Jumat, 18 Juni 2021, merupakan pengalaman berhargaku menikmati suasana malam di Malioboro saat pandemi COVID-19. Menuju ke sana berawal dari ketidaksengajaan. Terus terang, aku agak labil ketika dihadapkan banyak pilihan yang membuatku lama mengambil keputusan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kawasan Malioboro merupakan salah satu destinasi wisata Yogyakarta yang selalu ramai dikunjungi para wisatawan lokal dan mancanegara. Pedagang kaki lima, tukang becak, pak kusir, seniman, dan pelaku usaha kreatif berkumpul di titik yang sama. Jangan lupa, pedagang lokal, Plaza Matahari, dan Pasar Beringharjo siap memenuhi selera belanja konsumen.
Karena Malioboro merupakan salah satu pusat Kota Jogja, maka rute jalan menuju ke sana dibuat searah. Tujuannya tentu untuk mengurai kemacetan. Hampir setiap kota turut merasakan gerahnya kemacetan. Apalagi ketika berada di pusat kota. Setiap perayaan momen tertentu, misal lebaran dan malam pergantian tahun, kemacetan sudah menjadi masalah klasik dalam tata ruang perkotaan.Pandemi memang merubah kondisi pariwisata Jogja secara keseluruhan. Kini, para pramuwisata se-DIY tidak henti-hentinya menghimbau wisatawan agar manut protokol kesehatan. Langkah seperti ini perlu diapresiasi meskipun tidak semua wisatawan menurut imbauan tersebut. Maka tidak heran, kawasan objek wisata menjadi salah satu sarang penyebaran penyakit menular.
Awalnya, aku diajak oleh Bang Yudis, teman se-indekos, untuk makan angin. Kebetulan sekali, aku perlu piknik untuk mengurangi rasa suntuk di indekos. Banyak orang juga merasakan hal yang serupa sepertiku. Sebelumnya, niat kami ialah makan nasi uduk samping Martabak KumKum. Lokasinya berada di Sagan, tepatnya Jalan Prof. Herman Yohanes. Sayangnya warung ini berhenti beroperasi akibat kebijakan PPKM bulan Juli silam.
Setelah salat Magrib, kami berangkat ke sana menggunakan motor. Di sana, menu makanan tersedia cukup banyak. Sistem pengambilan makanan berupa prasmanan. Artinya, konsumen boleh memilih teman nasi sesuai selera. Namun, porsinya tetap diatur oleh si penjual. Menariknya, metode pembayaran pun juga kekinian, yaitu tunai dan pindai barcode QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard).
Seperti biasa, aku dan Bang Yudis menikmati makan malam. Ibarat isi baterai ponsel sebelum digunakan. Di sana, aku mengamati Bang Yudis sedang asyik menggunggah aktivitasnya ke media sosial. Nampaknya, ada orang lain juga melakukan hal yang serupa. Aku bertanya sendiri, untuk apa manusia sekarang unggah story di media sosial pula?
Setelah ritual makanan, kami bersiap-siap meluncur ke Malioboro. Namun, kami harus menunggu teman kampus Bang Yudis yang katanya sedang dalam perjalanan. Kata Bang Yudis, dia berasal dari Bangka yang barusan tiba di Jogja. Hal ini membuatku kesal karena tindakan blunder Bang Yudis. Alhasil rencana berangkat kami tertunda setengah jam dari yang rencana awal. Namun setelah aku mencoba menguasai diri agar emosiku tidak meledak, akhirnya aku memaklumi alasannya dan berlapang dada.
Akhirnya, kami berangkat ke Malioboro. Karena Jalan Prof. Herman Johannes dibuat searah, terpaksa kami memutar arah. Untungnya, ada gang kecil yang bisa memangkas waktu perjalanan menuju jalan protokol menuju simpang Gramedia. Setibanya di sana, kami memarkir motor di Taman Parkir Abu Bakar Ali. Tempat ini merupakan lahan parkir vertikal untuk kendaraan bermotor yang berdekatan dengan kawasan Malioboro.
Kami memarkir motor di lantai tiga. Desain taman parkir ini cocok untuk kawasan wisata karena banyak wisatawan berlalu lalang di Malioboro. Selain itu, ada stasiun kereta Tugu yang selalu sibuk melayani arus penumpang kereta.
Sekarang, waktunya menjelajahi Malioboro.
Kami bertiga menikmati suasana malam Malioboro dengan syahdu. Sesekali, aku kembali menengok Jogja Library (Joglib). Dulu ketika ada tugas kuliah dan lagi gabut, aku sering bertandang ke sana untuk mencari koran. Biasa, sesekali aku bernostalgia soal Joglib. Di depannya, terdapat Hotel Grand Inna menjadi landmark area Malioboro. Jangan lupa, Malioboro juga menyediakan kawasan pedestrian dan spot foto yang menjanjikan.
Syahdan, kami berjalan ke arah Alun-Alun Utara Kraton. Sepanjang perjalanan, aku melihat gang kecil dengan nama kampung yang khas. Salah satunya, Kampung Ketandan yang merupakan rumah warga berketurunan Tionghoa. Selain itu, terdapat deretan arsitektur Tionghoa yang menjadi ciri khas Kampung Ketandan. Aku sering melihat gapura kawasan itu, tetapi belum masuk gang lebih dalam. Istana Agung dan Benteng Vreedebrug juga terletak lokasi yang sama.
Kaki kami penat setelah berjalan terlalu lama. Seperti biasa, aku dan Bang Yudis menemani teman Bang Yudis membeli oleh-oleh. Kemudian, aku berniat membeli oat milk sebagai cemilan. Sayangnya, toko ini tutup begitu cepat karena pandemi. Alih-alih demikian, kami mencari warung makan lesehan untuk mengisi tenaga. Sayangnya, aku tidak membelinya karena harga makanan disana mahal. Sebagai gantinya, aku menikmati wedang ronde yang menyegarkan. Setelah selesai, kami kembali ke indekos dengan perasaan penat dan bercampur puas.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
Mahasiswa UGM