapler tidaklah aman, sebab staplesnya dapat saja tertelan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Sarjana psikologi dari universitas negeri di Semarang. Sebelum jadi pekerja lepas bidang audiovisual, pernah jadi buruh tinta di televisi swasta nasional selama 7 tahun.
2 comments
sayang… tidak bisa online shopping roti ini…. 🙂
Kayaknya memang sengaja supaya orang-orang tetep main ke sana, Kak. 🙂