Menginjakan kaki di Surakarta kali ini, sengaja saya agendakan untuk berburu kopi di salah satu warung kopi legendaris di Pasar Gede, Sudiroprajan. Tentu saja, tujuan saya hanya satu tempat yakni di Toko Kopi Podjok yang sudah ada sejak 1947. Saya sengaja memilih datang di hari biasa untuk menghindari kemacetan jalan.
Siang itu, mendung mulai menggelayut atap Kota Solo. Menemani perjalanan saya dari Pura Mangkunegaran menuju Pasar Gede. Saya menaruh ekspektasi: langsung ke Toko Kopi Podjok untuk minum kopi di sana, sembari menikmati suasana pasar yang syahdu.
Menginjakan kaki di Kawasan Pasar Gede, jejeran lampion yang tergantung di atas jembatan Pasar Gede menyambut saya. Pandangan mata ini langsung tertuju ke sana. Kebetulan, kedatangan saya kali ini bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2023 lalu.
Kopi Podjok: Toko Kopi atau Warung Kopi, sih?
Sebelum menuju ke Toko Kopi Podjok, saya sempatkan diri menjamah kawasan Pasar Gede. Siapa tahu menemukan jajanan pasar yang cocok saya sandingkan dengan segelas kopi nantinya. Saya putuskan membeli kue bolu di antara puluhan jajanan pasar yang ada.
Tampak luar, Toko Podjok cukup sederhana. Saking sederhananya, tempat ini “sering terlewat” karena tidak setenar kedai kopi di Kota Solo. Namun, jangan salah. Di mata para penikmat kopi “tua”, tempat ini menjadi punya cerita dan tempat tersendiri di hati mereka.
Tempat ini memang benar-benar lebih layak disebut toko kopi ketimbang warung kopi meski di sini kita bisa mencicipi segelas kopi panas khas Toko Kopi Podjok di tempat. Mereka memiliki signature sendiri sejak pertama kali berdiri. Selain meminumnya di tempat, tentu saja biji kopi pilihan yang berasal dari pelbagai daerah di Indonesia menjadi sajian utama untuk para pelanggannya.
Beda varian, beda gaya, beda rasa. Kalau bingung dengan varian apa yang ingin dibeli, sampaikan saja kopi seperti apa yang kalian inginkan. Mereka dengan senang hati akan memberikan rekomendasi.
“Mas, beli biji kopi saja, atau sama minum kopi?” tanya seorang karyawan toko.
“Tentu keduanya, Mbak!”
Meski begitu, karena tujuan awal memang untuk membeli biji kopi, jadi saya terlalu fokus dengan varian yang mereka tawarkan. Ada Arabika asli Indonesia, ada juga Arabika import. Masing-masing menggiurkan untuk saya bawa pulang.
Selain Arabika, Toko Kopi Podjok juga menyediakan varian Robusta. “Daripada bingung milih, mending buat house blend saja, toh juga buat sendiri,” pikir saya sembari melihat varian kopi yang tersedia.
Menurut saya, kopi yang masih dalam bentuk biji menjadi pilihan tepat untuk dibawa pulang karena mempunyai waktu simpan lebih lama. Hanya saja, kita harus menyediakan alat penggiling kopi setidaknya yang sederhana untuk mengolahnya kembali.
Sembari menunggu biji kopi mereka siapkan, saya memutuskan membeli kopi siap seduhnya. Murah ternyata, hanya 5000 rupiah untuk setiap cup signature Toko Kopi Podjok, dengan merek dagang pertamanya “Tjap Angkring”
Liem A Mee, Pendiri Kopi Podjok Tjap Angkring
Saat tengah asik mengabadikan sudut-sudut toko, pesanan saya sudah siap. Tidak lama kemudian, muncul pria dengan pawakan Tionghoa. Awalnya, saya pikir ia juga pelanggan seperti saya. Ternyata ia adalah Wendy Mintaraja, generasi ketiga pemilik Toko Kopi Podjok.
“Punya coffee shop di mana mas?” tanyanya pada saya.
“Wah, buat sendiri Om, sudah banyak coffee shop je.”
Saya lalu mencoba mendapatkan cerita mengenai tempat ini dari beliau. Dan, tak saya duga, beliau dengan santai bercerita.
Toko Kopi Podjok pertama kali dirintis oleh kakeknya yang bernama Liem A Mee sekitar tahun 1947. Tapi kapan tepatnya tidak diketahuinya. Awalnya, lokasi toko bukan di pojokan Pasar Gede, tapi di kediamannya di Warung Miri, Solo.
“Kakek dulu ceritanya jualan kopi keliling pakai pikulan, lihat bungkus coklat ini, kan gambar orang bawa pikulan. Ya ini produk pertamanya kita. Nah, Kopi Podjok Tjap Angkring menjadi signature sekaligus representasi usaha rintisan kakek.” imbuhnya.
“Lalu, biji kopi ini dapat dari mana, tidak mungkin ditanam di Solo, bukan?” tanyaku.
“Biji kopi pertama berasal dari Dampit Malang,” ungkapnya.
Ia pun menambahkan, “Dulu juga pernah coba [mendatangkan] kopi dari daerah lain, tapi sampai sekarang yang paling bisa diterima oleh pelanggan ya dari Dampit ini. Ini untuk kopi angkring-nya lho, ya. Kalau yang lain, kita datangkan dari berbagai daerah.”
Karena saya asli Boyolali dan banyak kebun kopi masyarakat di daerah saya, obrolan kami terus berlanjut. Meski kami punya sudut pandang yang berbeda dalam menilai kopi—saya hanya penikmat kopi, sedangkan Wendy Mintaraja merupakan pengusaha kopi—obrolan kami nyambung-nyambung saja. Bahkan, kami saling bertukar informasi mengenai masa lalu kopi di Karesidenan Solo, terutama di Boyolali. Berbincang dengan beliau, saya banyak belajar mengenai varian biji kopi.
Bicara kopi di Boyolali, ada Arabika dan Robusta yang berasal dari lereng Gunung Merapi–Merbabu. Masyarakat lokal mengelolanya dari hulu ke hilir. Jika ada kesempatan ke sana, kita dapat mencicipi suguhan kopi tubruk tanpa gula di rumah-rumah para petani kopi.
Nikmatnya minum kopi tubruk adalah kita bisa merasakan aroma dan cita rasa kopi murni tanpa campuran apapun. Termasuk pemanis seperti gula. Namun, kembali lagi tergantung pada selera masing-masing orang.
“Enaknya memang tanpa gula, jadi kita bisa merasakan kuatnya kopi itu sendiri,” ujar Wendy.
Selain kopi-kopi yang sudah saya bungkus tadi, ada varian lain yakni Liberika dan Excelsa. Semuanya punya cita rasa dan aroma khas masing-masing.
Menurut Wendy, ia cukup kesulitan mendapatkan Arabika dan Robusta Lanang. Kalaupun ada stok, biasanya tidak banyak. Biasanya saya pilih kopi Gayo Wine, Arabika Sidikalang, Robusta Lanang, dan Robusta Temanggung. Hari itu saya memilih campuran Arabika dan Robusta Gayo, masing-masing 250 gram untuk dibawa pulang.
Toko Kopi Podjok tidak memajang mesin roasting kopi, namun pelbagai alat untuk memproses kopi bisa kita jumpai di sini. Ada dripper V60, kertas filter, kopi grinder, kopi server, moka pot, French press, dan banyak lagi. Tinggal pilih. Wendy menambahkan, “Biasanya coffee shop dan penikmat kopi rumahan menggunakan alat-alat tersebut.”
“Kalau bingung pilih kopi yang mana, mendingan tanya dulu tidak apa-apa. Nanti kita bantu mencarikan varian apa yang sekiranya cocok untuk kalian. Jangan memaksakan untuk mengikuti tred.” begitu kalimat yang menutup perbincangan kami.
Saya pun melangkah keluar toko dengan setengah kilo biji kopi di tangan. Sejauh tiga kali membeli kopi di Toko Kopi Podjok, baru kali ini saya bertemu pemiliknya. Beruntungnya saya hari itu.
Jadi, apakah hari ini kamu sudah minum kopi, Sob?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.