Tahap awal menuju Hargo Dumilah telah dimulai. Bergegas melangkah menembus hutan di lereng barat Lawu sebelum petang menghilang.
Teks dan foto: Rifqy Faiza Rahman dan Alfian Widiantono (Aan)
Nuansa teduh menaungi area pos perizinan bercat oranye nan bersahaja itu. Logo Perhutani, nomor telepon petugas dan saluran radio tertera di dinding pos yang berbahan triplek kayu. Dari bilik loket seorang pria penjaga pos menyambut kami dan menyodorkan lembaran kertas beralas meja dada.
“Dari mana, Mas? Berapa orang?”
“Campur, Mas. Jogja, Magelang, sama Purbalingga. Lima orang saja,” jawab saya.
“Silakan isi formulir data kelompok dan logistik yang dibawa. Sama nanti ninggal satu KTP di sini. Tiket per orangnya Rp20.000,” ujarnya memberi arahan.
Saya menyodorkan lembaran kertas itu ke Aan, memintanya mengisi. Sekaligus meminjam KTP miliknya. KTP saya sedang jadi jaminan sewa mobil yang saya bawa dari Magelang.
Proses administrasi hanya berlangsung sepuluh menit. Tak hanya mengisi data diri, kami juga harus melaporkan daftar barang bawaan yang kami bawa. Baik perlengkapan pribadi maupun kelompok. Mulai dari pakaian, alat masak, bahan makanan, minuman, jeriken, obat-obatan pribadi. Masing-masing dari kami juga membawa kantung plastik besar (trash bag) yang kami pasang sebagai pelindung barang di dalam tas. Selain itu kami juga harus memastikan tidak ada sampah sekecil apa pun yang terbuang selama di gunung.
Permisi, Mbah Branti
Kami baru benar-benar memulai pendakian sekitar pukul 13.30. Trek awal berupa jalan cor yang cenderung melandai selepas gapura pendakian. Terdapat percabangan jalur dari arah Candi Cetho, bagi wisatawan yang ingin melanjutkan kunjungan ke Candi Kethek. Jalur akan menurun hingga menyeberangi aliran sungai kecil, lalu mendaki kembali hingga tiba di Candi Kethek.
Kontur yang turun dan naik sepanjang 550 meter dari pos perizinan cukup membuat “mesin” kami panas. Otot mulai tegang dan peluh sudah bercucuran. Kami istirahat sejenak di bangku kayu sembari melihat Candi Kethek (1.444 mdpl) yang sampai sekarang masih aktif menjadi tempat pemujaan.
Menurut penelitian Purwanto dkk (2017)1, candi ini memiliki karakter pondasi khusus, yaitu susunan batuan andesit yang pengerjaannya tidak sempurna atau menyeluruh. Hanya memanfaatkan batu-batu alam berukuran besar sebagai batas di setiap empat teras berundak. Latar belakang agama Candi Kethek bersifat Hinduistik. Informasi ini berdasarkan pada temuan arca kura-kura yang merupakan simbol dari Dewa Wisnu. Terlihat pula anasir pemujaan terhadap roh nenek moyang. Keberadaan teras berundak di Candi Kethek, yang menandakan wujud gunung, dianggap sebagai tempat bersemayam leluhur yang sudah meninggal.
Candi Kethek dapat dibilang termasuk kurang terkenal daripada Candi Sukuh dan Candi Cetho, meskipun pembangunannya diperkirakan sezaman dengan kedua candi tersebut, yaitu sekitar abad XV-XVI Masehi. Padahal keduanya pun hanya menjadi bagian dari puluhan situs sejarah yang tersebar di lereng barat Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar. Dalam catatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah tahun 2012, seperti dikutip Purwanto dkk (2017), terdapat 37 situs sejarah yang berstatus cagar budaya daerah dan nasional. Penyebabnya mungkin lokasi yang sedikit masuk ke hutan, meskipun terbilang dekat dengan Candi Cetho. Selain itu juga perlu penelitian lebih lanjut mengingat data artefak yang minim dari candi ini.
Tak sampai lima menit kami melegakan napas. Pendakian harus berlanjut sebelum otot mengendur.
Jalur pendakian menuju Pos 1 Mbah Branti masih melewati perkebunan warga. Jalan setapak tanah dengan elevasi yang belum terlalu menanjak. Walau sudah lepas tengah hari, kami masih menjumpai satu-dua warga bekerja di ladang sayur. Komoditas umumnya lombok, sawi, kol, dan loncang. Kami juga sempat melihat burung terbang memutar di atas kami, entah itu elang Jawa atau alap-alap.
Sekitar 450 meter dari Candi Kethek, di sisi kanan jalur terdapat sebuah tempat pemandian. Meski Lawu lekat dengan kisah Brawijaya atau Majapahit, saya belum tahu persis sisi historis sebenarnya tentang pembuatan tempat ini. Yang jelas, ketika lewat sini tahun 2019 sedang dalam proses pembangunan. Namanya Patirtan Sapta Resi Brawijaya (1.566 mdpl). Sapta berarti tujuh, karena memang ada tujuh pancuran yang mengalirkan air jernih pegunungan ke kolam berbentuk persegi panjang. Tersedia pula fasilitas umum berupa toilet dan warung, tetapi saat itu tutup. Kami hanya sempat membasuh muka saja, karena air di botol kami masih penuh.
Mendekati Pos 1 Mbah Branti, dengan jarak tempuh hampir sama dengan Candi Kethek—Patirtan Sapta Resi Brawijaya, kami sedikit menambah tenaga. Bongkahan batu berserakan di tanah, yang kadang kami jadikan pijakan untuk melangkah. Kami juga menjumpai sambungan pipa air di permukaan tanah. Ada satu-dua titik yang bocor sehingga air meluber. Meskipun begitu debitnya tetap deras.
Tepat 1,5 jam dan 1,5 kilometer dari basecamp Danang, kami tiba di Pos 1 Mbah Branti (1.679 mdpl). Pos ini hanya berupa tanah datar yang luasnya seukuran tenda berkapasitas empat orang. Ditandai gubuk sederhana dengan lima tiang kayu dan atap berbahan seng. Saya tidak membawa bekal informasi apa dasar penamaan Mbah Branti pada pos ini. Mungkin saja pada zamannya merupakan tokoh setempat, yang memiliki laku atau tirakat tertentu di gunung ini.
Kami datang ketika memang masih waktunya jam tidur siang. Wajah-wajah menahan kantuk tampak dari raut Emma, Evelyne, Aan, dan Fadly. Saya sendiri tidak terlalu mengantuk. Namun, kami sepakat untuk istirahat sebentar barang 10—15 menitan. Emma dan Evelyne tidur bersebelahan dengan cara selonjor bersandar bangku panjang dari batang pohon. Fadly berbaring di atas selembar matras alumunium foil, sementara Aan tidur beralas rain cover saja.
Saya sempat terpejam, tetapi tak sampai benar-benar lelap. Mungkin kurang dari lima menit saja. Saya memilih berdiri, menggerak-gerakkan badan agar tidak kedinginan. Tiba-tiba hasrat kencing tak bisa saya tahan. Di antara semak-semak di belakang pos, saya membuang hajat.
“Permisi, Mbah Branti…”
Sepertiga Awal Perjalanan
Tipikal kontur jalur selepas Pos 1 Mbah Branti masih mirip dengan fase sebelumnya. Jalan setapak tanah yang licin kalau musim hujan. Vegetasi hutan mulai rapat, tetapi agak terbuka. Di beberapa titik kami melewati trek yang berbentuk seperti anak tangga, meliuk di tengah-tengah cerukan tanah setinggi dada orang dewasa.
Dalam rentang jarak 680 meter menuju Pos 2 Brakseng, sesekali kami istirahat sejenak. Terutama setelah melewati tanjakan yang agak terjal atau panjang, untuk meredakan degup jantung yang memburu. Kami berusaha membuat ritme pendakian senyaman mungkin. Tidak terlalu santai, tetapi juga tidak tergesa-gesa. Alat navigasi (GPS) yang saya bawa membantu kami mengukur diri. Kapan harus berhenti, kapan harus berjalan. Ingatan saya pada pendakian 2019 lalu sedikit membantu gambaran seberapa jauh lagi pos berikutnya akan terlihat.
Pos 2 Brakseng (1.914 mdpl) kami gapai persis satu jam berjalan. Suasana begitu tenteram nyaris tanpa polusi suara, kecuali oleh kami sendiri. Satu-satunya penghasil “keributan” di tengah hutan dengan celoteh, umpatan, atau nyanyian sumbang yang menyaingi kicau burung jalak dan kerabat-kerabatnya.
Jika melihat ada hal yang berubah atau berbeda dibanding pendakian saya sebelumnya, itu adalah keberadaan tempat sesaji dari kayu dan “hilangnya” kain kuning yang menyelimuti satu-satunya pohon besar berakar bak cacing di sini. Gubuk atau “brak”-nya masih bertahan dengan atap dan dinding seng. Bentuknya seperti yang ada di Pos 1 Mbah Branti. Hanya saja pos ini lebih luas walau bukan tempat yang pas untuk berkemah.
Target camp kami adalah Pos 3 Cemoro Dowo. Tempat kami bergantung pada sumber airnya untuk memasak, minum, mencuci piring, dan berwudu. Masih ada 685 meter dan elevasi 280 meter vertikal yang harus kami lalui untuk memungkasi sepertiga awal perjalanan hari ini. Dua jarum arloji menunjukkan waktu pukul 15.55. Perkiraan saya, butuh setidaknya 1,5 jam untuk mencapai Cemoro Dowo.
Kondisi jalur belum banyak berubah. Hanya saja lebih banyak tanjakan. Hutan semakin rapat. Tanaman semak, tanah dan batu berlumut menghiasi jalur. Beberapa tempat tampak lembap dan basah saking rapatnya naungan.
Ketika melewati sebuah trek datar yang melipir tepi bukit, kami bisa melihat pemandangan kembali terbuka. Kami rasakan kehangatan sejenak dari pancaran matahari di tengah suhu udara Lawu yang mulai menurun. Cukup untuk mengurangi rasa dingin yang juga timbul dari cucuran keringat.
Tak jauh dari situ, dua pilihan jalur terhampar di depan mata. Kanan menanjak tajam, kiri lebih memutar. Emma, Emma, yang memimpin perjalanan, meminta pendapat.
“Yang mana ini? Kanan atau kiri?”
Bebas, kata saya. Keduanya akan bertemu di satu jalur. Dia pun memilih jalur kanan. Sebuah tanjakan terjal berselimut debu tanpa ada pegangan untuk melangkah.
Langit sore perlahan beralih wajah. Sang rawi pelan-pelan undur diri di balik cakrawala. Meski betis makin panas dan napas memburu, kami harus bergegas karena sebenarnya Pos 3 sudah dekat. Saya memastikan itu berdasar GPS di genggaman tangan. Sampai akhirnya tepat sebelum hari benar-benar menggelap, sekitar pukul 17.25, kami melihat sebuah gubuk di sisi kiri dan pipa sumber air di tengah-tengah jalur. Pertanda sahih bahwa kami telah berada di Pos 3 Cemoro Dowo (2.194 mdpl).
“Kita bangun tenda dulu, baru ambil air,” pinta saya. Emma dan kawan-kawan pergi agak ke atas, memilih tempat yang datar untuk dua tenda kami. Lokasinya sangat dekat dengan warung dan toilet yang dikelola warga.
Kami berbagi tugas mendirikan tenda, mengambil air, dan menyiapkan bahan masakan untuk makan malam. Sebisa mungkin kami bisa istirahat lebih awal. Mengisi ulang tenaga yang akan kami pacu lebih keras besok pagi. Menu nasi, tumis pakcoy dan sosis, tempe goreng, sertasecangkir kopi sepertinya lebih dari cukup untuk mengantar kami berkelana alam mimpi.
(Bersambung)
Referensi:
1Purwanto, H., Titasari, C. P., dan Sumerata, I. W. (2017). Candi Kethek: Karakter dan Latar Belakang Agama. Forum Arkeologi Kemendikbud RI, 30 (2). ISSN 0854-3232.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.