Tanah Air Sabu

Mobil yang dikemudikan Rio melesat membawa kami menyusuri jalanan kecil Kota Kupang. Kupang adalah kota yang hidup, meski sarana dan prasarana yang tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota provinsi di Jawa. Bemo yang menggarong di jalanan sedikit mengingatkan saya akan jalanan Kota Bogor, meski jumlahnya kalah jauh. “Bemo di sini, kalau belok bahkan tidak pakai lampu sein,” ucap Oswald menambahkan. Angkutan umum yang sejenis memang sama seramnya, melibas siapapun yang menghalangi jalannya. Kami berkeliling hingga ke bagian kota lama. Mural-mural dan gedung tua serta pinggir laut mengisahkan gejala kota yang mengalami perubahan zaman.

Sepanjang jalan, saya bertanya pada Rio, kenapa pohon pisang tidak terlihat? Padahal di pinggir jalan di Jawa dan Bali, pohon-pohon pisang bisa tumbuh sembarangan.

“Mungkin karena tanah karang, jadi pohon pisang sulit tumbuh,” ucapnya menjawab pertanyaan polos saya. Tumbuhan yang termasuk dalam famili Musaceae hanya dapat tumbuh subur dalam curah hujan yang sedang-tinggi, dan di tanah Kupang adalah tanah yang musim kemaraunya lebih panjang dibanding musim hujan.

Tujuannya kami sebenarnya adalah Pulau Sabu. Kupang hanya perhentian selama beberapa jam saja, sebelum kami naik ke kapal. Oswald dan Rio mengajak kami melihat bagaimana matahari terbenam di Kupang. Matahari tenggelam di Kupang yang kami lihat, selalu ditemani laut dan satu-dua kapal yang sedang mengangkut kontainer dari dan ke Kupang. Cantiknya, langit tidak hanya berhenti sampai warna oren tua, melainkan hingga warna agak keunguan. Malam harinya, kami diantar menuju Pelabuhan Helong untuk masuk ke kapal Cantika 9E yang berangkat menuju Sabu pukul 9 malam dan tiba di Pulau Sabu pukul 8 pagi.

Kapal Cantika
Kapal Cantika/Arah Singgah

“Sabu apa-apa serba mahal,” terang Kaleb Piga saat mengisi bahan bakar oto yang menjemput kami di pelabuhan. Harga bensin di sini bukan lumayan mahal, tapi sangat mahal! Harga standarnya–untuk pertalite—saja sudah menyentuh angka 25 ribu dan beberapa waktu lalu pernah naik hingga 75 ribu per liternya.

“Masyarakat di sini sudah biasa, tidak pernah demo,” ucapnya dengan nada setengah tertawa. Bayangkan, jika harga tersebut menyentuh orang-orang yang hidup di perkotaan di pulau-pulau besar Indonesia. Paling tidak, demo tidak akan selesai hanya dalam dua jilid. Orang-orang Sabu, sudah dibiasakan sejak dulu bahwa untuk hidup, apa-apa harus membayar mahal.

Bersama Kaleb Piga naik oto
Bersama Kaleb Piga naik oto/Arah Singgah

Oto yang kami tumpangi merambat pelan di jalanan aspal, kemudian harus tergopoh-gopoh menaiki bukit yang berbatu ketika batas aspal sudah mulai pudar. Peradaban berjalan lambat di timur, pembangunan mesti menunggu puluhan tahun untuk sekedar mendapatkan jalan beraspal. Apalagi listrik, di Desa Lobohede—desa tempat kami akan menginap—baru ada listrik semenjak 2012.

Internet cepat? Desa ini baru dapat merasakan sinyal 4G pada tahun 2021, sebelumnya, orang-orang Desa Lobohede harus menempuh 2 kilometer ke atas bukit untuk bisa menikmati internet dengan kecepatan tinggi. “Dulu itu tiap sore sampai malam, orang-orang nongkrong di sana,” seraya menunjuk ke arah bukit yang telah kami lewati.

Kami berhenti tepat di depan rumah Kaleb Piga. Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari batako menyambut kami, yang berjalan ke dalamnya sambil menggotong tas yang lumayan berat. “Taruh di kamar saja,” Kaleb Piga memberi arahan pada kami. Seorang wanita tua menyambut kami dengan sepatah kata yang tidak kami mengerti, tapi dari bahasa  tubuhnya, wanita itu mengisyaratkan kegembiraan.

Kaleb Piga dan keluarga
Kaleb Piga dan keluarga/Arah Singgah

Pekerjaan sehari-hari Kaleb Piga bekerja sebagai buruh bangunan–kalau tidak ada panggilan kerja, dia menikmatinya dengan menghabiskan hari-harinya bersama temannya. Selama seminggu kedepan, dia akan menemani kami menjelajahi sudut-sudut Lobohede. Panas sudah menjelang suhu tertingginya di Sabu, saatnya kami beristirahat barang sejenak sebelum kembali beraktivitas.

Hari-hari di Sabu diisi oleh kambing, anjing, sapi, dan kuda. Beberapa dengan santai menyeberang jalan, karena jalanan yang tidak sering dilalui kendaraan. Tahi kambing adalah warna lain di tanah selain warna coklat rumput yang mengering. Gurat senja tidak pernah terkekang mendung dan angin muson timur berhembus di sela-sela tembok rumah Kaleb Piga yang belum diplester. Rumah modern yang mulai menggantikan rumah ammu iki, rumah khas Sabu yang beratapkan daun lontar kering.

Rumah ammu iki yang menghiasi pinggir jalanan Pulau Sabu
Rumah ammu iki yang menghiasi pinggir jalanan Pulau Sabu/Arah Singgah

Rumah-rumah di Lobohede lumayan berjarak satu sama lain, sehingga ada ruang yang luas untuk anak-anak bermain. Anak-anak belajar menari tarian lendo untuk pementasan acara 17 Agustus mendatang. Dengan masih memakai seragam sekolah, mereka dengan lincah menari diikuti irama gendang dan gong.

Anak-anak yang berlatih tari ledo khas Sabu (2)
Anak-anak yang berlatih tari ledo khas Sabu/Arah Singgah

Irama gendangnya mengingatkan saya dengan tabuhan genderang para pendukung sepak bola ketika menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding. Derap langkah mereka menerbangkan kumpulan tanah gersang. Gerakan yang apik itu terus menyatu dengan tabuhan gendang yang semakin intens. Hanya tersisa lima hari sebelum pementasan berlangsung. 

Di Sabu, hari-hari berlalu dengan terik yang memanggang di siang hari. Sama seperti di kota, smartphone memegang peranan penting untuk menghubungkan Sabu dengan dunia luar. Orang Sabu tidak ketinggalan untuk tetap mengikuti tren yang terjadi di luar jangkauan mereka—termasuk kasus Sambo. Untuk berita lokal, mereka mengikuti satu grup Facebook yang cukup aktif memberikan informasi terbaru bagi warga Sabu. Dari sekedar info antrian bensin hingga jadwal kapal. Berita menyebar secepat kilat di pulau yang tidak lebih luas dari Jakarta.

Lobohede tidak pernah kekurangan air. Meski terik membakar peluh dan mengusir hujan, air-air di Lobohede selalu tersedia. Intensitas hujan yang sedikit hanya mempengaruhi rasa dari air yang berubah menjadi sedikit asin. Sumur-sumur bertebaran di sekitar pekarangan warga. Yang jelas, Lobohede hanya kekurangan hujan, bukan kekurangan air.

Patung Yesus/Arah Singgah

Patung Yesus yang baru dibangun itu merentangkan tangan, terlihat jelas dari jalanan yang menghadap bandara. Bandara kecil Pulau Sabu melayani berbagai rute dari dan ke Sabu. Pesawat yang digunakan pun pesawat rintisan yang masih memakai baling-baling. Tapi bandara itu tidak seramai aktivitas Pelabuhan Seba yang selalu ramai oleh orang-orang yang berjubel keluar masuk kapal.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 comment

Jack Reynaldi 08/November/2022 - 5:36 pm

Terima kasih atas kebersamaannya dengan kami pemuda lobohede dengan waktu yang begitu singkat kaka Irsyad, jejak dan kesanMu bersama teman sangatlah besar dan sangat membantu, mendorong kami ke era yang maju, Semoga suatu kelak nanti kita berjumpa lagi kaka Irsyad saputra dengan kedua teman yang lain.
Salam kami pemuda lobohede, hope to see you again.!!😇🙏🏻

Reply

Tinggalkan Komentar