Setiap kali Devi, Ka Ditho, atau beberapa kawan dari Atambua pulang berlibur, saya tahu betul bahwa mereka akan tiba dalam tujuh hingga delapan jam. Biasanya mereka berangkat malam menggunakan bus yang terparkir di sekitaran Oesapa. Saya pun hafal betul lokasi parkir bus-bus tersebut, harga tiket bus, hingga jam keberangkatan mereka.
Dengan waktu keberangkatan pada malam hari, saya bisa memprediksi pada pukul berapa mereka akan tiba di Atambua. Namun, itu tidak menjadi soal ketika perjalanan yang demikian telah menjadi hal biasa bagi mereka. Lain cerita untuk beberapa kawan yang memang mabuk perjalanan, bisa jadi durasi perjalanan lebih lama.
Jarak Kupang ke Atambua memang sangat jauh. Atambua berada di ujung Pulau Timor. Untuk tiba di sana harus melintasi beberapa kabupaten sekaligus. Mungkin ini sedikit lebih mudah ketimbang perjalanan darat di Flores sana, mengingat topografi Pulau Timor dominan dengan jalan yang rata. Lain cerita dengan Pulau Flores yang memiliki kontur jalan naik turun, melalui jalur bukit dengan tanjakan dan turunan tajam yang berkelok.
Tetap saja, tak peduli serata apa pun jalur jalan, jarak tempuh 270-an kilometer pasti melelahkan. Saya menyadari itu, namun tidak cukup sigap mengantisipasi tatkala melakukan perjalanan ke Atambua.
Berangkat pagi dengan waktu tidur yang benar-benar tidak efektif semula tak saya pikirkan. Saya menumpang bus kampus dengan semangat, mengambil posisi duduk dekat pintu tengah, lalu membuatnya seolah biasa-biasa saja, tanpa memedulikan seberapa jauh perjalanan yang akan kami tempuh.
Bus kampus berukuran mini, hanya memiliki 19 kursi penumpang dan 1 kursi sopir. Sementara rombongan kami terdiri dari 24 orang. Memang ini tidak cukup baik bagi kami semua, tetapi karena pelaksanaan kegiatan, mau tidak mau saya dan beberapa lainnya duduk selonjoran di lorong kursi bus atau di tangga pintu tengah.
Dengan keadaan seperti itu, kami harus menempuh ratusan kilometer menuju Atambua dan berbalik kembali ke Soe. Jika saya kalkulasi, total jarak tempuh perjalanan mencapai 400 hingga 500-an kilometer. Awalnya, ini sama sekali bukan masalah, apalagi hawa di beberapa titik perjalanan begitu sejuk.
Saya ketiduran sebelum memasuki Soe, mungkin karena waktu tidur saya sebelumnya kurang, jadilah saya lebih cepat terlelap. Toh, setelahnya saya kembali fit. Melewati Soe hingga tiba di Kefamenanu, tenaga saya masih kuat, apalagi seberes mengisi perut. Melewati Kefamenanu, saya memutuskan untuk berdiri dan menikmati perjalanan dengan cara yang demikian. Tiba di Atambua dan perbatasan, saya pun masih bersemangat, bahkan hingga kembali dari perbatasan dan melaksanakan kunjungan ke Sekolah Tenun Ikat Flamboyan.
Malam menjelang, saya turun memesan makan malam untuk rombongan kami. Dengan menenteng dua plastik besar berisi puluhan nasi bungkus, rasa pegal menjalari kaki, juga punggung yang mulai terasa sakit. Seberes mengurus makan malam, kami kembali melaju. Hanya beberapa menit setelah keluar dari Kota Atambua, saya tertidur di antara lorong kursi dengan kepala beralaskan tas rekan mahasiswa, entah milik siapa.
Beberapa kali saya terbangun dengan suara rekan mahasiswa yang samar saya dengar. Dhava dan Diva masih duduk di dekat pintu tengah. Sementara, di kursi dekat saya berbaring Falupi, Annis, Rebeka; mereka pun terlelap. Sebelum memasuki Kefa, saya sempat berusaha bangun untuk kembali duduk di dekat Dhava, tetapi gagal. Saya menyadari tubuh ini benar-benar lelah, dengan pegal di kaki dan punggung yang semakin menjadi-jadi.
Di dekat bundaran Tugu Biinmafo, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak makan malam. Saya lupa persisnya pukul berapa, tetapi jalanan sudah mulai lengang. Kami semua turun, dan saya segera melompati got kecil lalu mengambil posisi duduk dengan punggung yang bersandar di tembok pagar Kantor DPRD Kabupaten TTU. Semaput, demikian pesan yang saya kirim ke beberapa kawan dekat.
Beres makan di tempat itu, kami kembali melaju melewati jalur Kabupaten Timor Tengah Selatan hingga tiba di Soe. Saya hanya mengetahui bahwa kami akan menginap di Soe, tetapi tidak tahu persisnya di mana. Rupanya kami akan menginap di Fatunausus yang berjarak kurang lebih 20-an kilometer lagi dari Kota Soe.
Entahlah, di mana dan seperti apa tempat itu, saya tidak berniat bertanya atau sekadar googling. Saya kembali merebahkan badan, lantas menikmati bus yang bergoyang tatkala memasuki jalur yang lebih sempit dengan tanjakan yang begitu banyak.
Saya melirik jam ponsel yang sudah menunjukkan pukul 01.00 WITA, sementara kami tak kunjung tiba di Fatunausus. Beberapa menit kemudian, lintasan aspal berganti jalur tanah, dan beberapa meter berikutnya bus berhenti. Sopir bus pun turun memeriksa kondisi jalan apakah bisa dilewati atau tidak. Dengan sedikit tenaga yang tersisa, saya ikut turun. Sorot lampu bus yang menembus gelap malam itu menyajikan kondisi jalan yang ekstrim. Turunan yang lumayan terjal dengan jalan batuan yang tak lagi baik.
Setelah beberapa saat, sopir bus kembali naik dan memutuskan untuk melintasi jalur tersebut. Mobil melaju pelan melintasi turunan terjal itu. Rumitnya lagi, bus harus melintasi sungai kecil yang sedikit becek, lalu melintasi sedikit tanjakan kembali sebelum tiba di gerbang masuk tempat kami akan menginap. Dengan bantuan flash ponsel, saya melihat pepohonan ampupu, cemara, dan pinus yang tumbuh di kiri kanan jalan.
Tiba di tempat penginapan, kami lantas segera merebahkan badan yang sudah benar-benar lelah, hingga akhirnya terlelap di tengah hawa dingin Fatanausus.
Saya bangun sedikit terlambat dan mendapati rekan-rekan yang lain sudah bangun lebih dulu. Beberapa dari antara mereka tampak sudah mandi, duduk santai di halaman depan sambil menyeduh kopi dan teh, juga beberapa lainnya yang tampak berkeliling menikmati alam Fatunausus.
Tiba malam di sana membuat saya tidak mengetahui bagaimana pemandangan Fatunausus, dan pagi itu saya dibuat terpesona ketika saya melangkah keluar dari tempat penginapan. Hawa paginya yang sejuk berpadu pemandangan gunung batu marmer yang kokoh, juga dengan rimbun pepohonannya yang hijau. Alamnya begitu indah dengan suasananya yang tenang nan asri. Setelah membersihkan diri, saya menyeduh kopi yang sudah disiapkan di halaman tempat penginapan. Ah, indah nian pagi hari itu.
Fatunausus sendiri terletak di Desa Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Daya tarik utamanya terletak pada gunung batu marmer yang menjulang dengan hamparan pepohonan hijau yang memanjakan mata. Tempat ini pun telah ditata dengan ketersediaan gazebo yang ada di sekitarnya. Selain itu, pada beberapa titik telah dibangun beberapa spot foto yang bisa digunakan pengunjung ketika berkunjung ke sana.
Menjelang siang, saya bersama rombongan bergerak ke salah satu titik yang tak terlihat dari halaman tempat penginapan. Tiba di sana, saya sedikit terkejut mendapati gunung batu nan rapi yang selama ini biasa saya temukan di internet. Saya sontak kaget karena tak menyangka bahwa tempat ini terletak di Fatunausus.
Keunikan gunung batu ini terletak pada bentuknya yang terpahat rapi dan licin sebagai bekas penambangan marmer pada puluhan tahun lalu. Berada di sana membuat saya dapat dengan leluasa menikmati panorama alamnya yang menakjubkan.
Siang itu, lagi-lagi keindahan alam Pulau Timor membuat saya jatuh cinta untuk kesekian kalinya.
Kembali dari sana, kami berkemas untuk kembali ke Kupang. Seperti saat datang semalam, saya dan beberapa rekan kembali berjalan mengikuti bus yang melaju pelan pada lintasan yang memang cukup ekstrim. Belum jauh berjalan, saya mendapati seorang bapak yang sedang menunggangi kuda.
Dengan sedikit usil saya bertanya apakah saya bisa menumpang kuda miliknya. Gayung bersambut, beliau mengiyakan. Saya lantas naik dan menumpang di belakangnya. Bapak itu bernama Frans, ia adalah warga setempat yang kebetulan sering melintas di Fatunausus.
Setelah mengucapkan terima kasih pada Bapak Frans atas tumpangannya, saya lantas kembali ke bus dan kami melaju meninggalkan Fatunausus.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.