Bagi saya, alam adalah tempat yang sempurna untuk “melarikan diri”. Bersyukurnya, bentang alam di Malang tidak pernah mengecewakan. Pas sedang jenuh dengan rutinitas, keinginan saya “melarikan diri” terjawab oleh tim Action Research yang membutuhkan relawan fotografer untuk membantu melakukan aksi ke daerah Kondang Merak di Kabupaten Malang. Jujur, sebagai perantau, saya kurang familiar dengan nama daerah tersebut. Alih-alih ragu, saya malah menjadi terpancing untuk menelusuri Pantai Kondang Merak.
Hari keberangkatan tiba, saya dan ketiga rekan melakukan survei ke lokasi. Usai berkendara motor selama kurang lebih 2,5 jam, kami tiba di “pintu masuk” menuju Kondang Merak. Kami sempat syok dengan suasana yang tampak berbeda, bahkan saya sempat ingin mengurungkan niat untuk masuk ke kawasan ini. Tapi rasa penasaran lebih besar dari sekadar apa yang saya lihat. Jalan aspal halus berganti menjadi tanah lengkap dengan bebatuan sepanjang jalan menyambut.
Deretan lampu jalan, berganti menjadi pohon nan rimbun berjajar membentang. Kami memperlambat laju kendaraan karena jalan ini tidak seharusnya kami lewati dengan motor matic. Beruntungnya, hari itu tidak turun hujan. Beberapa kali kami terhenti karena batu besar menghalangi jalan hingga akhirnya tiba di kawasan Kondang Merak. Hawa panas sontak tergantikan dengan oleh angin yang lebih sejuk, lengkap dengan “aroma pantai”. Menyenangkan!
Sampai di sana, seorang warga desa yang juga pengelola konservasi alam menyambut kehadiran kami dengan cerita-cerita seru seputar Kondang Merak. Setelah itu, ia mengajak berkeliling desa.
Hutan lebat mengelilingi desa, satwa di dalamnya pun masih hidup dengan damai, tak banyak manusia yang mengusik. Lutung Jawa adalah salah satu yang hidup nyaman di dalam hutannya. Sayangnya, kami belum berkesempatan menjenguk lutung Jawa karena satu dan lain hal. Sampai akhirnya, ia membawa kami ke salah satu gubuk untuk melihat-lihat berbagai macam foto satwa satu ini. Setiap lutung Jawa punya nama, uniknya nama mereka seperti manusia. Ada Lala, Udin, Dimas, dan lainnya.
Tidak terasa kami berbincang hingga hari beralih ke petang, sejenak kami melipir untuk menyaksikan senja di Pantai Kondang Merak. Kami berjalan ke area pantai, melewati kapal-kapal nelayan yang siap melaut saat malam tiba, dan hutan mangrove penjaga abrasi pantai ini.
“Kalian mau ikut menyelamatkan terumbu karang?” kata salah satu aktivis lingkungan yang menemani kami. Sore hari memang waktu yang tepat untuk memulai misi ini. Terumbu karang yang rusak akan kami angkat supaya tidak mengganggu ekosistem di sekitarnya. Pada lain waktu, kami akan menggantikannya dengan terumbu karang baru hasil dari transplantasi.
Tanpa ragu dan tanpa berpikir panjang—bahwa nyatanya tak satupun dari kami yang membawa baju ganti—ajakan tersebut tidak bisa kami tolak. Kami pun mengikuti mereka ke pantai. Air sudah mulai pasang saat saya menceburkan diri ke air laut, tingginya mencapai pinggang. Ketika mulai berjalan ke tengah, seseorang berteriak, “Hati-hati ada bulu babi!”
“Deloken sek mbok idek, tiati lunyu.” (Lihat yang mau kamu injak, hati-hati licin.)
Masih banyak bulu babi di sekitar kami, mereka tampak berada di celah antara terumbu karang.
Langit makin gelap, air makin tinggi. Semesta telah memerintahkan kami untuk menyingkir agar para nelayan bisa leluasa berlayar. Kami pun akhirnya menepi.
“Habis ini jangan pulang dulu, ada gurita sama cumi-cumi untuk santap malam kita.”
Tentu saja, kami tak akan melewatkan bagian yang satu ini. Saya yang belum pernah makan gurita, menyambut ajakan tersebut dengan mata berbinar. Makin asyik karena menyantapnya di pinggir laut, pikir saya.
Tiba di rumah salah seorang warga, gurita tersaji lengkap dengan nasi yang masih mengepul. Kudapan ini kami habiskan dalam waktu beberapa menit saja, padahal kami menyantapnya sembari membahas rencana konservasi kedepannya. Beberapa isu yang akan kami angkat yakni kelalaian manusia dalam menjaga alam dan akses jalan yang sulit menuju tempat wisata. Ada juga isu lain yang berkaitan dengan lingkungan tentunya.
Waktu menunjukkan pukul 19.30 saat kami usah menyelesaikan diskusi. Tiba juga pada penghujung hari, kami akan kembali ke Malang.
Seketika perasaan aneh menyelimuti saya. Sebuah perasaan enggan meninggalkan Kondang Merak, serta rasa takut akan perjalanan pulang. Tentu, jalur yang kami lewati begitu sulit. Keinginan untuk menginap sungguh besar, tapi apa mau dikata, rutinitas sudah menanti di ujung sana.
Beberapa menit setelah meninggalkan desa, jalanan benar-benar gelap. Hanya cahaya bulan di atas sana yang menerangi perjalanan kami. Hutan di sepanjang jalan yang saat siang tadi sangat menyejukkan, kini menunjukan sisi seramnya. Tidak ada lagi rumah penduduk yang menyambut kami sepanjang perjalanan.
Kami memutuskan berjalan perlahan sehingga waktu tempuh dalam perjalanan pulang jauh lebih lama jika dibandingkan saat berangkat tadi. Selang satu jam berlalu, barulah jalan aspal kami temui. Rasanya lega.
Sambil meneruskan perjalanan menuju indekos masing-masing, otak saya berputar hebat. Manusia dan alam saling berbagi ruang untuk saling bergantung. Mereka saling menjaga satu sama lain. Pengalaman ke Kondang Merak akan selalu melekat di hati saya. Keinginan untuk kembali selalu bersemayam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Laillia Dhiah Indriani adalah seorang penulis lepas, yang sedang menempuh pendidikan Magister di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta. Mari bercakap lebih dekat melalui Instagram @lailliarianiy.