Pilihan EditorTravelog

Stoikisme Nggahi Mbojo

Ponsel saya berdering. Sebuah nomor asing menelepon. Dengan santainya suara di seberang telepon mengatakan bahwa jadwal bus saya pagi itu harus diganti.

“Tidak bisa. Saya harus berangkat pagi ini, Pak!” jawab saya kesal. Namun, ia bersikeras agar saya mau ganti jadwal keberangkatan.

Setelah beberapa menit bersitegang, orang itu berkata, ”Baik. Anda ke terminal saja, nanti saya carikan bus.”

Saya segera menuju Terminal Mandalika, Lombok. Begitu tiba, saya mencari orang yang menjual tiket kepada saya. Bukannya saya tidak tahu bahwa ia adalah calo, tetapi waktu itu saya tidak punya pilihan lain. Sehari sebelumnya, ketika hendak membeli tiket bus menuju Bima, saya bahkan tak sempat menengok loket resminya. Soal harga resmi tiket tersebut, entahlah. Mungkin, sebaiknya sejak awal saya memesan jasa agen perjalanan saja daripada repot-repot begini.

Saya hampiri orang itu. Entah bagaimana, sepertinya tiket yang saya beli dijual lagi kepada orang lain. Dengan hati panas, saya memaksanya untuk mencarikan saya bus pengganti yang juga berangkat pagi itu. Perselisihan usai—saya pikir. Orang itu mengiyakan permintaan saya.

Di seberang jalan, ada sebuah warung untuk sekadar duduk. Seorang gadis berdiri di sebelahnya. Saya menyapa dan bertanya ke mana dia akan menuju.

“Saya mau ke Bima,” jawabnya.

Kami satu tujuan. Dan tampaknya, nasib kami sama-sama berada di tangan si calo. Ia pun tengah menunggu laki-laki itu. Sialnya, saat saya mendapatkan tiket baru, calo tersebut meminta uang tambahan. 

Seorang perempuan tua menghampiri kami. Sepertinya ia prihatin pada nasib dua anak muda di hadapannya yang dikerjai calo. Ia menyapa Icha—gadis yang bersama saya—dengan Bahasa Bima. Keduanya bercakap-cakap.

”Ya sudah, kalembo ade, ya,” ucapnya sebelum pergi. Saya tak mengerti artinya dan hanya mengangguk takzim.

Pulau Sumbawa di kejauhan/Asief Abdi
Pulau Sumbawa di kejauhan/Asief Abdi

Perjalanan Menuju Samili

Bus membawa kami bertolak dari Mataram, melintasi Lombok Timur hingga tiba di Pelabuhan Kayangan. Inilah ujung timur Lombok. Sebuah selat membentang, memisahkan dua pulau besar, Lombok dan Sumbawa.

Tidak ada antrean panjang. Kendaraan merayap dengan santai ke lantai kapal. Mulut feri itu menelan kami semua. Memasukkan kami ke lambungnya yang besar, layaknya ikan raksasa menelan Yunus. Kapal inilah yang akan membawa kami menyeberangi Selat Alas menuju pelabuhan Poto Tano di Sumbawa.

Saya meninggalkan bus lalu naik ke dek atas. Sebuah bendera berkibar diterpa angin. Gunung-gunung di Lombok mengecil seraya tubuh besar kapal itu menjauhi dermaga. Di depan sana, lanskap yang benar-benar berbeda tengah menunggu.

Jika sebelumnya bentang alam didominasi warna hijau, kini gundukan-gundukan gersang berwarna kuning pucat membentang di cakrawala. Aneh sekali, padahal sekarang musim hujan. Seharusnya sabana berwarna hijau, tetapi Sumbawa saat itu tampak begitu kering. Laut yang tenang memudahkan saya mengambil beberapa gambar pemandangan tersebut dengan kamera.

Kapal membuka mulutnya begitu tiba di pelabuhan. Kelompok manusia keluar, diikuti kendaraan-kendaraan yang sudah tak sabar hendak memijak daratan.

Merapat ke Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat/Asief Abdi
Merapat ke Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat/Asief Abdi

Bus melanjutkan perjalanan. Jalur yang dilewati berliku, sangat berbeda dengan jalanan di Lombok. Pemandangan sekitar didominasi padang rumput yang luas dan gersang. Unik sekaligus membosankan. Di jalanan Sumbawa, ada rambu bergambar sapi, yang artinya hati-hati karena bisa saja ada gerombolan ternak warga melintas. 

Usai melibas lanskap yang monoton dan sempat menembus banjir di beberapa lokasi—dengan daratan yang minim vegetasi pohon seperti ini, tidak heran jika terjadi banjir—saya akhirnya tiba di Samili, Kabupaten Bima pada malam hari. Yaum, seorang kawan kuliah saya, menjemput saya di tepi jalan tempat ia memberi tahu di mana saya harus turun. Kami berjabat tangan dan menuju ke rumahnya.

Rumah teman saya itu tidaklah besar, bahkan tak ada kamar kosong untuk ia sendiri—apalagi saya. Ia meminta maaf karena tidak bisa menyediakan bilik bagi saya. 

Kalembo ade, tidur di sini saja, ya,” katanya.

Malam itu, kami tidur di ruang tengah. Hari ini, dua kali saya mendengar kalembo ade. Saya ingin bertanya apa artinya, tapi kantuk sudah menggelayut. Tak lama kemudian, saya terlelap.

Piknik Keluarga ke Pantai Kolo

Pagi menjelang. Saya menyapa orang tua Yaum, Pak Umar dan Bu Salma. Lagi-lagi, kata itu muncul, kalembo ade.

Saya melangkah keluar, mencoba melihat lingkungan sekitar. Pasar kecamatan cukup ramai. Bus-bus kecil terparkir menunggu sampai cukup penumpang untuk memulai hari. Benhur, kereta kuda khas Bima berseliweran di sekitar pasar. Bajaj—motor roda tiga—berjejer menunggu siapa pun yang butuh diantar.

Ada lapangan sepak bola tepat di depan rumah. Tanah lapang itu tak hanya berfungsi sebagai tempat bermain sepak bola, tetapi juga sebagai pasar pada pagi hari dan arena bermain anak-anak sore harinya.

  • Kesibukan pasar kecamatan di pagi hari/Asief Abdi
  • Bus yang ngetem di tepi jalan desa/Asief Abdi

Aroma harum menguar dari dapur. Tampaknya sarapan sudah siap. Kami berkumpul untuk makan bersama.

Kalembo ade, seperti inilah makanan kami,” ucap Bu Salma.

Begitu hangat suasana saat itu. Saya baru semalam berada di sini dan sudah nyaris akrab dengan semua penghuni rumah. Usai menyarap, keluarga itu mengajak saya piknik. Entah hendak ke mana, saya mengiyakan saja.

Sebuah mobil bak terbuka diparkir di lapangan. Tikar dibentang di bagian belakang. Orang-orang naik satu per satu. Kami membawa perbekalan: satu wadah besar nasi, bumbu masak, dan beberapa ekor ayam. Unggas-unggas itu akan dipotong di tempat piknik nanti. 

Usai memastikan tidak ada satu orang pun tertinggal, oto—sebutan warga Bima untuk segala jenis mobil—itu meninggalkan desa. Melesat menuju Kota Bima. Karena kami memasuki wilayah tertib lalu lintas, sesekali kami terpaksa kucing-kucingan dengan polisi.

Bima benar-benar panas—ternyata memang salah satu daerah terpanas di Indonesia. Kulit saya sampai memerah terpanggang matahari. Orang-orang mengobrol dan bercanda di bak belakang. Saya memerhatikan sekeliling, di setiap jalan yang kami lalui.

Serupa dengan Sumbawa, wajah Bima juga penuh padang rumput. Kontras sekali dengan wilayah Indonesia bagian barat yang cenderung hijau dan subur. Gundukan-gundukan bukit menjulang menghiasi bentang alam tempat ini. Saat hendak berjalan ke salah satu bukit dan ingin melihat desa dari ketinggian, Pak Umar melarang saya.

“Jangan ke sana. Banyak anjing rabies. Bisa digigit nanti,” kata dia. Tampaknya, belakangan penyakit itu menjadi momok bagi warga sekitar.

Pandangan saya menyapu sekitar. Replika rumah adat Bima berjejer di tepi jalan. Di seberang, saya memandang laut yang terbentang. Perahu-perahu nelayan tertambat. Sebuah tulisan “Bima Kota Tepian Air” menyambut kami. Jalanan naik turun, menyajikan panorama yang belum pernah saya saksikan sebelumnya secara langsung. Sampai-sampai saya lupa pada panas yang menyengat.

Kami tiba di Pantai Kolo. Semua orang turun. Anak-anak menghambur begitu saja. Para perempuan menurunkan nasi, segera menyiapkan makanan. Ayam-ayam dipotong. Orang-orang membubuti bulunya dan mencucinya dengan air laut. Kemudian ayam itu dipanggang di atas tumpukan kayu. 

Saya berjalan ke ujung dermaga. Melihat cakrawala tak berbatas di depan sana. Botol-botol bir berserakan. Tampaknya sekelompok pemuda meninggalkannya usai minum-minum semalam. Saya memungut batu dan melemparnya ke laut, membuatnya memantul beberapa kali di permukaan. Anak-anak mengikuti, mengambil batu dan meniru cara saya melempar.

Ketika semua sudah siap, mereka mempersilakan saya untuk makan bersama. Sebuah hidangan sederhana tersaji. Ayam bakar lengkap dengan rujak sebagai pencuci mulut. “Kalembo ade, mari makan,” kata mereka.

Ah, lagi-lagi kata itu. Saya hendak bertanya, tetapi aroma ayam bakar di depan saya terlalu menggoda untuk diabaikan. Kami makan berteman debur ombak dan angin laut.

Filosofi Kalembo Ade

Usai menyantap suguhan sederhana dari orang-orang, saya bertanya pada kawan saya. “Kalembo ade artinya apa?” kata saya.

“Apa, ya. Artinya bisa macam-macam, tergantung kondisi,” jawabnya.. 

Kalembo ade merupakan ungkapan khas Bima yang mengandung banyak makna. Frasa ini multitafsir tergantung situasi saat digunakan. Ia bisa berfungsi sebagai ungkapan belasungkawa, terima kasih, atau permintaan maaf.

Misalnya, ketika seseorang meninggal, mereka bisa mengucapkan ‘Kalembo ade, ini kehendak Tuhan’. Atau saat menawarkan sesuatu pada tamu, ‘Kalembo ade, hanya ini yang kami punya’.

Kata-kata ini juga bisa dipakai saat mereka tidak bisa memenuhi permintaan seseorang. Contohnya, ketika menolak ajakan seorang teman, mereka dapat mengatakan ‘Kalembo ade, saya sedang tak bisa ke mana-mana’. Dengan demikian frasa ini menjadi multifungsi. Namun, merujuk pada makna yang sama bagi pendengarnya, yakni penerimaan.

Hal ini mengingatkan saya pada stoikisme, suatu aliran filsafat Yunani kuno yang trending belakangan. Ajaran tersebut mengingatkan penganutnya untuk membedakan faktor internal dan eksternal dalam hidup. Dengan menyadari faktor apa yang bisa kita kendalikan sesuai kehendak maupun tidak, manusia akan terhindar dari stres dan penderitaan pikiran. Singkatnya, filsafat ini mengajarkan penganutnya untuk stoic (tabah).

Layaknya stoikisme, ungkapan kalembo ade suku Mbojo—suku asli Bima—juga mengingatkan kepada masyarakat lokal untuk selalu berbesar hati terhadap apa pun yang terjadi.

Taman Amahami dan masjid terapung/Asief Abdi
Taman Amahami dan masjid terapung/Asief Abdi

Secara semantik, kata “kalembo” merupakan derivat dari “lembo” yang berarti “besar” atau “lebar”. Sementara itu kata “ade” berarti “hati”. Ini adalah isyarat kepada setiap orang Bima untuk berlapang dada. Maka kalembo ade dapat menjadi sarana bagi suku Mbojo meredam konflik antarsesama. Jika kamu mengunjungi Bima dan mendengar frasa tersebut berulang-ulang, itu karena kalembo ade ada di dalam jiwa suku Mbojo. Ia merupakan warisan luhur dalam khazanah nggahi mbojo—Bahasa Bima.

Di Taman Amahami, saya menutup hari terakhir saya di Bima bersama kawan-kawan. Sore itu kami habiskan dengan mengobrol. Benar-benar sore yang tenang. Laut di hadapan kami tak berombak. Ikan-ikan berkecipak di permukaan. Saya memandang horizon, di mana langit dan laut menyatu. Lantunan ayat-ayat kitab suci terdengar dari masjid terapung—yang tidak benar-benar mengambang—tak jauh dari taman.

Kunjungan saya ke Bima memang singkat. Namun, perjalanan ini mengingatkan saya pada sikap terpenting dalam hidup, yaitu penerimaan. Kalembo ade, Bima.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Asief Abdi

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Asief Abdi belajar biologi di Universitas Negeri Malang. Aktivitasnya mengamati hewan dan tumbuhan sejak kuliah masih berlanjut hingga saat ini. Belakang juga tertarik mengunjungi situs-situs bersejarah. Kini, ia tinggal dan bergiat sebagai pengajar di Pamekasan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jagat Sekala dan Niskala Bukit Kaba (1)