Pukul 08.00, kami telah menyusuri jalan di sepanjang jalan trans Flores dari Golo Koe di Labuan Bajo menuju Kampung Todo’ di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan perkiraan waktu Google Maps, kami akan menempuh jarak sekitar 117 km dengan waktu tempuh tiga jam lebih. Sebenarnya, dua hari yang lalu kami sempat melewati kampung ini saat hendak menuju Desa Wae Rebo via Ruteng. Gerbangnya tampak besar dan tua, berdiri kokoh pada sisi kanan jalan yang kecil dan berbelok.
Rombongan kami sama sekali tidak berniat untuk melewati rute panjang dari Labuan Bajo ke Ruteng lagi. Selama sisa hari sebelum kepulangan kami ke daerah masing-masing, kami hanya berencana untuk menikmati pantai, perbukitan, gua, maupun pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo. Namun, malam sebelumnya kami sempat berbincang dengan Kak Jojo, pemilik penginapan Golo Koe Sejahtera.
“Iya. Di sana, di Kampung Todo’ ada gendang yang terbuat dari kulit manusia.”
Berbekal informasi menarik tentang gendang dari kulit manusia, serta info bahwa kampung tersebut merupakan salah satu sentra tenun manggarai dengan harga yang jauh miring dibanding tenun-tenun di Desa Wae Rebo kemarin. Singkat cerita, perjalanan menuju Kampung Todo kami mulai tepat pukul 08.00 pagi, belajar dari kesalahan waktu memulai perjalanan saat berkunjung ke Desa Wae Rebo dua hari yang lalu.
Perjalanan berlangsung lancar. Medan rute Labuan Bajo–Ruteng yang penuh tanjakan curam, turunan, dan belokan tajam tidak mengagetkan kami lagi. Berhubung Aji, rekan petualangan kami sebelumnya telah kembali ke Lombok, perjalanan ke Kampung Todo’ kali ini ditemani teman baru, Kak Dini dari Jakarta. Pagi itu saya berboncengan dengan Kak Dini, sementara Kak Riyadi bersama Kak Istya. Kami sampai di jalanan Lembor yang lurus dengan sawah sepanjang mata memandang.
Perjalanan kembali berbelok memasuki area pegunungan sekitar 15 menit berkendara di jalanan lurus. Setelah sejam lebih dengan waktu makan siang yang sudah lewat, kami memutuskan untuk singgah sebentar ke sebuah warung semi permanen, terlihat tua dengan beberapa cemilan termasuk kacang panggang yang menggoda selera. Begitu melewati Lembor, ternyata sangat sulit menemukan warung makan di pinggir jalan dan warung inilah satu-satunya yang bisa kami singgahi. Saya sempat berbincang dengan penjaga warungnya. Dengan ramah beliau menyajikan kopi saset yang kami nikmati bersama beberapa bungkus kacang panggang. Sekitar 30 menit, kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Kampung Todo’.
Hujan yang Menyapa di Sekitar Nancar
Perjalanan kami kembali berlanjut sampai di daerah Lembor Selatan, Nancar, saat awan hitam perlahan menurunkan satu per satu titik hujan. Awalnya kami tidak menghiraukan titik-titik hujan yang ada sebab karakteristik awan daerah Manggarai ini terbilang cukup unik sebab hujan datang dalam beragam intensitas dalam waktu yang pendek, sekadar lewat saja. Namun nyatanya, siang itu hujan turun lebat dalam waktu yang cukup lama, sekitar satu setengah jam.
Kami memutuskan untuk berteduh di salah satu bekas warung semi permanen yang sudah tidak difungsikan lagi, nampaknya sudah lama ditinggali melihat debu dan jaring laba-laba yang lebat pada sudut-sudutnya. Dua orang teman saya kehujanan dan cukup basah. Saya beruntung sebab Kak Dini membawa mantel berlebih.
Hujan dan suasana pegunungan yang dingin menggigit membawa suasana baru setiap kali melintas dengan sepeda motor. Daun-daun lebat dari pepohonan tinggi yang membatasi cahaya rute pegunungan, bau hujan bercampur daun dan tanah yang khas, juga bagaimana kulit terus-terusan merasa dingin menciptakan kebahagiaan tersendiri sehingga hujan yang mengguyur bukan sesuatu untuk disesalkan, sebab sejatinya Tuhan tengah menurunkan kasihnya.
Hujan tak kunjung berhenti setelah lebih dari sejam kami menunggu di sini. Akhirnya, Kak Riyadi berinisiatif menerjang hujan menuju warung yang menjual jas hujan plastik sekali pakai. Telepon genggam, kamera, dan beberapa gear-nya kami simpan secara aman di bagasi motor masing-masing, termasuk dompet dan kertas-kertas kecil penting. Setelah segalanya siap, kami pun kembali melaju. Waktu menunjukkan sekitar pukul tiga sore.
Sampai di Kampung Todo’
Kabut beriringan dengan hujan menyapa kami begitu memasuki perkampungan Todo’. Sebuah tugu besar dengan cat memudar menjadi tanda jalan yang cukup jelas. Begitu kami sampai, tampak dua mobil sedan pengunjung terparkir di area parkir. Sebuah bangunan dengan atap niang mbaru namun dengan ukuran yang lebih kecil, serta bentuk yang secara umum lebih modern dan baru. “Compang Todo”, begitulah nama bangunan tersebut. Seorang lalu keluar dari sana dan mempersilahkan kami masuk.
Di dalam, kami menunggu hujan reda dan kabut menipis sambil bercerita ringan dengan dua warga lokal yang bertugas mengarahkan wisatawan, Ibu Maria dan Pak Daniel. Kami bercerita beberapa hal, seperti kondisi pariwisata di Kampung Todo’ ini, kebudayaannya, serta cerita lepas perihal Pak Daniel yang sempat merantau ke Sulawesi Selatan, kampung kami. Kampung Todo’ dibuka sebagai objek wisata budaya sekitar tahun 2014, terbilang cukup baru dibandingkan dengan wisata budaya dengan rumah adat yang sama, Niang Mbaru, di Desa Wae Rebo.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.