Bolaang Mongondow Utara, 24 Desember 2021.
Kala itu jam menunjukkan pukul 06.00 WITA. Pagi yang datang membawa sang surya mengembang. Sungguh cerah pikirku kala itu. Aku mulai mengemas beberapa pakaian ke dalam daypack kuning. Bersama lima sahabatku, yaitu Yadi, Ratna, Baihaqi, Pak Agus dan Pak Emang rencananya akan pergi berlibur sejenak. Menghabiskan 3 hari yang berharga di Kota Tomohon.
Banyak yang menyebutkan bahwa Tomohon dan Manado adalah kota yang memiliki toleransi luar biasa. Maka dari itu, kami ingin tahu bagaimana rasanya menghabiskan malam Natal di kota yang penduduknya merayakannya.
Kami mulai beranjak pukul 10.00 WITA. Kali ini, Pak Emang yang menjadi tour guide karena beliau asli Manado, sedangkan kami berlima berasal dari Jawa dan Sumatera. Kami berhenti di daerah Lolak pada pukul 11.45 WITA untuk menunaikan salat Jumat sekalian makan siang di Warung Makan Lamongan.
Kami memang sudah beberapa kali mencoba masakan di sana, biasanya aku mencari soto. Meskipun tidak senikmat soto Lamongan di Jawa, namun bagiku sudah cukup untuk mengobati rasa rindu akan tanah Jawa.
Matahari Terbenam di Linow
Tujuan pertama adalah Danau Linow. Sebuah danau yang berada di dataran tinggi Tomohon. Rencananya kami akan melewatkan waktu matahari tenggelam dengan secangkir kopi atau teh di atas sana.
Sesuai harapan, kami tiba disana pukul 16.30 WITA. Matahari masih menggantung di ufuk barat. Kami bergegas masuk ke restorannya setelah membayar tiket masuk kawasan seharga Rp30.000 per orang. Baihaqi dan Pak Agus berinisiatif untuk menukarkan kupon free coffee and tea yang kami dapatkan di loket pembayaran tadi, sedangkan kami berempat sibuk untuk mengeluarkan kamera dan drone yang telah kami bawa.
Waktu berjalan terasa lebih cepat, beberapa jepretan dan secangkir kopi sudah kuhabiskan. Canda dan tawa saling kami lemparkan dalam lingkaran meja. Tibalah waktunya kami melanjutkan perjalanan menuju Manado. Lebih tepatnya ke wisma karyawan yang berada di sana. Wisma itu menjadi persinggahan ketika karyawan sedang berada di Manado.
Di sepanjang perjalanan dari Tomohon menuju Manado, suasana malam Misa benar benar khidmat. Semua gereja penuh oleh jemaat. Hiasan pernak pernik Natal ada di mana-mana. Sungguh malam yang penuh suka cita.
Setibanya di Kota Manado, kami pun langsung menuju area Mega Mas untuk mencari santapan malam. Di sana sangat ramai oleh warga yang sedang merayakan malam Natal. Mungkin, hampir semua sudut Manado suasananya sama seperti ini, pikirku.
Selesai dengan makan malam, kami bergegas menuju wisma yang terletak di dalam perumahan Holland Village. Rintik hujan mengiringi kedatangan kami kala itu. Cocok untuk beristirahat sebelum esok menjelajah lagi.
Pagi yang gerimis tak menyurutkan semangat kami untuk bergegas kembali. Tadi aku dan Pak Emang sempat membeli sarapan nasi kuning di tepi jalan. Kemudian, mulailah kami bersiap menelusuri jalanan Manado-Tomohon lagi setelah sarapan kami tunaikan.
Bukit Kasih, Bukit Toleransi
Perjalanan sekitar 1,5 jam kami tempuh dengan beberapa candaan di dalam mobil. Sebenarnya kami sempat cemas akan cuaca di sana. Namun perasaan tersebut sirna ketika tugu Selamat Datang Kota Tomohon terlewati tanpa tetesan air hujan. “Semesta mendukung,” pikirku kala itu.
Bukit Kasih menjadi tujuan utama kami. Sebelum memasuki kawasan wisata religi Bukit Kasih, tepatnya di Kecamatan Kawangkoan kami sempat terpukau oleh patung Yesus memberkati setinggi 20 meter.
Tak perlu berpikir lama, aku segera membuka drone bag. Nahas sekali ternyata aku lupa memasukkan remote control. Rasanya jantung berhenti berdetak, darah berhenti mengalir. Udara dingin Tomohon semakin membekukan tubuh ini seakan masih belum percaya akan keteledoranku kali ini. Untungnya sahabatku menenangkan, meskipun sesekali menyindir halus kejadian ini.
Beberapa menit kemudian, kami pun memasuki loket pembayaran di Bukit Kasih. Harga tiketnya sangat terjangkau, yakni Rp10.000 per orang. Kami disuguhi pemandangan Tugu Toleransi setinggi 22 meter. Tugu itu adalah simbol kerukunan 5 agama yang ada di Indonesia. Sebelum menaiki anak tangga, Ratna tertarik untuk menyewa jasa foto yang ada di sana. Uniknya, bapak itu menawarkan jasa foto dengan burung hantu miliknya.
Setelah selesai dengan sesi foto, ia menyusul kami untuk menaiki satu per satu anak tangga. Di puncak Bukit Kasih tersebut, terdapat tempat ibadah 5 agama, dan di lerengnya terdapat pahatan berbentuk dua wajah nenek moyang suku Minahasa yakni Toar dan Lumimuut. Udara yang dingin di puncak, serta bau belerang yang sangat tebal, membuat kami segera turun karena ingin menikmati pijat refleksi di salah satu warung di bawah.
Sesampainya di bawah, kami silih berganti ditawari jasa pijat oleh ibu-ibu terapis. Tak menunggu lama, kami mengiyakan tawaran mereka. Pijat refleksi dengan air belerang ini dibanderol dengan harga Rp25.000 hanya untuk sepasang kaki.
Setelah asyik berpijat dan minum kopi serta makan gorengan hangat, kami pun bergegas mencari makan siang di Kota Tomohon. Cukup susah bagi kami untuk menemukan makanan halal disana.
Udara sejuk Tomohon, serta lalu lalang warga yang silih berganti pulang dari gereja membuat suasana tenang disini semakin akrab. Nampaknya mimpi itu tak hanya ilusi, dan janji pun segera tergenapi.
Setelah kami bersantap siap, Kota Manado menjadi tujuan selanjutnya. Di hari Natal seperti ini, jalanan dari Tomohon menuju Manado padat merayap, banyak wisatawan yang berkunjung dari luar kota seperti kami.
Kami memasuki kawasan Manado Town Square guna membeli kebutuhan pribadi karena di Bolmut susah untuk mencari barang kebutuhan. Cukup lama kami berada di sana, tak terasa habis waktu tiga jam kami mengelilinginya. Perut pun rasanya semakin berontak menunggu asupan. Kami pun segera keluar dari kawasan Mantos dan mencari makanan yang searah jalan pulang.
Pilihan kami tertuju oleh sate kambing dan gulai. Warung tersebut tidak terlalu besar, namun banyak sekali pengunjung yang mampir untuk mencicipi masakannya. Kalau kata Pak Emang, warung ini sudah menjadi langganan banyak orang. Tak heran jika pesanan kami datangnya agak lama. Namun demikian, rasa yang kami dapat sungguh mengalahkan rasa capek menunggu pesanan. Memang tak salah jika warung ini menjadi langganan banyak orang.
Sesi makan sudah selesai, kini waktunya untuk beristirahat karena besok masih ada agenda yang tentunya butuh kondisi badan yang sehat.
Menutup Hari di Jembatan Ir. Soekarno
Pagi menjelang, hujan pun seperti sudah menjadi rutinitas. Rencananya, kami hanya ingin ke Jembatan Ir. Soekarno dan membeli beberapa buah tangan lalu pulang menuju Bolaang Mongondow. Setelah semua barang terkemas rapi, kami pun langsung menuju area Mega Mas pada pukul 13.00 WITA.
Kami membeli beberapa buah tangan, lalu menuju utara Mega Mas. Untuk sejenak, kami menghabiskan sedikit waktu untuk bersantai di tepi pantai ini. Jembatan Ir. Soekarno pun nampak jelas dari sini.
Mungkin sore akan merenggut matahari dari cakrawala. Berganti malam yang penuh ketenangan, pun kejutan. Saatnya kami menelusuri jarak ratusan kilometer menuju Bolaang Mongondow. Suatu saat nanti akan ada cerita lagi di sela-sela kerjaan yang tak ada habisnya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!
Pekerja lepas bidang pariwisata, pemilik usaha kedai kopi, pendiri sebuah komunitas bernama "Kopi Peduli." Tinggal di Kabupaten Semarang.