TRAVELOG

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)

Perjalanan masih berlanjut. Kali ini Toufan membawa kami ke Jalan Glatik untuk beristirahat sejenak. Tak jauh dari sini, tepatnya di Jalan Mliwis, terdapat pabrik sirup legendaris Kota Surabaya, Siropen, yang didirikan  J.C. van Drongelen pada 1923. Arsitektur bagian depannya masih bercirikan khas bangunan-bangunan era kolonial. Di sampingnya, ada penjual minuman Siropen. Cukup membayar Rp7.000, pengunjung bisa menikmati minum es Siropen.

Usai melalui Jalan Mliwis, Toufan kemudian membawa kami ke Jalan Jembatan Merah. Masih melewati beberapa gedung-gedung tua, tibalah kami di salah satu bangunan ikonis di seputaran jalan ini: Gedung Singa. 

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Pabrik sirup Siropen di Jalan Mliwis/Dewi Sartika

Gedung Singa

Penyebutan Gedung Singa mengacu pada keberadaan dua patung menyerupai singa yang ada di depan pintu masuk bangunan tersebut. Lebih tepatnya hewan mitologi yang memiliki sayap, bentuknya mirip sphinx. Kedua patung ini dibuat Da Costa de Mendes, pematung terkenal Eropa.

Hal lain yang membuat Gedung Singa istimewa yaitu mozaik rancangan seniman berdarah Belanda, Jan Toorop. Mozaik menggambarkan dua perempuan mengangkat bayi. Sosok berpenampilan menyerupai Firaun berada di tengah-tengahnya.

“Jadi, mozaik ini ada artinya. Yang kiri orang Eropa, yang kanan perempuan Jawa pribumi. Keduanya menggendong anak. Anak yang kiri gembira, yang kanan nangis. Terus dewanya yang di tengah-tengah itu, kakinya yang sebelah kiri menghadap perempuan Eropa. Itu rasis, ya, memilih perempuan Eropa,” terang Toufan kepada kami di seberang gedung.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Tampak depan Gedung Singa/Dewi Sartika

Mulanya, Gedung Singa merupakan Kantor Perusahaan Umum Asuransi dan Tunjangan Hari Tua (Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente), sebuah perusahaan asuransi terbesar di Hindia Belanda kala itu. Pembangunannya diarsiteki Hendrik Petrus Berlage, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hemert. Saat ini, Gedung Singa dimiliki perusahaan asuransi Jiwasraya dan dibiarkan kosong.

Di seberang jalan Gedung Singa, ada bekas halte untuk menunggu kedatangan trem dan berfungsi juga sebagai tempat memarkir kendaraan. Hingga kini, bentuk bangunan yang atapnya dari tembok ini tak berubah sama sekali. Sekarang, beberapa pedagang memanfaatkan tempat ini untuk jualan.

“Hal menarik lainnya, dahulu tempat ini enggak setinggi ini, ya, alias lebih rendah dari jalan maupun gedung-gedung itu,” tambahnya.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Bekas halte trem dan tempat parkir/Dewi Sartika

Gedung Radar Surabaya

Selanjutnya, kami menuju Roode Brug alias Jembatan Merah yang letaknya tak jauh dari Gedung Singa. Menurut Toufan, jembatan ini sudah tidak asli lagi. Jembatan Merah berdiri di atas Kali Mas. Jalur transportasi utama di masa kolonial ini menghubungkan Jalan Rajawali dan Kembang Jepun (Pecinan). Dulunya di sekitar jembatan pernah berdiri kantor residen Surabaya. Jejak keberadaan kantor residen tak berbekas sama sekali karena bangunan tersebut dihancurkan untuk akses jalan.

Setelah melewati Jembatan Merah, kami menuju kantor Radar Surabaya. Tak kalah dengan Gedung Singa, arsitektur gedung ini juga tak kalah menawan. Dengan dominasi warna putih, gedung bertingkat ini dilengkapi jendela-jendela besar berteralis di bagian bawahnya. Bagian depan menuju pintu masuk berbentuk melengkung sebagaimana Gedung Singa.

Gedung ini awalnya milik Unie Bank voor Nederland en Koloniën. Dibangun pada 1880. Sesudah kemerdekaan, bangunan ini digunakan sebagai kantor media cetak The Java Post milik orang Tionghoa. Selanjutnya, The Java Post diakuisisi lalu berganti nama menjadi Jawa Pos. 

Meskipun disebutkan berdiri pada abad ke-19, tetapi bangunan ini tidak mencirikan gaya indische empire dengan pilar-pilarnya yang khas. Menurut perkiraan Arief DKS, bangunan tersebut sudah mengalami renovasi di masa kolonial mengingat gaya bangunan dan ornamennya khas tahun 1900-an.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Radar Surabaya/Dewi Sartika

Beristirahat di Tepi Kali Mas

Selesai mengamati detail-detail ornamen yang ada di luar gedung tersebut, kami beranjak menuju Jalan Panggung. “Dinamakan Jalan Panggung karena dulunya rumah-rumah di sini bentuknya seperti panggung dan orang-orang Melayu tinggal di sini.”

Sebelum memasuki mulut gang, Toufan juga menerangkan, dahulu Jalan Panggung pernah menjadi pasar gelap transaksi opium. Tak hanya itu saja, ada terowongan menuju sungai untuk menyelundupkan opium.

Kami menyusuri Jalan Panggung yang meriah dengan bangunan bercat warna-warni. Makin ke dalam, bangunan-bangunan lawas bertingkat khas abad ke-19 terlihat jelas meski beberapa sudah direnovasi di sejumlah bagian. Hingga akhirnya, hidung saya membaui aroma rempah-rempah. Saya sempat membatin, kira-kira dari mana asal aroma ini, mengingat bangunan-bangunan di Jalan Panggung rata-rata digunakan sebagai toko sedang tutup di hari Minggu. Jawaban itu baru saya dapat ketika Toufan memberitahu ada toko obat-obatan tradisional terkenal di jalan ini.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Rumah-rumah bergaya indische empire di sepanjang Jalan Panggung/Dewi Sartika

Aroma rempah-rempah berangsur berkurang lalu berganti dengan bau amis ikan menjelang tiba di pertigaan Jalan Panggung. Para pedagang dengan hasil laut berganti bersahutan menawarkan ikan, kepiting, dan udang. Di sebelah kanan sebelum belok, mata saya tertuju pada Pasar Pabean yang memperdagangkan rempah-rempah. Saya belok ke kiri kemudian belok kanan.

Kami beristirahat di tepi Kali Mas. Di seberang berdiri Jembatan Merah Plaza (JMP). Dari tempat kami duduk yang dipisahkan jalan, terdapat permukiman padat penduduk. Berdekatan dengan rumah-rumah yang nyaris tak menyisakan ruang tersebut, berdiri menara syahbandar. 

“Ini menara syahbandar digunakan untuk mengawasi kapal-kapal yang datang ke sini. Kali Mas ini dulu, kan, pelabuhan sungai sebelum ada Tanjung Perak. Kita lihat di bangunan menara syahbandar ada gambar lambang, yang kiri lambang Surabaya lalu sebelah kanan lambangnya Jakarta,” jelas Toufan.

Beberapa teman memutuskan melihat lebih dekat menara syahbandar. Tak lupa memotret bangunan tersebut. Saya lebih memilih untuk duduk saja karena masih merasa kelelahan. Satu hal yang kemudian agak saya sesali begitu balik ke Malang.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Penampakan menara syahbandar/Dewi Sartika

Peristiwa 10 November 1945

Kami cukup lama beristirahat di tepi Kali Mas, mungkin sekitar satu jam sambil ngobrol dengan tema random yang berkaitan dengan sejarah. Sesudahnya, kami mengayunkan langkah ke Taman Sejarah dan Museum Hidup Kota Lama Surabaya. Di sini, pengunjung yang ingin mengelilingi Kota Lama Surabaya bisa menaiki kendaraan dengan tarif bervariasi. 

Kami sempat berhenti sejenak mendengarkan cerita Toufan mengenai Peristiwa 10 November 1945. Di sini terdapat replika sedan SB 723 yang dinaiki Jenderal Mallaby.

“Pas Jepang menyerah, senjatanya direbut para pejuang kita, Inggris datang ke sini karena sebagai mandat pemenang Perang Dunia II. Jadi, dia punya misi untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan Jepang serta menjaga ketertiban yang nantinya akan diserahkan ke NICA Belanda. Nah, orang Indonesia berpikir, ngapain diserahkan ke Belanda sementara kita sudah merdeka sehingga para pejuang siap-siap sekitar bulan Agustus dan September.”

Sembari bersimpuh sebentar karena kepayahan, Toufan melanjutkan kisah mengenai kedatangan Sekutu (Inggris) ke Surabaya pada 25 Oktober. Para serdadu Inggris menyebar ke kota, salah satunya adalah gedung Internatio yang berhasil dikuasai.

“Pada tanggal 26, 27, 28, 29, dan 30 terjadi perang kota. Akhirnya Sukarno didatangkan ke Surabaya untuk berdiskusi, terjadi gencatan senjata. Tapi, tanggal 30 Oktober masih terjadi tembak-tembakan antara pejuang kita dan tentara Inggris. Lalu, Mallaby datang, tapi enggak diperbolehkan masuk ke gedung oleh pejuang. Lalu, tiba-tiba pasukan Inggris dari India datang, menyiapkan mortir dan senjata untuk menembaki pejuang supaya Mallaby masuk ke mobil karena dikepung para pejuang saat menunggu perundingan selesai. Banyak pejuang yang tewas, ada juga yang sembunyi di sungai sementara di dalam mobil, sembunyi tiga orang termasuk Mallaby dan ajudannya. Karena banyak rekannya yang ditembaki, tiba-tiba datang seorang pemuda lalu menembaki. Lalu, ajudannya keluar dari pintu samping melemparkan granat ke arah pemuda tersebut. Granatnya meledak. Mati Mallaby.”

Saya mendengarkan dengan saksama penjelasan mengenai kematian Jenderal Mallaby. Ia meneruskan ceritanya, kematian Mallaby bisa jadi karena orang Inggris sendiri.

“Ketembak, iya, tapi belum tentu [langsung] mati. Kena granat pasti mati. Yang nembak itu lalu loncat ke Dul Arnowo, ’Wes, Cak. Wes tak beresi (sudah saya beresi, Cak)’. Saat Dul Arnowo tahu siapa yang diberesi pemuda itu, Dul Arnowo pun meminta pemuda tersebut diam saja alias tidak mengaku. Karena pemuda inilah yang menjadi penyebab pertempuran 10 November.”

Toufan mengaku mengenal pemuda tersebut yang bernama Abdul Aziz dari Ampel, pejuang PRI (Pemuda Republik Indonesia). Apa yang ia ceritakan hanyalah salah satu dari beberapa versi terbunuhnya Mallaby. Akibat kejadian ini, Inggris kemudian marah lalu menelepon Sukarno. 

Pertempuran pun terjadi. Inggris sempat memberikan ultimatum kepada warga kota. Pada 9 November keesokan harinya warga harus menyerahkan diri dengan senjata yang dimiliki mulai pukul enam  pagi di tempat-tempat yang telah ditentukan. Namun, ultimatum ini diabaikan. Akhirnya, tanggal 10 November, Surabaya dibombardir dari darat, laut, dan udara  sampai tiga minggu. Karena kalah, pada 1 Desember para pejuang kemudian keluar dari kota.

Usai mendengarkan penuturan Toufan mengenai Peristiwa 10 November, kami menuju titik akhir tur, Jalan Kasuari. Deretan pajangan berupa tulisan berisi sejarah Kota Lama Surabaya menarik perhatian saya. 

Salah satunya tertulis, Raja Mataram Pakubuwono II menyerahkan Surabaya kepada VOC sebagai imbalan atas tertangkapnya Trunojoyo. Sebelumnya, sesuai catatan penulis Portugis, Tome Pires di tahun 1511, wilayah Surabaya dipimpin Pate Bubat yang independen. Lalu, Surabaya diserang Kerajaan Mataram berkali-kali hingga berhasil ditaklukkan pada 1625.

Menjelajahi Sudut-Sudut Kota Lama Surabaya (3)
Gedung Internatio/Desi Mahargyani

Saya beralih ke tulisan lain yang menjelaskan asal-usul kata ‘Surabaya’. Ternyata nama kota ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti berani (melawan) bahaya. Sementara simbol Surabaya berupa ikan hiu dan buaya berasal dari cerita rakyat dan baru muncul di abad ke-19.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya berjalan melewati lapangan yang berada di samping gedung Internatio. Gedung Internatio dulunya merupakan kantor Internationale Credit Vereeniging Rotterdam. Beberapa anak sedang bermain bola. Seorang juru foto menghampiri salah satu dari kami, menawarkan jasanya. Kami menggeleng sebagai isyarat menolak. Sebenarnya saya pribadi ingin mengabadikan momen dengan latar gedung ini, tetapi apa ada daya, rasa lelah sudah benar-benar menggerogoti tubuh.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *