Jalur di gunung ini memang terkenal melelahkan. Namun, sepadan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapatkan.
Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman
Perasaan yang selalu timbul saat hendak summit (pendakian ke puncak) adalah kantuk teramat berat dan malas. Keengganan beradu dengan keingintahuan tentang puncak—alias ambisi—tatkala ingin mengeluarkan seluruh tubuh dari kehangatan sleeping bag. Namun, alarm ponsel yang dihidupkan jelas memiliki tujuan. Mau tak mau kami harus bangun.
Saya dan Badak, yang memang satu tenda, lekas bersiap. Kami memilah barang bawaan yang diperlukan dalam ransel kecil, antara lain minuman, camilan, dan obat-obatan. Begitu pun kawan-kawan yang lain. Kecuali Rendra, yang mengaku sedang kurang fit, selebihnya siap mencoba kesempatan muncak. Livi, yang semalam sempat bilang tidak ikut karena kelelahan, subuh itu (20/08/2023) tiba-tiba berubah pikiran.
Berbekal headlamp, kami mulai berjalan meninggalkan Pos 4 Watu Ondho tepat pukul 04.30. Tampaknya kebutuhan akan senter kepala ini tidak akan terlalu lama. Saya berseru ke teman-teman, sang fajar telah muncul di cakrawala. Situasi yang malah tidak membuat kami bergegas atau tergesa, tetapi memilih untuk menikmati sajian alam di tiap jeda beberapa langkah.
Berkawan rawi pelipur netra
Kiri-kanan: Henny, Evelyne, Emma, Livi, dan Lukas. Kami kembali beristirahat di tengah jalur menanjak setelah 30 menit berjalan dari Pos 4 Watu Ondho. Meskipun tidak terlalu berangin, kami tetap memakai jaket untuk mencegah kedinginan dan potensi hipotermia. Bagi saya pribadi, biasanya baru akan melepas jaket jika pagi sudah hangat karena cahaya matahari. Namun, lagi-lagi itu berlaku jika angin tidak terlalu kencang.
Salindia ke-1: Tidak ada yang salah dengan menengok ke belakang ketika berhenti. Puncak gunung tidak akan lari dikejar. Tak akan ke mana-mana, katanya. Seperti yang dilakukan Emma (jaket putih). Jika menyukai fotografi, pasti setuju momen itu mahal harganya dan sulit untuk diulang. Bahkan dengan kamera ponsel sederhana sekalipun.
Salindia ke-2: Sorot headlamp Dio yang menyala di tengah pendakian menuju puncak. Di kejauhan Gunung Merbabu (kiri) dan Merapi terlihat mungil di atas lautan awan bak selembut kapas. Di saat-saat seperti inilah kami sering berhenti, karena terlalu sayang dilewatkan.
Salindia ke-1: Ketika jalur semakin terbuka dan naungan pepohonan berkurang, panorama alam kian terbentang luas memanjakan netra. Sekitar 10 menit berjalan dari area Watu Lawang (2.960 mdpl), saya ingin rehat di di tengah jalur dan duduk di antara rerumputan. Emma mengekor di belakang. Saya melihat sang rawi mulai menampakkan diri di kaki langit. Spontan saya segera memencet tombol shutter kamera beberapa kali.
Salindia ke-2: Potret Lukas yang sedang beristirahat dengan latar Gunung Merbabu dan awan-awan putih. Kali ini ia dan Henny berjalan agak santai. Jarak antara satu sama lain yang muncak pagi itu relatif tidak terlalu jauh.
Salindia ke-3: Sekuntum bunga edelweiss yang masih belum mekar sempurna. Di gunung ini, edelweiss yang tumbuh memang tidak banyak. Namun, keberadaannya mewarnai jalur pendakian. Tanaman gunung yang biasa disebut bunga abadi ini memang hidup dan mampu bertahan di ketinggian hingga 3.000-an mdpl.
Jalur pendakian membelah tebing terjal menuju kawah Segoro Banjaran, yang kira-kira masih berjarak 30 menit lagi. Rute timur Banaran memang cenderung lebih panjang dibandingkan jalur lain, seperti Kaliangkrik, Garung, maupun Bowongso. Pendaki tidak akan langsung menemui puncak, tetapi harus turun terlebih dahulu menyusuri Segoro Banjaran. Akan tetapi, perjalanan dan pengalaman seperti itulah yang kami cari di sini.
Membumi di Segoro Banjaran
Kiri: Petunjuk arah di persimpangan jalur Banaran dan Butuh (Kaliangkrik) di ketinggian 3.202 mdpl. Saat turun dari Segoro Banjaran atau Puncak Rajawali, pendaki harus fokus dan memerhatikan petunjuk yang tersedia agar tidak salah jalur. Kanan: Tebing cadas Puncak Sejati—tingginya hampir sama dengan Puncak Rajawali—yang bisa ditempuh langsung lewat jalur Kaliangkrik, Magelang. Baik itu melalui Dusun Butuh, Mangli, maupun Adipuro, karena ketiganya akan bertemu di percabangan yang sama.
Segoro Banjaran (3.180 mdpl). Sebuah kawasan kaldera Gunung Sumbing yang luas dan dikelilingi tebing cadas setinggi 200-an meter. Di dalam kaldera ini terdapat kawah-kawah kecil penghasil belerang. Kami kerap menjumpai bubuk-bubuk putih belerang yang cukup menyengat di sepanjang jalur. Saat musim hujan, beberapa titik di Segoro Banjaran akan tergenang air. Kami tiba di tempat ini setelah berjalan 2 jam 45 menit dari camp.
Menyusuri jalan setapak membelah rumput-rumput kering yang menguning di Segoro Banjaran. Kami menjadi sangat kecil berada di kaldera megah ini. Seperti semut yang berjalan beriringan di sudut-sudut rumah. Situasi serupa yang saya alami di gunung-gunung lain, tak terkecuali ketika berlayar di tengah lautan. Alam tak akan tertandingi, tak akan bisa ditaklukkan. Ego dirilah yang harus kami tundukkan.
Salindia ke-1: Petunjuk arah menuju empat tempat, yaitu jalur Banaran (Sumbing East Route), Segoro Wedi (kawasan kawah berpasir putih), Puncak Buntu, dan Puncak Rajawali. Untuk menuju Puncak Buntu meniti jalur yang sama ke arah Puncak Rajawali, lalu di persimpangan ambil arah kanan memanjat tebing menuju jalur Garung. Informasi arah yang ditopang dengan tiang besi ini berada dekat makam Ki Ageng Makukuhan.
Salindia ke-2: Kompleks makam Ki Ageng Makukuhan (3.209 mdpl), yang biasanya ramai saat malam 1 Muharram atau 1 Suro (penanggalan Jawa). Seorang tokoh agama yang dihormati penduduk sekitar Gunung Sumbing. Ada sejumlah versi berkaitan dengan sosok tersebut, salah satunya menyebut Ki Ageng Makukuhan sebagai pendakwah beretnis Tionghoa. Ia merupakan santri Sunan Kudus dan ditugaskan menyebarkan agama Islam di Karesidenan Kedu. Kemungkinan “Makukuhan” adalah serapan lidah Jawa terhadap nama aslinya “Ma Kuw Kwan”. Di sisi lain, lokasi makamnya pun memiliki perbedaan versi. Sebagian mengatakan di kawah Gunung Sumbing—seperti yang kami kunjungi—sedangkan yang di daerah Kedu, Temanggung, adalah petilasannya. Yang pasti, siapa pun wajib menjaga etika jika berada di tempat ini.
Salah satu dapur belerang berukuran cukup besar di area kawah utama. Tampak papan informasi berwarna kuning dari PVMBG, BPBD, dan pemerintah daerah setempat. Isinya larangan berkemah di seluruh kawasan kawah karena dikhawatirkan adanya kenaikan intensitas gas vulkanis beracun, terutama malam hari atau musim hujan. Saat hari cerah saja kami tidak betah berlama-lama di dekat kawah karena bau belerang yang menyengat.
Jalan terjal menuju Puncak Rajawali
Pendakian terus berlanjut. Menurut GPS yang saya bawa, jarak ke Puncak Rajawali tinggal 350 meter lagi. Namun, meski puncak sudah tampak di depan mata, tidak semudah itu menggapainya. Masih harus menanjak tebing yang penuh batuan putih (kiri), kembali melewati sabana (kanan), dan satu tanjakan terjal terakhir lalu tibalah kami di Puncak Rajawali. Perkiraan saya, perlu satu jam lagi untuk menempuh sisa perjalanan.
Sudut pandang lebar dari lensa kamera yang merekam kaldera Gunung Sumbing. Saya memotretnya di ujung tanjakan sebelum mendekati Puncak Rajawali. Tampak Segoro Wedi bak lapangan berpasir putih di kejauhan. Rumpun edelweiss di sini lebih banyak dibanding jalur Banaran. Sebagian ditumbuhi cantigi. Di titik inilah Sumbing East Route bertemu dengan jalur Sipetung, Batursari, dan Garung. Pendaki dari arah sana harus melewati Puncak Buntu terlebih dahulu dan menuruni tebing curam ala “Watu Ondho”, sebelum sampai puncak tertingginya.
Salindia ke-1: Euforia para pendaki yang datang dari pelbagai jalur di Puncak Rajawali Gunung Sumbing (3.371 mdpl). Saat itu akhir pekan, sehingga ramai pendaki. Di antara sekian jalur resmi yang tersedia, memang jalur Garung masih menjadi favorit dan paling banyak dilalui pendaki.
Salindia ke-2: Salah satu sudut foto yang juga biasa dipakai pendaki Gunung Sumbing setibanya di Puncak Rajawali. Jika cerah akan terlihat Gunung Sindoro. Di belakangnya lagi ada Gunung Prau dan pegunungan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Tampak Emma dan Henny (tengah) sedang mengantre giliran foto di plakat penanda puncak tertinggi Gunung Sumbing.
Pemandangan membiru Gunung Slamet di sisi barat. Gunung tertinggi di Jawa Tengah (3.428 mdpl) yang kakinya membagi lima kabupaten: Purbalingga, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Pemalang. Saya pernah sekali mendaki gunung berapi aktif itu, yaitu pada Desember 2013 via Bambangan, Purbalingga. Gunung ini biasanya didaki untuk melengkapi ekspedisi “Triple S” di Jawa Tengah, selain Sindoro dan Sumbing.
Setelah cukup, selanjutnya pulang
Kiri: Sejumlah pendaki berusaha memanjat tebing dengan bantuan tali webbing untuk kembali ke jalur pendakian awal—Garung dan sekitarnya. Seperti halnya Watu Ondho, tebing ini akan licin jika hujan. Pendaki harus ekstra hati-hati. Kanan: Tidak sedikit pendaki yang memilih cukup berhenti di Puncak Buntu saja, tanpa harus meneruskan perjalanan ke Puncak Rajawali. Walau tampak dekat, faktanya tetap saja bakal menguras tenaga.
Salindia ke-1: Livi (paling depan) dan Emma berjalan menyusuri jalur kembali ke tempat camp. Perjalanan pulang memang akan cenderung terus menurun, tetapi seolah sama panjangnya dengan saat berangkat. Hari kian terik, kaki makin lemas, dan tenggorokan kering. Kami bertiga adalah anggota rombongan yang terakhir tiba di tenda.
Salindia ke-2: Areal camp di Pos 4 Watu Ondho (2.715 mdpl). Siang itu kabut mulai naik perlahan, tetapi tidak sampai turun hujan. Terlihat di kejauhan permukiman warga menyemut, yang kadang-kadang memandangnya justru bikin angin-anginan untuk pulang. Rasanya jauh sekali. Namun, ya, kami harus pulang.
Salindia ke-3: Rendra, teman asal Sidoarjo, sedang makan siang bersama kami sebelum turun. Ia tidak ikut muncak karena merasa kurang fit, sehingga memilih istirahat memulihkan tenaga untuk pulang. Ia mengaku memang sudah agak lama libur mendaki gunung.
Sore yang kian temaram tepat kami keluar dari hutan. Saya minta tukang ojek basecamp yang menjemput untuk berhenti sejenak di tengah-tengah jalan makadam. Saya keluarkan kamera dan memotret pemandangan ini sebagai foto penutup jurnal perjalanan kami. Sebuah lanskap perkebunan tembakau, hutan pinus, dan Gunung Sumbing di baliknya. Rasanya tak percaya, secepat itu kami naik dan turun. Melelahkan memang. Namun, saya yakin akan sepadan.
Foto sampul:
Dio sedang memerhatikan jalur yang aman untuk dipijak saat perjalanan menuju Puncak Rajawali Gunung Sumbing/Rifqy Faiza Rahman
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.