Tak hanya patung Kapolri pertama Indonesia, Jenderal Besar Soekanto saja yang sempat menyita perhatian saya. Tak jauh dari museum, sebuah gedung putih menjulang tinggi. Serupa dengan bangunan sebelumnya, gedung ini juga memiliki banyak daun jendela yang menjadi salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda. Di bagian tengah ada menara yang dihiasi jam pada bagian atasnya. Saat ini, gedung tersebut menjadi kantor Maybank dan terletak di pojok Jalan Cendrawasih.
Hanya beberapa langkah dari Maybank, Toufan mengajak kami berhenti sesaat di sebuah toko di Jalan Cendrawasih. Kesan jadul menjadi hal pertama yang saya lihat. Saya pun membatin, toko ini pasti berusia tua. Tak mungkin Toufan mengajak kami ke sini kalau bangunan ini bukan toko lawas.
Sebuah papan kayu dengan tulisan Kopi Sigan tergantung di bagian atas depan toko. Seiring langkah kami memasuki toko, aroma kopi menguar. Enak. Seorang perempuan dan laki-laki berjaga di depan. Dengan ramah keduanya menyambut kami. Beberapa merek kopi tersaji di etalase berkaca bening. Begitu pula barang-barang lain. Tak ketinggalan toples-toples kaca yang ada isinya juga tersaji. Suasana jadul benar-benar saya rasakan di toko ini. Dari keterangan penjaga, toko ini sudah ada sejak tahun 1930-an.

Lawang Sewu-nya Surabaya
Usai membeli kopi serta jajanan di Kopi Sigan, kami berjalan kembali. Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di gedung PTPN XI di Jalan Merak. Sebenarnya, kami tidak berniat masuk ke gedung ini. Namun, sepertinya Toufan menangkap peluang bisa memasukinya sewaktu mendapati ada dua bus yang terparkir di luar gedung.
“Mumpung ada yang mengunjungi gedung ini, kita coba masuk saja.”
Toufan kemudian memandu kami masuk ke gedung. Di dalam, rombongan siswa sekolah sedang melakukan foto kelulusan. Sedikit tergesa-gesa, saya meniti anak tangga menuju lantai dua. Kondisi di bagian atas lebih ramai lagi. Bersama yang lain saya lalu menuju teras.

“Gedung ini disebut juga sebagai Lawang Sewu-nya Surabaya,” ujar Toufan kepada kami. Memang dari luar, penampakan bangunan ini memang menyerupai Lawang Sewu.
Awalnya, gedung ini merupakan kantor Handelsvereeniging Amsterdam (HVA) atau Asosiasi Perdagangan Amsterdam yang berdagang gula, kopi, dan singkong. Dibangun pada 1911–1921 dengan bahan-bahan material dari luar negeri, diresmikan 18 April 1925.
Tidak hanya bagian luarnya saja yang terlihat megah dan mewah, tetapi juga interior bagian dalamnya, sangat berkelas. Di lantai dua terdapat panel relief yang menggambarkan aktivitas di perkebunan.
Kami tak bisa berlama-lama di dalam gedung, seorang satpam mendatangi kami. Karena tak berizin, kami pun harus lekas keluar. Toufan mengajak kami ke tepi anak tangga. Telunjuknya tertuju pada kaca patri yang terpasang di atas. Saya mendongak. Di tiap-tiap bagian tengah, ada panel stained glass dengan lambang berbeda.
“Ada delapan lambang, jadi tiap lambang yang ada berbeda-beda bentuknya. Lambang-lambang tersebut melambangkan kota-kota yang ada di Hindia Belanda. Salah satunya ada lambang Kota Surabaya.”
Kami bergegas keluar gedung, tetapi masih berada di bagian depan. Toufan memberitahu kami bahwa di samping pintu masuk ada bungker. Satpam mengizinkan kami untuk masuk. Kesan pertama, bungker ini lebih mirip galeri seni karena kondisinya bersih dan beberapa pajangan terpasang di tembok.
Fakta unik lain mengenai gedung yang diarsiteki Hulswit, Fermont, dan Cuypers, ternyata gedung ini tahan gempa. Hal ini tampak pada salah satu pilar bangunan di luar yang berada di tengah-tengah. Diamati lebih saksama, berbeda dengan pilar lainnya, bagian tengah pilar tersebut seolah terbelah yang ditandai dengan keberadaan garis vertikal.
Meskipun waktu yang kami miliki hanya sedikit, setidaknya kami beruntung bisa masuk. Selanjutnya, Toufan mengajak kami untuk melihat sebuah bangunan yang diperkirakan sebagai rumah tertua di Surabaya. Letaknya berada di seberang jalan Gedung PTPN XI. Untuk mencapai rumah tersebut, kami harus melewati gang kecil.
“Dilihat dari bentuk atapnya, sudah kelihatan ini kalau rumahnya dari masa VOC,” celetuk Arief DKS dari Komunitas Indonesia Colonial Heritage (ICH) Malang sekaligus seorang arsitek yang turut membersamai perjalanan kami.

Cerita Korps Cacad Veteran
Perjalanan menjelajahi Kota Lama Surabaya masih berlanjut dengan melewati Jalan Krembangan Timur. Kepada kami, Toufan bercerita mengenai Makam Krembangan yang pernah menjadi kuburan pertama orang-orang Eropa di Surabaya sebelum pindah ke Peneleh. Kebetulan, letaknya tak jauh dari tempat kami berjalan. Dulunya, letak makam selalu berada di luar tembok kota.
Lalu, berdirilah kami tepat di depan sebuah pintu gerbang berwarna merah hati. Agak lama kami berdiri sembari mengamati pintu gerbang tersebut, terutama desain serta besinya.
“Diduga kuat, tembok lama dari Kota Lama yang masih tersisa yang itu.” Toufan menunjuk ke tembok berwarna hijau yang berada tak jauh dari pintu gerbang.
Ketika meneruskan perjalanan, kami melewati tembok yang dimaksud Toufan tadi. Berjalan agak pelan, saya memerhatikan tembok itu karena posisi lebih dekat. Temboknya tak begitu tinggi, sekitar 175 sentimeter. Padahal dalam bayangan saya, temboknya tinggi sekali. Menurut Toufan, tembok Kota Lama setinggi itu karena elevasi jalan semakin meninggi tiap waktu.
Kemudian, tibalah kami di kawasan utama Kota Lama Surabaya, Jalan Rajawali. Toufan mengajak kami ke kompleks bangunan Korps Cacad Veteran RI Kota Surabaya. Semula kami memang tak berencana masuk ke dalam area kompleks ini. Namun, setelah mendapat izin, kami lekas masuk.
Sebelum masuk, Toufan memberitahu kami, kompleks ini sekarang digunakan sebagai tempat tinggal. Begitu masuk, mata saya terbelalak, untuk menyakinkan diri tempat ini memang benar-benar ada yang mendiami. Deretan ruangan yang menyerupai rumah petak dengan kondisi kusam dan nyaris kumuh menjadi perhatian saya, sebelum belok ke kanan mengikuti Toufan dari belakang.
Seorang perempuan berusia lanjut tengah duduk di pojokan. Setelah Toufan meminta izin, perempuan bernama Bu Endang itu lalu memandu kami memasuki bungker dan membuka pintu. Sebelum masuk, ia memberitahu ruangan bungker masih tergenang air karena hujan yang turun semalam.
Bungker dipenuhi berbagai barang. Hampir tak menyisakan ruang kosong. Berbeda dengan bungker di Malang yang pernah saya masuki, kondisi di sini sangat pengap sehingga menimbulkan bau yang sulit digambarkan. Sebuah kipas angin kecil dinyalakan untuk memberikan udara baru. Namun, belum ada tiga menit di dalam bungker, saya memutuskan secepatnya keluar karena tak sanggup berlama-lama di bungker.
Di luar, saya mendapati seorang pria sedang duduk di kursi. Namanya Pak Agus. “Dulu tempat ini menjadi rumah bagi perwira militer Belanda. Cirinya kalau bangunan penting itu ada bungker. Sejak awal saya tinggal di sini,” ucapnya mengawali pembicaraan.
Pak Agus menjadi penghuni yang masih bertahan di tempat ini sementara lainnya telah direlokasi ke Kampung Pejuang, Benowo. Bukan tanpa alasan ia memutuskan bertahan. Ia ingin melihat kebijakan wali kota terkait pemanfaatan bangunan ini ke depannya. Masih dari penuturan Pak Agus, dulunya ada 17 keluarga yang tinggal di sini. Ia adalah generasi kedua.
Dari pembicaraan itu, saya jadi tahu mengapa kompleks ini dinamakan Korps Cacad Veteran serta memiliki semboyan: tumbal negara. “Jadi, kalau pahlawan itu ditembak, beliau meninggal, tetapi kalau veteran ditembak itu sakti alias masih hidup, tapi cacat,” jelas Pak Agus.

‘Diculik’ Nona Cilik Belanda
Kami meneruskan perjalanan menyusuri Jalan Rajawali. Deretan bangunan lawas yang masih kukuh berdiri di tepi jalan. Plakat cagar budaya tertempel di tiap sisi bangunan.
Selanjutnya, kami berhenti di sebuah bangunan bergaya indische empire dari abad ke-19. Sebelumnya, Toufan menunjukkan kepada kami foto lawas bangunan tersebut. Ia memberitahu bahwa dulunya bangunan dengan sejumlah pilar putih tersebut adalah apotek pertama di Surabaya.
Kami bertemu Sri dan Subaidi yang sedang membersihkan bagian dalam bangunan. Ternyata, keduanya mengenal Toufan. “Rencananya mau dibuat warung kopi,” jawab Sri saat ditanya hendak dibuat apa ruangan tempat ia sedang menyapu.

Bangunannya sendiri tersekat menjadi dua yang dipisahkan tembok tepat di bagian tengah. Namun, menurut Arief DKS, tembok pemisah ini dulunya tak ada. Kondisi bagian dalamnya masih berantakan. Di bagian belakang malah nyaris hitam pekat. Sementara atapnya sendiri berupa kayu.
Sri dan Subaidi berbaik hati mengizinkan kami semua untuk masuk ke ruangan sebelah yang terdapat anak tangga menuju lantai atas. Berbeda dengan ruangan sebelah yang kosong dan gelap, ruangan yang baru saja saya masuki ini diisi dengan banyak barang. Sepertinya dimanfaatkan untuk tempat tinggal.
Anak tangga bercat hijau berada di sebelah kanan. Satu per satu kami menaikinya lalu tibalah kami di lantai dua. Lantai atas kelihatan lengang, tak banyak barang. Ada beberapa ruangan di sini. Lantainya berupa kayu. Menurut Arief DKS, terbuat dari kayu jati tua yang diperkirakan umurnya puluhan tahun sehingga terlihat kuat. Jendela-jendela berukuran besar juga menghiasi bagian atas.

Usai melihat-lihat, kami kemudian turun. Sri dan Subaidi menghentikan aktivitas mereka membersihkan ruangan. Kami berbincang-bincang dengan keduanya di bagian depan bangunan.
“Saya pernah kehilangan anak saya selama satu jam. Dicari-cari di dalam enggak ketemu. Lalu, saya mau turun tangga, ternyata anak saya ada di belakang saya. Katanya, dia ada di sini. Terus saya tanya, dari mana? Dia jawab, kalau dia diajak noni-noni main, dikasih mainan. Noninya cantik. Noninya bilang, itu lo, kamu dipanggil mamamu, ayo pulang tak antar,” terang Sri sambil duduk di kursi plastik.
Sri dan Subaidi telah tinggal di bangunan tersebut sejak 1993, sedangkan orang tuanya pertama kali menempati gedung ini tahun 1970-an. Dari keterangannya, status kepemilikan gedung ini adalah milik mereka.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.