Perjalanan saya kali ini berawal dari ajakan seorang rekan untuk sekedar berburu foto dan menjelajah di lereng Gunung Sindoro-Sumbing. Awalnya saya pikir menjelajah lereng gunungnya, tetapi ternyata bukan. Kami melakukan eksplorasi di Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung.
Tujuan penjelajahan kami adalah kampung pecinan di Jalan Gambiran. Sebelum memulai perjalanan, kami sengaja menyempatkan berkunjung kelenteng Hok Tek Tong guna mengabadikan aktivitas dan detail ornamennya. Tentu kami melakukannya setelah mendapat izin dari pengurus kelenteng.
Di tengah asyik memotret, tiba-tiba muncul bapak paruh baya berjenggot panjang dari salah satu ruang dewa. Beliau adalah The Han Thong, aktivis Masyarakat Tionghoa Parakan sekaligus pemandu lokal kami. Ia juga dengan senang hati mengantar siapa pun yang ingin melihat Parakan dari sudut pandang berbeda. Setelah bercengkerama, The Han Thong menunjukan beberapa peninggalan yang sekiranya menarik kami abadikan.
“Kalau mau saya antar keliling seberang sana, di Jalan Gambiran!”
Tentu kami menyetujui. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Penjelajahan dimulai.
Rumah Gambiran, Pusaka dari Parakan
The Han Tong lantas mengajak kami keluar kelenteng dan berjalan kaki menuju kampung pecinan di Jalan Gambiran. Dia mengaku sering mengantar tamu untuk sekadar jalan-jalan dan merasakan dinginnya udara Parakan.
Menyusuri sepanjang jalan, hanya deretan tembok tinggi dengan satu aksen masuk yang menemani langkah. Biasanya kampung pecinan identik dengan hiruk pikuk perdagangan. Namun, di sini sangat sepi, seperti yang saya rasakan ketika menelusuri kampung pecinan di Pasuruan.
Langkah kami menyusuri Jalan Gambiran hanyalah awal perjalanan. Tujuan kami sejatinya berada di gang sebelah, tepatnya Jalan Bambu Runcing. Sepanjang perjalanan lensa kamera tak henti mengabadikan setiap momen, termasuk membingkai lanskap Gunung Sindoro dari tempat kami berada.
Setelah kurang lebih satu jam berjalan kaki, tibalah kami di tujuan utama. “Selamat datang di Rumah Gambiran,” begitu kiranya sambutan The Han Tong sembari membukakan pintu untuk kami.
Beranjak memasuki rumah utama dari halaman depan, marwah sebagai seorang pengusaha gambir begitu terasa. Beranda depan berhias sebuah kursi santai, tempat sang saudagar melepas lelah sambil mengisap tembakau.
Menginjakkan kaki ke dalam, kami langsung menjumpai partisi kayu menghadap pintu utama di antara ruang tengah dan ruang belakang. Penggunaan partisi kayu tersebut untuk memisahkan antara ruang publik dan ruang keluarga. Bagian dalam kamar tidur utama berisi perabot kuno Rumah Gambiran.
Tanpa pikir panjang kami segera merekam semua momen yang ada dalam memori kamera. Sembari kami hunting foto, The Han Tong mulai bercerita tentang Rumah Gambiran. Rumah yang menjadi bagian perjalanan masyarakat Tionghoa Parakan kala itu.
Sejarah Rumah Gambiran
Menurut The Han Tong, disebut Rumah Gambiran, karena dahulu rumah ini merupakan hunian milik Siek Oen Soei, seorang pengusaha gambir di Parakan. Namun, ia hanya pewaris usaha gambir moyangnya yang bernama Siek Hwie Soe. Adapun pengusaha gambir pertama di Parakan pertama adalah Loe Tjiat Djie. Gambir yang diproduksi adalah untuk campuran pewarna kain batik.
Siek Hwie Soe tiba di Parakan tahun 1821. Untuk menyambung hidup ia bekerja sebagai buruh pengolahan gambir dan menumpang hidup dengan Loe Tjiat Djie.
Selama bekerja, ia dinilai cukup mumpuni untuk memimpin usaha. Loe Tjiat Djie lantas mengangkat Siek Hwie Soe sebagai menantu dan mewariskan usaha gambir kepadanya. Sekian lama tinggal di Parakan hingga pertengahan tahun 1840, ia memutuskan pulang ke tanah kelahirannya di Tiongkok.
Tidak lama, ia kembali ke Parakan beserta keluarga lain untuk mengurus usaha gambir. Usaha gambir menuai kesuksesan, sehingga mereka kemudian mendirikan usaha bersama bernama “Hoo Tong Kiem Kie” yang berpusat di Semarang. Empat puluh dua tahun kemudian, tepatnya 1882, Siek Hwie Soe wafat.
Badan usaha lantas terbagi menjadi dua. Usaha pertama bernama “Hoo Tong Seng Kie” di Semarang, di bawah pengelolaan putranya, yakni Siek Tjin Lion. Usaha kedua bernama “Hoo Tong Kiem Kie” di Parakan, berjalan di bawah pengelolaan keponakannya, Siek Tiauw Kie.
Siek Tiauw Kie memiliki beberapa istri dan anak. Satu anak di antaranya adalah Siek Oen Soei. Siek Tiauw Kie selanjutnya mewariskan bisnis gambir kepada Siek Oen Soei, yang di kemudian hari menuai kesuksesan besar ketika berhasil memperdagangkan gambir, beras, dan tembakau, sampai akhirnya wafat tahun 1948.
Siek Oen Soei sebagai pewaris Rumah Gambiran wafat di Yogyakarta. Setelahnya bisnis dan rumah diberikan kepada sang putra, Siek Bien Bie. Tidak lama sejak saat itu mereka pindah ke Batavia (Jakarta) atas alasan keamanan, karena pergolakan agresi militer II oleh Belanda. Rumah keluarga itu pun kosong.
Perpaduan Lintas Budaya dalam Arsitektur Rumah Gambiran
Menapaki halaman belakang, tampak sebuah meja batu langka yang dulu berfungsi untuk bermain mahjong. Terapit oleh kamar tidur untuk tamu atau keluarga yang belum memiliki tempat tinggal sendiri. Ruang belakang tersebut bukti kepedulian Siek Oen Soei dengan keluarga dan handai tolan yang berkunjung.
Masih berada dalam satu halaman, tepat lima langkah dari meja mahjong, kami terkagum-kagum dengan sebuah bangunan yang sangat kontras dengan Rumah Gambiran sisi utara. Bangunan itu merupakan rumah bergaya Indis dengan kolom menopang beranda depan dan belakang. Menghadap ke selatan dengan pemandangan Gunung Sumbing.
The Han Thong memiliki dugaan, “Bangunan warna putih bergaya indis ini, lebih awal dibangun daripada Rumah Gambiran sisi Selatan.”
Ia juga menyangka bahwa Rumah Gambiran sisi utara dibangun setelah ia kembali dari Tiongkok, sebagai memorial negeri leluhurnya. Berfungsi pula untuk kediaman keluarga besar hingga ia wafat, kata The Han Thong menambahkan.
Kekaguman semakin memuncak, ketika kami dipersilahkan menginjakkan kaki ke dalam rumah. Mata dan lensa kamera tak hentinya menikmati detail ornamen, serta sudut rumah yang luar biasa utuh dan masih terjaga. Rasa kagum, senang, bangga bercampur bahagia, kami rasakan kala menjelajahi kedua Rumah Gambiran ini.
Rumah Gambiran sisi selatan lebih menonjolkan sebagai kediaman elit Eropa daripada pengusaha. Setiap ornamen yang ada dan konsep penataan bagian dalam rumah cenderung mencirikan gaya Eropa. Tentu siapa pun yang akan berkunjung ke Rumah Gambiran pasti terpesona dengan kemewahannya.
Sungguh kesempatan yang sangat langka bagi kami untuk menjelajahi dan mengabadikan dua peninggalan budaya berbeda. Dalam satu tempat dan waktu. Perpaduan marwah sebagai seorang pengusaha gambir dan elit Eropa. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan lebih mengenai Rumah Gambiran selain mewah.
Gaya Indis berpadu dengan oriental adalah wujud akulturasi budaya asing dengan masyarakat setempat. Siek Oen Soei, meski berasal dari daratan Tiongkok, tetapi hubungannya dengan masyarakat Eropa, Tionghoa, maupun pribumi Parakan saat itu terikat baik.
Penelusuran di Parakan Masih Berlanjut
Setelah kepindahan keluarga Siek Bien Bie, Rumah Gambiran sempat kosong dan terbengkalai. Hingga akhirnya tampak seperti saat ini usai revitalisasi oleh Chris Dharmawan, seorang arsitek, filantropi sekaligus pemilik galeri seni Semarang Contemporary Art Gallery di kawasan Kota Lama Semarang.
Kontribusinya di Parakan adalah sebagai pemilik Museum Peranakan Tionghoa Parakan, sekaligus penulis buku Parakan Living Heritage. Buku ini pula yang menjadi panduan saya dan The Han Tong untuk mengulik pusaka tersembunyi di Parakan. Salah satunya Rumah Gambiran.
Pada tahun 2006 Rumah Gambiran dibeli oleh Ekayana Buddhist Centre sebagai Prasadha Mandala Dharma, atau rumah pelatihan dan retret jemaat Buddha. Rumah Gambiran pun mendapat julukan baru, yaitu Rumah Bhante (biksu), karena tempat ini diketuai oleh Bhante Aryamaitri.
Puas menikmati kemewahan Rumah Gambiran, perjalanan saya di Parakan masih berlanjut. Kali ini, selain The Han Tong, saya juga mengajak beberapa kawan lain dari Parakan. Tujuan kami tidak lain menjaga silaturahmi dan kekeluargaan, agar tidak hanya berperan sebagai pemandu lokal saya belaka.
Bagi saya, Parakan membuat candu siapa pun yang memandang. Untuk sebagian orang mungkin tidak menarik, tetapi saya menilai keindahan tidak hanya bisa dipandang dari satu sisi. Seperti halnya Parakan, yang memiliki keindahannya sendiri jika kita melihat dari sisi lainnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.