Sulawesi Selatan dan Bissu dalam Buku ‘Calabai’

Sampai saat ini, membaca buku terkait kebudayaan tanah sendiri masih menyisakan perasaan yang berbeda dari membaca cerita pada umumnya. Sebagai seorang yang menghabiskan seumur hidupnya di Sulawesi Selatan dengan segala budaya Suku Bugis, buku-buku mengenai rincian adat istiadat Sulawesi Selatan, bahasa dan dialog yang akrab  di telinga menjadi prioritas dan tempat tersendiri di hati saya.

Saya pertama kali membaca buku dengan latar tempat Sulawesi berjudul Lontara Rindu karangan S. Gegge Mappangewa, lalu buku Puya ke Puya karangan Faisal Oddang, hingga Natisha dan Gadis Pakarena karangan Khrisna Phabicara. Setiap buku fiksi karangan para penulis tanah Sulawesi selalu diselingi pengetahuan tentang agama to riolo, kebudayaan yang mulai tergerus, suasana kampung pedalaman, sampai keindahan alam dalam gambaran kata-kata. 

Saya senang menjelajahi tanah kelahiran ini, tidak hanya lewat langkah, melainkan juga melalui kata-kata pada kisah-kisah lokal. Salah satu yang saya nikmati adalah buku Calabai: Perempuan dalam Tubuh Lelaki karangan Pepi Al-Bayqunie. 

Calabai (Perempuan dalam Tubuh Lelaki)/Nawa Jamil

Buku ini bercerita tentang sosok Saidi, lelaki yang berasal dari Kampung Lappariaja di Kabupaten Bone, diangkat dari kisah nyata Puang Matoa Saidi. Saidi, anak bungsu lelaki yang paling ditunggu-tunggu ayahnya, justru tumbuh memalukan sebagai seorang calabai. Calabai, sebutan orang Bugis bagi laki-laki yang gemulai layaknya perempuan. Saidi terlahir sebagaimana adanya. Lelaki yang gemai-gemulai itu, membiarkan rambutnya panjang tergerai sebab akan jatuh sakit jika dipotong. 

Diangkat dari kisah nyata/Nawa Jamil

Pada bab awal, penulis membawa kita kepada perjuangan Saidi sewaktu kecil di tengah diskriminasi orang-orang kampung dan penolakan ayahnya terhadap keadaan Saidi yang tumbuh sebagai seorang calabai. Saidi, tidak pernah sengaja bertingkah-laku dengan perawakan calabai, melainkan ruhnya sejak kecil hanya menyukai kegiatan-kegiatan yang seringkali dilakukan perempuan. 

Dalam novel ini, penulis menggambarkan bagaimana batin Saidi tersiksa oleh ejekan teman sekolah, ustaz yang menceramahi dirinya setiap khutbah Jum’at, juga ayahnya yang berusaha menjadikan Saidi laki-laki dengan tindak kekerasan. 

Saidi sebagai lelaki Bugis memutuskan untuk merantau tanpa bekal apapun, hanya sebuah pertanda lewat mimpi yang misterius. Saidi yang kala itu berusia 17 tahun berjalan kaki dari kampungnya di Kabupaten Bone ke Mallawa di Kabupaten Maros. Puluhan kilometer pada akhirnya mengantarkan Saidi ke Segeri di Pangkep, negeri para bissu. Bissu, seorang dengan kedudukan tinggi dalam adat masyarakat Bugis. Merekalah calabai yang menerima penghargaan di tengah-tengah masyarakat karena dianggap sebagai penghubung antara dewata dengan bumi manusia. 

Buku ini membawa para pembaca dalam mengenali budaya Segeri dan Bugis, kaitannya dengan kisah-kisah lama, serta upacara-upacara adat yang masih ada sampai hari ini. pembaca dibawa ke keseharian di Bola Arajang, rumah tempat penyimpanan benda-benda pusaka. Aktivitas para bissu, mulai dari rapat dan mengadakan persiapan acara-acara adat seperti mappalili atau appalili, yakni pesta sebelum dimulainya musim tanam padi, berharap berkah dari sang dewata agar panen para petani sukses dan berkah. Tidak hanya mappalili, upacara-upacara yang sarat akan budaya seperti menre’ bola baru, atau upacara saat pertama kali masuk rumah yang hendak ditinggali, upacara menunaikan hajat, serta upacara-upacara lainnya. 


Sekepul kemenyan dari pengarang/Nawa Jamil

Penulis melalui keseharian Saidi mengajak para pembaca tidak hanya berkenalan dengan budaya-budaya serta adat Bugis yang sarat akan nilai-nilai magis, tetapi juga sikap masyarakat umum terhadap kehadiran para bissu. Digambarkan bagaimana masyarakat-masyarakat yang hidup di sekitar Segeri maupun daerah-daerah lain di Sulawesi Selatan masih sangat memperhitungkan tanda-tanda alam maupun fenomena yang diartikan oleh para bissu. Namun penulis juga menceritakan perihal bagaimana masyarakat dengan identitas agama tertentu begitu mencekal aktivitas adat bissu yang dikaitkan dengan laknat Tuhan, karena tidak bersikap sesuai kodratnya. 

Tidak hanya terkait pro dan kontra bissu dan pelestarian adat Bugis, Saidi, Puang Malolo termuda (wakil pimpinan para bissu) dalam sejarah, tidak hanya berjuang mempertahankan adat Bugis ditengah pelarangan berbagai pihak-pihak tertentu, tetapi juga beliau dengan berani mulai mengenalkan tradisi Sulawesi Selatan ke luar pulau berkaki empat ini, sampai ke Pulau Jawa bahkan ke luar Indonesia. 

Satu hal yang menohok saya sepanjang tulisan dalam buku ini adalah tatkala Saidi bertemu dengan Kiai Kusen dan berdiskusi terkait hakikat seorang tubuh laki-laki dengan jiwa perempuan maupun sebaliknya. “Tidak melaknat naluri, melainkan perilaku”. Satu kalimat singkat itu, membawa penyadaran besar pada diri Saidi, dan sangat mungkin pada para pembaca lainnya. 

Secara garis besarnya, saya menikmati dan berterima kasih kepada penulisnya, Kak Pepi yang terpanggil untuk melanjutkan penulisan buku calabai ini setelah sempat terhenti selama hampir 10 tahun. Tentang sebuah pencarian jati diri seorang Saidi, buku ini membawa nilai-nilai adat Bugis, nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakat, juga toleransi di tanah Sulawesi Selatan. tidak lupa pula, penggunaan dialog Bugis menjadikan buku ini begitu enak untuk dibaca, khususnya bagi orang-orang yang ingin mengenal kebudayaan Bugis di Sulawesi Selatan. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
!

Tinggalkan Komentar