Dalam setahun kalender, beberapa hari besar seperti lebaran, natal, hari libur sekolah selalu mengundang masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengunjungi tempat wisata. Pantai-pantai selalu terlihat sesak, gunung-gunung juga berjubel para pendaki, belum lagi tempat hiburan buatan dipenuhi para pengunjung. Coba kita luruskan daftar apa saja yang masuk tempat wisata populer; alam, cagar budaya, perkotaan, tempat hiburan. Dari pelbagai tempat tersebut, kita dapat menggolongkan tempat wisata ke dalam dua jenis; alam dan artifisial. 

Ekonomi memang sektor yang paling diuntungkan dengan kedatangan massa dalam jumlah yang besar seperti ini, namun bagaimana dampak pada sektor lainnya? 

Warga dan wisatawan memadati kaldera kawah Bromo saat puncak perayaan Yadnya Kasada di puncak Gunung Bromo via TEMPO/Aris Novia Hidayat

Dalam sebuah studi oleh Claudio Milano dan Joseph M Cheer, mereka mendefinisikan overtourism sebagai pertumbuhan pengunjung yang berlebihan yang mengarah ke kepadatan penduduk yang akibat dari puncak pariwisata sementara maupun musiman, yang telah memaksa perubahan dalam gaya hidup, akses ke fasilitas, dan kesejahteraan umum. Dalam studinya lebih lanjut, mereka mengatakan ini adalah fenomena yang mendunia yang telah terjadi di berbagai tempat seperti Bali, Berlin, Kyoto, Paris, Palma, dan lainnya. Fenomena ini sama buruknya dengan fenomena lainnya yang kini kita hadapi, menyelinap dalam gegap gempita kenaikan ekonomi dan siap merusak apa yang kita punya sebelumnya.

Menilik pada negara kita, kasus overtourism ini sudah menghantui berbagai tempat wisata selama 10 tahun terakhir. Apalagi setelah menjamurnya sosial media yang menampilkan foto-foto terbaik dari sebuah tempat, alhasil semua orang berlomba-lomba pergi ke suatu tempat wisata demi eksistensi diri. Contoh paling umum dari kasus overtourism adalah Bali. Everyone knows Bali, bahkan nama Bali lebih dikenal di mancanegara daripada nama Indonesia sendiri. 

Seperti yang kita tahu, Pulau Dewata ini memang terkenal dengan pariwisatanya yang beragam; pura-pura yang berdiri megah, pantai-pantai yang menyajikan pemandangan laut dan matahari yang indah, gunung yang memanggil untuk didaki. Dibalik keindahannya, pariwisata di Bali ternyata juga menyimpan borok-borok luka yang menganga. 

Dalam kajian Sejarah Kebudayaan Bali yang ditulis oleh Supratikno Rahardjo dan Agus Aris Munandar, dampak pariwisata terhadap aspek-aspek sosial budaya yang merangkum dari berbagai sumber penelitian menyebutkan ada 8 aspek yang berubah dari kehidupan Bali semenjak pariwisata, yang dikategorikan berubah menjadi aspek negatif. Data yang disuguhkan oleh IDEP Foundation lebih mencengangkan, permukaan air tanah semakin menurun selama 10 tahun terakhir sebesar 50 meter, terutama Bali bagian selatan. Mirisnya lagi, hal ini juga berimbas pada penurunan air danau dan air sungai akibat overtourism

PPKM Tur Virtual
Candi Borobudur via TEMPO/Abdi Purmono

Borobudur, sebagai ikon wisata Indonesia yang menyabet gelar 7 keajaiban dunia tidak lepas dari permasalahan overtourism. Dengan karakteristik Borobudur sebagai monumen dengan bentuk bangunan candi di tengah-tengah pedesaan yang subur, jumlah kunjungan per tahunnya yang rata-rata mencapai 3-4,5 juta orang tentu saja membuat bangunan ini menjadi kelebihan beban. Pandemi sejenak melegakan jumlah wisatawan yang berkunjung, tetapi efek dari pandemi mungkin hanya sementara. Dalam jurnal penelitian oleh Supratikno Rahardjo, masalah utama Borobudur adalah pendistribusian pengunjung ke wilayah sekitar candi guna mengurangi beban pengunjung pada monumen utama. 

Terbaru, Luhut Pandjaitan sebagai Menko investasi langsung meninjau Borobudur bersama menteri pariwisata, Sandiaga Uno, melihat bagaimana dampak pengunjung yang mempengaruhi menurunnya struktur candi. Prihatin dengan tinggalan budaya yang telah kelebihan kapasitas pengunjung , pemerintah merencanakan pembatasan pengunjung yang akan dilakukan guna mencegah kerusakan lebih lanjut. 

Ada contoh menarik yang bisa ditiru untuk mengurangi overtourism, Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran adalah salah satu tempat yang berhasil mengurangi secara signifikan jumlah kunjungan. Awalnya sama seperti tempat wisata lain, wisata yang dikelola masyarakat sejak 1999 ini perlahan mulai meningkat jumlah wisatawan dari tahun ke tahun. Puncaknya ketika 2014, jumlah kunjungan yang mencapai 325.303 wisatawan akhirnya berimbas kepada lingkungan dan masyarakat yang merasa terganggu. Jumlah sampah juga mencapai 1,7 ton dalam rentang waktu 2014-2015.

Akhirnya mereka bisa berhasil keluar dari jerat overtourism dengan menerapkan beberapa cara; menaikkan harga tiket masuk, manajemen pengunjung yang semakin modern, manajemen reservasi penginapan. Data lebih lengkapnya bisa dilihat dalam jurnal penelitian yang berjudul: Tourist Village Rejuvenation and Overtourism Management: The Desa Wisata Nglanggeran Lifecycle Experience, Yogyakarta, Indonesia.

Saking buruknya pengaruh overtourism, para penggagas wisata kemudian melayangkan ide-ide seperti pembatasan kunjungan, yang sampai saat ini adalah yang paling efektif mencegah kelebihan kapasitas pada suatu tempat wisata. Kemudian pembatasan ini digabungkan dengan ide lainnya seperti ekowisata atau manajemen wisata yang baik.

Kita sebagai manusia tentu tidak lepas dari kegiatan berwisata, baik untuk sekedar melepas penat ataupun berpetualang. Overtourism bukannya tidak dapat dihindari, tetapi hanya perlu manajemen yang bagus dan kesadaran para pelaku wisata. Tentunya yang perlu ditambah adalah kesadaran kita sebagai pengunjung untuk tidak terlalu mengekspos tempat wisata secara berlebihan, agar ekosistem di tempat sana tidak menjadi berantakan, seperti halnya Ranu Manduro yang populer beberapa waktu lalu di media sosial dan terjadi ledakan pengunjung dalam waktu singkat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar