Sehari sebelumnya, aku menghadiri acara yudisium di temani ayah, ibu, dan juga adik-adikku. Keesokan harinya, dengan persiapan serba mendadak aku dan keluarga memutuskan pergi ke Danau Toba. Perkiraan waktu sampai ke lokasi pukul tiga sore sejak berangkat tepat pukul sepuluh pagi dari Kota Medan. Ternyata perkiraanku meleset jauh, mobil dengan muatan sembilan orang itu mengalami kerusakan. Kaca mobil tak berfungsi, sehingga tak bisa tertutup dan terbuka dengan baik.
Aku yang tak mengerti tentang mobil hanya bisa memasang headset dengan memutar lagu-lagu kesukaanku sambil mengamati sekeliling. Sekitar kurang lebih tiga jam bergelut dengan bengkel yang berbeda, akhirnya mobil kembali dalam keadaan sehat dan siap untuk melanjutkan perjalanan.
Sudah pukul sembilan malam, akhirnya aku dan keluarga beristirahat di homestay. Dengan fasilitas dan harga terjangkau cukup memberi kenyamanan dan ketenangan malam itu. Namun, tiba-tiba terdengar lantunan musik dari belakang penginapan, ternyata ada sebuah kafe. Aku ke sana.
Beberapa permainan air juga tersusun rapi di tepi danau. Tempat yang kamu tuju telah di depan mata, aku dan keluarga memilih Pulau Samosir untuk liburan kali ini, tepatnya di Pantai Pasir Putih Parbaba.
Mataku yang sudah tak bersahabat, ingin segera memejamkan mata. Berharap esok pagi akan menikmati matahari terbit di tepi salah satu danau vulkanik terbesar di dunia tersebut. Aku kembali ke penginapan dan mengambil selimut untuk menutupi seluruh bagian tubuh yang sudah menggigil kedinginan.
Pagi hari di Danau Toba
Beberapa alarm terdengar, seakan memanggilku untuk keluar dari balutan selimut dan menyambut matahari terbit. Namun ternyata, keinginanku melihat sunrise terkalahkan dengan beratnya mata untuk terbuka. Akhirnya aku terbangun sekitar pukul setengah tujuh pagi. Aku pun bergegas lari menuju tepi danau. Seperti mimpi melihat barisan bukit berdiri gagah di depan mata. Aku lalu merasakan dinginnya air menyentuh kaki. Udara sejuk dengan tiupan angin menyapa tubuh letih menjadi bugar.
Perlahan aku berlari kecil di tepian danau, olahraga ringan menyambut hari yang indah. Beberapa patung ikan mas terlihat berdiri di tepi danau, mengingatkanku pada kisah ikan mas yang identik dengan Danau Toba. Apakah itu hanya sebuah legenda untuk menidurkan seorang bocah atau justru kisahnya nyata?
Tepat di hari Jumat yang penuh berkah menjadi momentum aku akan menyandang status baru yaitu menjadi seorang sarjana. Hari ini, universitas mengadakan wisuda yang ke-77. Wisudanya diadakan secara daring. Tak pernah terpikir olehku akan wisuda bersamaan dengan pandemi COVID-19. Sehingga dua tahun belakangan ini semua acara dilakukan secara daring, termasuk wisuda. Walaupun demikian, semua harus tetap dilanjutkan, bukan?
Jam di tangan sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, aku pun membuka laptop untuk segera memasuki acara wisuda yang sedang berlangsung melalui sebuah tautan. Teman-teman yang mengenakan seragam lengkap terlihat antusias dengan riasan make up di wajahnya.
Aku hanya tersipu malu dengan keadaan gamis yang setengah basah akibat main air. Meskipun demikian, beberapa kali aku mengarahkan kamera tertuju pada latar Danau Toba. Memang bukan Anggi namanya kalau tak jahil hingga salah satu dosen menegur melalui pesan di WhatsApp, “Anggi hari ini wisuda.” Aku pun membalasnya dengan emoji tersenyum dan segera kembali ke layar laptop.
Namun, tak sampai disitu, aku yang memang gemar bermain air tak tahan ingin segera berseluncur dengan beberapa mainan air di Danau Toba. Seperti banana boat. Tak hanya itu, sampan kecil yang siap membawa tubuh untuk berkeliling di danau vulkanik juga telah di depan mata. Aku pun mematikan kamera di layar laptop dan menitipkannya dengan kakak ipar yang sedang sedang duduk di pondok.
Setelah mendengarkan arahan dari Bang Togar, pemilik sampan dan memakai pelampung akhirnya aku menaiki sebuah sampan kecil. Sampan ini hanya muat untuk dua orang, dengan tarif lima puluh ribu dan unlimited waktu penggunaanya.
Untuk mendayung sampan, aku dan adikku harus punya strategi mendayung secara bersamaan. Tapi, sudah dipastikan tak ada kekompakan di antara kakak dan adik, yang satu mendayung ke kanan dan satunya lagi ke kiri. Bahkan ini sudah seperti latihan militer bagiku, otot-otot tangan bergetar dan suara pun serak akibat tertawa dengan hebohnya.
Rasanya seperti mimpi memakai toga di Danau Toba, berharap agar masa depanku juga akan seindah Danau Toba. Aku kembali menghidupkan kamera di acara wisuda dengan pakaian yang sudah basah. Hanya bertahan lima menit di depan layar, aku pun segera menaiki banana boat bersama saudara lainnya. Bang Togar mengiringi dari depan dengan boat nya bersama ayah dan ibu yang siap mengabadikan kebersamaan anak-anaknya.
Permainan pun dimulai, sayup-sayup angin menghampiri tubuh dengan kecepatan rendah boat yang dibawa oleh Bang Togar. Tak sampai sepuluh menit banana boat melaju dengan kecepatan tinggi, aku berteriak kencang, takut dijatuhkan mendadak. Benar saja, ketika boat yang dikendarai Bang Togar membelok, dengan hitungan detik banana boat pun ikut terguling. Bersamaan dengan itu, aku dan saudara-saudara jatuh ke Danau. Aku yang terkejut dan berteriak sebelum terjatuh menelan banyak air, hingga batuk-batuk dan hampir muntah.
Meskipun demikian, detak jantungku tak bisa berbohong ketika Bang Togar memberikan aba-aba akan menjatuhkan untuk kelima kalinya. Disaat itu, aku mengangkat tangan. Bang Togar pun paham dan menggagalkan aksinya.
Setelah turun dari banana boat, aku dan keluarga bergegas membersihkan diri dan berganti pakaian, karena kami sudah kedinginan. Ku lihat jam di dinding kamar sudah menuju pukul setengah dua belas siang. Sekitar tiga jam lagi wisudawan dan wisudawati dari fakultasku akan segera dilantik menjadi sarjana secara daring.
Tepat pukul dua belas aku dan keluarga meninggalkan penginapan. Mobil melaju ke arah jalan berkelok yang dinamakan” Kelok 8” atau sering juga disebut “Sibe-bea”.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.