Kisah ini bermula dari sekitar akhir 2018, ketika sebuah pesan singkat masuk ke akun Facebook salah satu co-founder Indonesia Graveyard, almarhum Deni Priya Prasetia. Seorang pria bernama Mario Grinwis yang tinggal di New Zealand mengontak almarhum Deni untuk meminta tolong mencari makam pamannya, Cornelis Grinwis. Mario Grinwis mengontak Deni setelah Indonesia Graveyard diliput oleh kantor berita ABC News Australia pada November 2018.
Dalam pesan singkatnya, Mario Grinwis mengirimkan dua foto, yakni foto makam Cornelis Grinwis, dan foto bagian belakang foto makam beliau, yang bertuliskan “Petamboeran”. Mereka yang berada di foto tersebut adalah keluarga istri Cornelis Grinwis. Setahun sebelum meninggal karena penyakit Malaria, Grinwis sempat menikah dengan seorang perempuan asal Indonesia bernama Leonora Frederika Bacas. Foto di makam itu sendiri diperkirakan diambil usai perang kemerdekaan.
Berbekal foto tersebut, kami pun mencarinya ke TPU Slipi Petamburan Jakarta pada awal 2019. Mencari satu makam berangka tahun 1939 sungguh bukan pekerjaan yang mudah, apalagi makam yang berada di TPU tersebut berjumlah sekitar 15 ribu makam. Ketika kami mencoba menanyakan kepada pengurus makam, mereka menunjuk sejumlah buku catatan tua, berisi nama-nama orang yang dimakamkan di sana, sayangnya, kami tidak menemukan makam Cornelis Grinwis, karena makam yang tidak diurus keluarganya selama lebih dari 15 tahun akan ditumpuk oleh makam lain. Tapi kami tetap mencoba mencari lagi dan lagi, namun tetap gagal menemukan makamnya.
Waktu berlalu, Deni berpulang ke haribaan-Nya pada Agustus 2019 namun kisah tentang proses pencarian makam tersebut tidak pernah absen kami ceritakan setiap kali kami diwawancara oleh media. Meski makamnya tidak berhasil kami temukan, paling tidak, cerita tentang Cornelis Grinwis tetap akan selalu terkenang. Seperti apa jejak hidup Cornelis Grinwis?
Cornelis Grinwis, si Tentara Muda
Cornelis Grinwis atau yang akrab dipanggil Kees adalah seorang tentara Belanda kelahiran tahun 1915. Kees tumbuh dan besar menjadi seorang pemuda periang yang gemar berpetualang. Negeri Belanda di tahun 1930-an adalah sebuah negara konservatif dan kaku, yang tak cocok dengan jiwa muda Kees yang mendambakan kebebasan. Sebagai anak sulung, Kees merasa jika dia harus membantu perekonomian keluarganya sehingga ketika ada peluang untuk berpetualang ke Hindia Belanda, dia memilih mengadu nasib dengan mendaftarkan diri menjadi tentara pada sekitar tahun 1935 dan rencananya akan ditempatkan di Batavia selama lima tahun.
“Setelah resmi menjadi tentara, Kees sempat bertugas dengan menjadi anggota pasukan berkuda di Den Haag. Beberapa bulan kemudian, dia harus berangkat ke Hindia Belanda menggunakan kapal. Kees sempat berfoto bersama keluarganya sebelum berangkat. Dalam foto tersebut, semua wajah anggota keluarganya terlihat sedih, karena mereka takut jika mereka tak akan melihat Kees lagi. Sebagai anak sulung, Kees merupakan anak kesayangan dalam keluarga. Dalam foto itu, saudara perempuan Kees terlihat seperti bayangan putih. Tapi saya malah melihatnya sebagai kekuatan dari foto ini,” kata Mario Grinwis, keponakan Kees.
Mario bercerita, ketika Kees meninggalkan Belanda di usia 20 tahun, ayah Mario Grinwis baru menginjak usia 3-4 tahun. “Keputusan untuk meninggalkan Belanda mungkin karena gejolak darah mudanya yang ingin berpetualang ke belahan dunia lain, mengadu nasib di tempat baru, bertemu dengan orang-orang baru, dan melihat hal-hal yang baru. Dari foto-foto yang kami punya, sepertinya dia sangat menikmati petualangannya di Hindia-Belanda waktu itu,” kata Mario Grinwis.
Cornelis Grinwis atau Kees berada di Hindia Belanda kurang lebih selama empat tahun. Selama berada di Hindia-Belanda, Kees sempat berkeliling ke beberapa tempat, salah satunya ke Kota Salatiga, Jawa Tengah. Mario Grinwis, keponakan Kees, mengirimkan sebuah foto yang menangkap momen Kees sedang berenang. Dalam foto tersebut, dia terlihat berpose dengan mengenakan pakaian renang dan menikmati keberadaannya di kota itu. Selain itu, dia juga berpose di atas sebuah sepeda motor bersama salah satu sahabatnya yang juga sesama tentara, yang bernama “Ad”, di sebuah tempat yang tidak diketahui di Batavia.
Pada tahun kedua keberadaannya di Batavia, Kees bertemu dengan seorang perempuan bernama Leonora Frederika Bacas. Tak butuh waktu lama, keduanya memutuskan menikah. Usai menikah, mereka dianugerahi seorang anak perempuan yang diberi nama Pieteke Grinwis. Mereka juga sempat tinggal di sebuah tempat di Batavia. Sayang, tak lama kemudian, Kees menghembuskan nafas terakhirnya di usia 24 tahun, tepatnya pada tahun 1939, setelah terkena penyakit malaria. Setelah Kees meninggal, istrinya dibawa keluarga Grinwis pindah ke Belanda bersama anaknya. “Leonora sudah meninggal, saya lupa tahun berapa, kalau Pieteke masih hidup sampai sekarang, dia memiliki dua anak perempuan, mungkin sekarang Pieteke sudah berusia 83 atau 84 tahun,” kata Mario.
Mario menjelaskan keberadaan Leonora dan Pieteke di Belanda di awal 1940-an, bukan sebuah hal yang mudah juga untuk keduanya, mengingat wajah dan ras mereka yang berbeda dengan kebanyakan orang di sana. Namun, menurut Mario, keluarga Grinwis sangat menyayangi keduanya, dan tak pernah membeda-bedakan ras Leonora dan Pieteke, sehingga keduanya hidup bahagia di sana. Mario berharap, cerita singkat tentang Kees ini bisa menjadi sepenggal kisah sejarah yang terjaga dan bisa menjadi manfaat buat semua.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!