INTERVALTRAVELOG

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu

Puntang adalah sebuah gunung di Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tak jauh dari puncak Gunung Puntang, tersimpan jejak sejarah yang berkaitan dengan keberadaan dan warisan perangkat komunikasi radio di Nusantara. 

Memasuki kawasan Puntang, di suatu Sabtu pagi nan mendung, saya disambut oleh sejuknya udara pegunungan. Gemercik air sungai mengalir jernih, deretan pohon pinus menjulang tinggi. 

Di salah satu sudut jalan yang agak menikung, terpampang papan peringatan. “HATI-HATI!!! RAWAN POHON TUMBANG”—begitu bunyi peringatannya, yang sempat sejenak menarik perhatian saya.

Namun, yang paling membetot perhatian pagi itu sesungguhnya adalah puing-puing bangunan stasiun Radio Malabar. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari Sungai Cigeureuh yang mengalir di sela-sela kaki Gunung Puntang.

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Jejak Radio Malabar yang tersisa dan kini hanya tinggal puing/Djoko Subinarto

Radio Malabar Dulu dan Kini

Dahulu, pada tahun 1920-an, Radio Malabar merupakan salah satu stasiun pemancar terbesar di dunia. Radio ini mampu menghubungkan kawasan Hindia Belanda, yang notabene merupakan wilayah-wilayah jajahan Belanda di Asia Tenggara, dengan Kerajaan Belanda di Eropa secara langsung. 

Proyek Radio Malabar sendiri diprakarsai oleh Dr. Cornelis de Groot dan dianggap sebagai sebuah terobosan besar dalam dunia komunikasi nirkabel masa itu. Teknologi yang digunakan di Radio Malabar memungkinkan transmisi gelombang radio hingga mencapai ribuan kilometer, menjadikannya sebagai pusat komunikasi strategis pada masanya.

Menyaksikan sendiri reruntuhan bangunan Radio Malabar yang masih tersisa di salah satu pojok kaki Gunung Puntang, saya lantas membayangkan beberapa ruang yang dipenuhi oleh deru mesin pemancar dan suara operator. Namun, kini hanya menyisakan tembok-tembok tua yang terus digerogoti zaman.  Bekas kolam berbentuk hati—yang beken dinamai Kolam Cinta—dan berada di depan puing bangunan Radio Malabar, yang dipisahkan oleh hamparan rumput, kini ditutupi oleh papan yang sebagian besar terlihat telah melapuk. 

Konon, Kolam Cinta adalah tempat yang digunakan sebagai area relaksasi bagi para insinyur dan pekerja yang mengoperasikan Radio Malabar. Saya membayangkan sebuah kolam besar dengan air yang sangat bening, ketika ikan-ikan berenang dengan suka cita. Saya juga membayangkan ada beberapa rumpun bunga lili air yang sengaja ditanam untuk memperelok tampilan kolam tersebut. 

Rekonstruksi Sejarah

Secara keseluruhan, saya melihat puing-puing peninggalan Radio Malabar itu tampaknya masih belum mendapat perhatian dalam hal rekonstruksi sejarah. Pasalnya, puing-puing itu masih dibiarkan apa adanya.

Padahal, rekonstruksi sejarah melalui situs-situs bersejarah dapat turut mengerek kesadaran masyarakat ihwal pentingnya warisan budaya. Menurut UNESCO, pelestarian situs-situs bersejarah bukan hanya sekadar untuk kepentingan akademik, melainkan juga untuk membangun rasa memiliki terhadap budaya dan sejarah lokal.

Di Indonesia, terus terang saja, banyak warisan sejarah yang terpinggirkan karena kurangnya dokumentasi dan minimnya perhatian dari pihak berwenang. Bahkan, tak sedikit bangunan pusaka yang akhirnya benar-benar lenyap tanpa jejak. Oleh sebab itu, jika puing-puing Radio Malabar tidak segera direkonstruksi, maka bisa saja jejak-jejak sejarah dan keberadaannya, cepat atau lambat, bakal benar-benar lenyap dalam beberapa dekade mendatang.

Tentang keberadaan stasiun Radio Malabar sendiri, salah satu bentuk rekonstruksi yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kembali bangunan Radio Malabar dalam wujud museum interaktif. Museum ini nantinya dapat menyajikan dokumentasi sejarah, replika alat komunikasi lama yang pernah digunakan, hingga simulasi interaktif soal bagaimana stasiun radio di kaki Gunung Malabar ini dulu berfungsi. Dengan upaya rekonstruksi tersebut, para pengunjung diharapkan tidak hanya akan melihat sejarah sebagai sesuatu yang statis, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman yang hidup. 

Kita mungkin bisa belajar dari keberhasilan proyek rekonstruksi stasiun Radio Grimeton di Swedia, yang kini telah menjadi bagian dari situs warisan dunia UNESCO. Stasiun radio tersebut mengalami rekonstruksi dan kini berfungsi sebagai pusat edukasi serta wisata sejarah. Rekonstruksi seperti yang dilakoni Radio Grimento di Swedia agaknya dapat diaplikasikan pula untuk Radio Malabar.

Selain melakukan rekonstruksi secara fisik, rekonstruksi juga bisa dilakukan secara  virtual. Di beberapa negara, pelestarian situs-situs bernilai sejarah telah dilakukan pula dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Misalnya, lewat pemanfaatan augmented reality (AR) dan virtual reality (VR). 

Jika hal itu juga bisa dilakukan untuk stasiun Radio Malabar, maka dapat membantu visualisasi secara virtual ihwal bagaimana Radio Malabar beroperasi di masa lalu. Model rekonstruksi semacam ini tidak hanya bakal menarik bagi generasi yang lebih muda, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang lebih mendalam bagi para wisatawan, khususnya mereka yang akrab dengan teknologi digital.

Sembari duduk di salah satu bongkahan tembok puing Radio Malabar, imajinasi saya berkelana ihwal bagaimana suasana pada tahun 1920-an di tempat tersebut, manakala Radio Malabar masih beroperasi. Di tengah kesunyian alam Puntang, saya seakan mendengar gema suara operator yang sibuk mengirimkan pesan ke Belanda, Negeri Kincir Angin, nun jauh di Eropa sana. 

Nostalgia Radio Malabar dan Perlunya Merekonstruksi Masa Lalu
Wisatawan membaca papan informasi yang menjelaskan sejarah Radio Malabar/Djoko Subinarto

Warisan Pustaka yang Harus Dijaga

Pada akhirnya, jejak sejarah bukan sekadar catatan-catatan yang tertuang di halaman-halaman buku belaka, melainkan juga jejak-jejak yang perlu dihidupkan kembali agar tidak terlupakan sama sekali. Kesadaran akan pentingnya rekonstruksi sejarah tidak hanya tentang mengenang masa lampau, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun masa depan. 

Andaikan saja, Radio Malabar dapat direkonstruksi. Kelak, warisan bangunan pusaka dari masa silam ini bisa menjadi aset wisata edukatif yang lebih bernilai bagi Indonesia.

Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa sesuatu yang berharga bisa hilang jika tidak dirawat dan dijaga. Dengan mempelajari dan merekonstruksi jejak dan warisan sejarah Radio Malabar, kita tidak hanya mengenang masa lampau, tetapi juga memastikan bahwa warisan sejarah nan berharga ini tetap hidup dan bisa dipelajari oleh generasi-generasi mendatang.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Djoko Subinarto

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *