Tiga pekan mengarungi kisah masyarakat adat di Sorong dan Sorong Selatan, ekspedisi Arah Singgah berlanjut ke ujung timur Provinsi Papua. Cuaca kembali jadi kendala.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Perjalanan Arah Singgah telah sampai di etape finalnya: Jayapura. Daerah paling timur Provinsi Papua, berbatasan dengan Papua Nugini. Di sana kami berencana melakukan liputan ekonomi restoratif berbasis adat suku Namblong di tiga distrik, yaitu Nimbokrang, Nimboran, dan Namblong. Jaraknya kira-kira 65 kilometer dari Bandara Sentani.

Tentu saja, satu-satunya pilihan transportasi menuju Sentani yang paling masuk akal dan cepat adalah pesawat. Waktu itu, cuma ada dua pilihan jadwal, semua dilayani Lion Air. Kami mendapat tiket penerbangan berjadwal pukul 06.50 WIT hari Kamis (3/9/2024) dengan transit di Manokwari, karena seat penerbangan siang tanpa transit sudah habis. 

Sama halnya ketika gagal naik Susi Air ke Teminabuan dua minggu sebelumnya, kami kembali check out dari hotel sejak Subuh. Supaya praktis, kami memesan layanan mobil airport transfer lewat resepsionis.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Akhirnya, meninggalkan Sorong Raya/Rifqy Faiza Rahman

Lagi-lagi, drama pagi

Domine Eduard Osok (DEO), yang melekat pada nama bandara Sorong (kode IATA: SOQ), merupakan putra daerah asli suku Moi, yang kemudian menjadi seorang penginjil pertama di Sorong Raya. Ia dikenal sebagai sosok yang bersahaja dan dicintai umatnya. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dari Malaumkarta Raya, usulan penyematan Pendeta Domine Eduard Osok sebagai nama bandara melalui perjalanan panjang, sampai akhirnya disetujui Kementerian Perhubungan. Kata Kaka Tori, sapaan akrabnya, nama tokoh penting di bandara sebagai wajah dan identitas suku Moi.

Namun, jejak kepahlawanan, kerendahan hati, dan ketokohan Domine seolah tak begitu membekas pagi itu. Sesuai dugaan, Bandara Domine Eduard Osok belum buka pagi buta. Penumpang sudah mulai ramai, tetapi petugas bandara tampak baru berdatangan, mepet dengan jadwal penerbangan pertama hari itu. Kalau tidak salah ke Jakarta dan Makassar. Situasi seperti ini kerap dikeluhkan pula oleh Kaka Tori. Setiap akan terbang dari bandara Sorong, anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 itu sampai selalu menegur para petugas agar bekerja dengan disiplin.

Di selasar terminal keberangkatan, kami berkenalan dengan seorang pria berbadan tegap yang memakai topi dan kemeja biru. Ternyata anggota kepolisian yang sedang cuti pulang kampung sebentar ke Jayapura. Saat ini berdinas di Jawa Timur. Ia serupa kami yang heran kenapa bandara belum segera dibuka. “Lihat petugas-petugas itu, baru datang jam segini, jalannya santai kayak gak merasa bersalah,” cetusnya sembari melihat arloji. Sudah pukul 5.00 WIT, hari mulai terang. Saya menimpali, “Ya, dua minggu lalu juga seperti itu saat kami menunggu jadwal penerbangan pagi ke Teminabuan.”

Bahkan ketika harus antre memasukkan barang-barang ke mesin X-Ray, petugas setengah berteriak memburu-buru para penumpang. Maunya biar cepat, sampai-sampai prosedur melepas ikat pinggang dan arloji, atau mengeluarkan handphone dan dompet terpaksa dilonggarkan saking banyaknya penumpang yang ingin segera check in

Saya menggerutu lirih, “Salah sendiri datang telat, jadinya buru-buru dan desak-desakan.” Entah omelan saya didengar atau tidak.

Bandara yang semula hening berubah sibuk. Proses pelaporan check in cukup mulus. Barang-barang besar, seperti tas carrier, tripod, dan koper masuk bagasi. Tidak ada kendala berarti sampai kami naik ke ruang tunggu.

Akan tetapi, seperti biasa, selalu ada sedikit drama kalau naik Singa Terbang. Pertama, kode penerbangan berubah dari JT788 menjadi JT944. Mulanya kami tidak menyadari, sampai akhirnya melihat layar informasi penerbangan atau Flight Information Display System (FIDS). Di jam dan maskapai yang sama, tiba-tiba muncul kode JT944, tidak ada kode JT788 sesuai tertera dalam tiket elektronik dan boarding pass.

Saya mencoba konfirmasi ke petugas di ruang tunggu, ternyata itu memang pesawat yang sama, yang akan kami naiki. Masalahnya, tidak ada sosialisasi perubahan kode penerbangan. Tidak lucu kalau sampai ketinggalan pesawat gara-gara menunggu pesawat sesuai kode tiket yang ternyata tidak akan pernah datang.

Anggota polisi tadi kembali mengungkap kekesalannya. Ia mengkritik kebiasaan buruk maskapai yang selalu terjadi berulang. “Pasti sudah tahu juga, kan, sering terjadi kasus jual beli seat yang sudah dipesan penumpang? Apalagi di Indonesia Timur kayak Makassar dan Papua. Orang dalam bandara dan maskapai main, kok, Mas,” bocornya. Saya pikir, bukan hanya di sini saja, di banyak tempat juga saya kerap melihat keluhan serupa. Padahal, setahu saya manifes penumpang tidak boleh diutak-atik sembarangan. Itu sama dengan mencederai hak penumpang yang sudah reservasi jauh-jauh waktu.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Suasana ruang tunggu dekat Gate 2 di bandara Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Drama kedua, sebuah realitas yang sudah jadi rutinitas, penerbangan molor nyaris satu jam. Sebab, kabarnya masih menunggu pesawat dari Makassar. Tapi, ini hampir lumrah di Indonesia, sebuah pesawat low cost pasti memiliki banyak jadwal penerbangan dalam satu hari. Alasannya, untuk efisiensi, mengingat rute-rute penerbangan di Indonesia sangat banyak dan bisa dioptimalkan sekali jalan.

Saya pernah sekali terbang dari Kupang ke Maumere dengan NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air. Di Bandara El Tari, jadwal mengalami delay cukup lama, hampir dua jam. Saya kemudian melacak lewat aplikasi Flightradar24. Rupanya hari itu pesawat terlambat terbang dari Denpasar. Dari Kupang, pesawat akan terbang ke Maumere dan Ende, lalu kembali ke Bali. Bisa dibayangkan akan berapa lama penumpang menunggu di dua bandara kabupaten yang terletak di Flores itu.

Tak heran, satu pesawat akan bekerja keras memenuhi target okupansi dan biaya operasional yang jumbo per harinya. Rata-rata bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah, mencakup avtur, biaya kru pesawat dan ground staff, parkir apron, dan ongkos perawatan rutin. Sebenarnya cukup bisa memahami konsekuensi dari penerbangan berbujet rendah, tetapi menurut saya masih ada ruang untuk dikelola lebih baik jika mau.

Suara pengumuman terdengar menggema di dalam terminal. Pesawat berjenis Boeing 737-900ER dengan livery putih-merah khas Lion Air baru saja mendarat. Para penumpang yang tampak kuyu menahan kantuk setelah melalui dini hari di udara terlihat keluar dari pesawat dan memasuki gedung terminal. Kami mulai bersiap-siap menunggu panggilan boarding, sembari membayangkan pramugrari yang supersibuk—mungkin juga agak tergesa—merapikan kabin agar kembali siap. Pun para ground staff dan mekanis di apron, yang harus segera mengecek kondisi mesin, roda pesawat, dan aspek-aspek keselamatan lainnya dengan teliti.

  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura

Gelap di langit Manokwari

Pagi itu Sorong cukup basah. Jejak hujan semalaman sampai jelang Subuh masih membekas di landasan pacu. Cuaca tidak cerah-cerah amat, awan-awan putih tebal masih menggantung di langit. Dugaan saya, tampaknya akan ada potensi turbulensi dalam penerbangan ke Manokwari. Saya hanya bisa berdoa semoga selamat selama perjalanan.

Kami kembali duduk satu baris. Mauren di sisi jendela sebelah kiri, Deta di tengah, dan saya di sisi lorong. Tampaknya hampir semua kursi terisi penumpang, yang terbagi tujuannya antara Manokwari atau Jayapura. Perintah mengenakan sabuk pengaman telah disampaikan pramugari. Saya tidak terlalu ingat siapa kapten pilot dan kopilot yang bertugas saat itu. Proses boarding relatif kondusif.

Tak seberapa lama, operator aircraft pushback tractor mendorong keluar pesawat dari parkir dan segera disetujui pemandu lalu lintas udara atau Air Traffic Controller (ATC) untuk menuju Runway 27 di sisi timur. Adapun Runway 09 yang berdekatan dengan laut biasanya digunakan untuk titik awal pendaratan. Panjang landasan pacu bandara Sorong ini sekitar 2.500 meter, seribu meter lebih pendek daripada landasan pacu Bandara Frans Kaisiepo, Biak, yang menjadi paling panjang di Papua dan nomor empat di Indonesia setelah Hang Nadim (Batam), Kualanamu (Deli Serdang), dan Soekarno-Hatta (Tangerang). Sudah lebih dari cukup untuk didarati pesawat berjenis Boeing 737 atau Airbus A320.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Jejak hujan semalaman di area bandara Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Pesawat kelas ekonomi berkapasitas 189 penumpang ini pun lepas landas. Pilot membawa kami meninggalkan Sorong Raya, yang sudah mengisi cerita ekspedisi Arah Singgah selama tiga pekan. Kelak pasti akan kembali ke Tanah Malamoi (sebutan wilayah suku Moi di Kabupaten Sorong) dan Metamani (sebutan wilayah suku Tehit di Kabupaten Sorong Selatan), tempat yang sudah kami anggap seperti rumah sendiri. Rasanya bersyukur sekali bisa ketemu orang-orang hebat dan berdedikasi pada adatnya: Yuyun di Sinagi Papua, orang-orang Moi Kelim di Malaumkarta Raya, keluarga besar Afsya di Bariat, dan masyarakat Konda-Wamargege di hilir Sungai Kaibus.

Dalam 15 menit pertama, pesawat mencapai fase puncak ketinggian 23.000 kaki dan kecepatan setara 740 km/jam, melintasi wilayah Tambrauw yang sudah dikepung awan. Lalu selama 20 menit, kami menyusuri lorong-lorong gumpalan awan kelabu yang makin pekat. Kami mengalami guncangan yang lumayan terasa menggetarkan kabin. Indikator lampu sabuk pengaman sedari tadi menyala. Mulut saya komat-kamit membaca doa memohon keselamatan. Sisanya pasrah.

Kecepatan pesawat kemudian sedikit berkurang dan turun ke 15.000 kaki. Tampaknya kami mulai memasuki wilayah udara Kabupaten Manokwari. Pemandangan di sisi jendela penumpang hanya putih dan putih, sebagian mendung kelabu. Hasil dari proses presipitasi sempat membasahi jendela pesawat. Butiran-butiran air menempel di kaca, lalu terlepas seiring laju kencang pesawat.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Cuaca kelabu sebelum akhirnya memburuk ketika mendekati Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Setelah 45 menit terbang, pilot mengungkap cuaca buruk di area Bandara Rendani Manokwari. Menara ATC Rendani mengarahkan pilot untuk go around karena jarak pandang yang sangat terbatas (low visibility) untuk fase pendaratan. Menurut aturan Kementerian Perhubungan, jarak pandang aman minimal adalah lima kilometer. Bagi pejalan kaki atau pengendara motor, lima kilometer tampak jauh. Namun, bagi pesawat, itu pendek sekali.

“Wah, kayaknya lagi hujan deres di Manokwari,” kata saya pada Deta dan Mauren.

Belakangan saya tahu saat mengecek aplikasi Flightradar24 di ponsel. Di rentang ketinggian 6.000–8.000 kaki dan kecepatan 220–250 knots, pesawat kami berputar-putar tiga kali selama 15 menitan di pesisir timur Manokwari-Pulau Mansinam. Sampai akhirnya setelah satu jam di udara, pilot seperti menambah kecepatan dan ketinggian. Putar balik, menjauhi Manokwari.

“Para penumpang yang kami hormati, karena cuaca buruk Bandara Rendani Manokwari dan jarak pandang di bawah minimal, untuk alasan keselamatan pesawat harus kembali ke Sorong,” pilot mengumumkan rencana Return to Base (RTB).  Batik Air ID6154, yang terbang sebelum kami, bahkan terpaksa dialihkan ke Biak. 

Pikiran saya mendadak berkelana, apakah bahan bakarnya cukup? Sementara penumpang pria yang duduk di kursi D sebelah kanan saya menceletuk, “Ternyata kita hanya jalan-jalan saja ini sehingga pulang lagi ke Sorong.” Saya tersenyum dan menambah panjatan doa.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Mendarat lagi di Sorong/Rifqy Faiza Rahman

Tegang di Rendani

Hanya perlu 40 menit terbang kembali ke Sorong. Pesawat harus memutar di utara Pulau Salawati, Raja Ampat untuk mendarat di Runway 09. Landasan pacu sudah mulai mengering. Tepat pukul 09.40 WIT, pesawat terparkir sempurna. Di sinilah kami, di Domine Eduard Osok untuk yang kesekian kalinya.

Kami diarahkan pramugari untuk turun dulu ke ruang tunggu bandara dan menantikan informasi selanjutnya, apakah tetap bisa terbang hari itu atau batal. Saya berkabar pada istri dan orang tua, memastikan kami baik-baik saja.

Mauren mengajak kami mengisi perut di Arvac Lounge & Cafe, di area ruang tunggu. Kafe ini juga dikelola oleh Papua Manokwari (PAWAI) Hawai Bakery. Produsen abon gulung terkenal asal Manokwari yang hanya bisa ditemui di kota-kota besar Papua. Saya dan Deta memesan kopi, plus kue abon gulung masing-masing seporsi, yang ternyata cukup bikin kenyang. Abon gulung ini dibuat organik tanpa pengawet buatan, sehingga masa kedaluwarsanya amat pendek, sekitar 2–3 hari suhu ruangan atau 4–5 hari disimpan di kulkas. Untuk itu, membelinya sebagai oleh-oleh dilakukan saat hari kepulangan atau sehari sebelumnya.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Karena penerbangan jadi lebih rileks, saya sempatkan membaca buku Ring of Fire karya kakak-beradik Lawrence-Lorne Blair/Rifqy Faiza Rahman

Satu jam menunggu, terdengar panggilan boarding ke pesawat kami. Kelihatannya cuaca di Manokwari sudah membaik sehingga diperbolehkan terbang lagi. Saya kembali melihat anggota polisi tadi, yang kini sedang bersama seorang bapak perwira TNI Angkatan Darat. Satu pesawat juga. Namanya tampak Jawa sekali, tetapi katanya sedang dinas di Manokwari. 

Di kabin, saya kembali menyapa penumpang di sebelah saya. Lelaki Papua itu menyapa sambil bercanda, “Akhirnya jadi ke Manokwari. Kayak jalan-jalan naik pesawat aja kita ini.” Kali ini saya bisa tersenyum lebih lepas, lebih rileks. Kru pesawat tidak berganti. Saya memuji keputusan tepat dari sang pilot tadi, yang membawa kami kembali ke Sorong dengan selamat. 

Pesawat lepas landas dan mengudara tanpa kendala berarti. Cuaca sudah tidak seburuk saat pertama berangkat. Masih ada turbulensi, tapi sedikit sekali. Sepertinya terbang kala musim-musim angin selatan di daerah Pasifik lumayan menantang juga.

Penerbangan memakan waktu hampir satu jam. Visual ibu kota Provinsi Papua Barat yang berada di tepi pantai begitu jelas ketika pilot menurunkan ketinggian pesawat dan mengurangi kecepatan. Jelang mendarat, di sebelah barat terlihat gugusan pegunungan memanjang, yang kemungkinan kawasan Pegunungan Arfak.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Sesaat sebelum mendarat di Bandara Rendani Manokwari/Rifqy Faiza Rahman

Pegunungan Arfak menjadi kabupaten baru pada 2012, hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari. Dalam hati, kelak saya ingin ke daerah dingin itu, mengunjungi danau kembar Anggi Gida dan Anggi Giji dan menengok rumah adat seribu kaki suku Arfak. Manokwari sendiri memiliki daya tarik wisata yang menarik. Selain komoditas cokelat berkualitas ekspor di Ransiki, Manokwari Selatan, saya juga ingin ke Kampung Kwau di perbatasan Manokwari–Pegunungan Arfak. Hutan di kampung tersebut merupakan tempat terbaik untuk melihat parotia arfak, cenderawasih endemis dengan mata biru dan bulu antena di kepalanya. Burung penari itu juga kabarnya bisa ditemukan di Semenanjung Wandamen, Kabupaten Teluk Wondama. 

Setibanya di Bandara Rendani (kode IATA: MKW), sejumlah penumpang turun. Kami dan banyak penumpang lain tujuan Jayapura, tetap menunggu di pesawat. Beberapa saat berselang, penumpang dari Manokwari memasuki pesawat. Sepenglihatan saya, tingkat keterisian kursi lebih banyak daripada Sorong–Manokwari. Proses parkir dan boarding berlangsung sekitar 20 menit.

Usai penerbangan yang cukup tenang, hati kembali dibuat tegang saat take off. Sebab, bandara ini ada di pinggir laut. Ujung Runway 35, landasan pacu yang menguruk lahan reklamasi, benar-benar sudah berbatasan dengan laut lepas. Panjang runway di Rendani lebih pendek 200–300 meter daripada Sorong. Namun, sudah lebih panjang daripada sebelumnya yang hanya 2.100 meter. Pemanjangan Runway 17 di utara bandara itu menempati lahan bekas permukiman dan jalan warga. Oleh karena itu, pilot harus memacu pesawat dengan kecepatan yang cukup dan aman saat mendekati fase kritikal V1, sehingga bisa lepas landas tepat waktu. 

Rasanya plong sekali begitu pesawat berhasil melayang di atas laut. Pemandangan Pulau Mansinam di arah timur melegakan hati. Pulau berjuluk Tanah Doreri yang dihuni sebagian besar keturunan suku Biak itu memiliki sejarah panjang. Di sanalah, misionaris Jerman Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler datang pada 5 Februari 1855, lalu mengabarkan Injil dan menyebarkan ajaran Kekristenan untuk pertama kali di Papua. Dari Mansinam, agama Kristen kemudian menyebar hampir ke seluruh Papua, sehingga Manokwari dijuluki Kota Injil. Tanggal 5 Februari pun dirayakan oleh banyak orang untuk menapaktilasi jejak Ottow dan Geissler.

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Langit biru di separuh perjalanan antara Manokwari-Jayapura/Rifqy Faiza Rahman

Akhirnya, Jayapura…

Pemandangan Danau Sentani yang dikepung perbukitan hijau bergelombang menjadi tanda bahwa kami sudah memasuki wilayah Kabupaten Jayapura. Perjalanan panjang sejak pagi dari Sorong, digoda cuaca yang tak menentu, akhirnya sesaat lagi menemui ujung. Penerbangan Manokwari–Jayapura menempuh waktu sekitar 1 jam 15 menit. 

Pesawat mendarat via Runway 30 di sisi tenggara bandara, dekat bibir Danau Sentani di kawasan Ifar Besar, lalu mengerem dan berbelok ke apron sebelum menyentuh ujung Runway 12 di barat laut. Di balik gedung bandara, tampak Cagar Alam Pegunungan Cycloop begitu gagah menjulang, berselimutkan hutan lebat dengan beberapa puncak lancip.

  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
  • Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura

Nomenklatur asli bandara ini adalah Bandar Udara Internasional Dortheys Hiyo Eluay (kode IATA: DJJ). Dortheys Hiyo Eluay atau Theys Hiyo Eluay dikenal sebagai tokoh asli Sentani kelahiran 1937, mantan ketua Presidium Dewan Papua bentukan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tonggak sejarah perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua dan penetapan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Seperti diketahui, Gus Dur dikenang sebagai sosok presiden yang peduli dan memahami antropologi rakyat Papua. Salah satu kebijakannya yang cukup kontroversial, adalah mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar, tetapi tetap berada di bawah kibaran Merah Putih.

Meski sempat menjadi pencetus dekrit gerakan Papua Merdeka, Theys Hiyo Eluay sebenarnya turut berjasa saat ambil bagian Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Ia termasuk salah satu dari sedikit delegasi asli Papua yang diundang ke Jakarta, dan hasilnya PBB memutuskan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda untuk bergabung dengan NKRI. Ia juga yang pada 1992 ikut membentuk Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Sayang, Theys Hiyo Eluay tewas terbunuh pada 10 November 2001, usai diculik oleh sejumlah oknum anggota militer dari Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Penyidikan saat itu dipimpin Kapolda Papua I Made Mangku Pastika, Gubernur Bali periode 2008–2018.

Theys Hiyo Eluay kemudian dimakamkan di tengah sebuah lapangan olahraga, yang terletak persis di seberang jalan masuk menuju bandara. Berdasarkan sejarah, lahan pendirian bandara itu dulunya merupakan tanah adat milik marga Eluay, yang telah dilepaskan ke pemerintah Belanda. Menurut Yanto Khomlay Eluay, putra Theys yang seorang politikus di Jayapura sekaligus merupakan ondoafi (pewaris dan pemimpin adat) di Tanah Tabi, Sentani, mengungkap perubahan nama bandara oleh Gubernur Papua Lukas Enembe 2020 merujuk pada peran ayahnya sebagai pejuang kemanusiaan pada Pepera 1969.

Namun, di balik sejarah panjangnya, bandara tersebut memang lebih dikenal karena keberadaan Danau Sentani, yang juga merupakan nama distrik sekaligus ibu kota Kabupaten Jayapura. Luas danau air tawar yang di dalamnya memiliki pulau-pulau kecil itu mencapai 9.360 hektare. Terluas di Papua, tetapi hanya sekitar 8,2 persen dari total luas Danau Toba di Sumatra Utara. 

Perjalanan Penuh Doa di Langit Sorong–Jayapura
Saat perjalanan ke hotel, terlihat panorama Pegunungan Cycloop dari jalan akses Bandara Sentani Jayapura/Rifqy Faiza Rahman

Di teras terminal kedatangan, seorang petugas hotel menjemput kami. Kami akan menginap semalam di hotel yang sangat dekat dengan bandara dan tak jauh dari makam Theys, berjarak kurang dari lima menit. Keesokan paginya hingga beberapa hari mendatang, kami akan liputan ke Nimbokrang. Rutenya melewati pinggiran Danau Sentani, melintasi jalan aspal mulus berkelok, yang menghubungkan Jayapura dengan Kabupaten Sarmi. 

Akhirnya, Sentani. Akhirnya, Jayapura. Akhirnya, untuk pertama kalinya melihat Pegunungan Cycloop yang legendaris di depan mata.


Foto sampul:
Merekam pemandangan pesisir Manokwari sesaat sebelum mendarat untuk transit di Bandara Rendani/Rifqy Faiza Rahman

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar