Interval

Becak-Becak, Nasibmu Kini

Saya mau tamasya berkeliling-keliling kota
Hendak melihat-lihat keramaian yang ada
Saya panggilkan becak, kereta tak berkuda
Becak-becak, coba bawa saya

Saya duduk sendiri sambil mengangkat kaki
Melihat dengan asyik ke kanan dan ke kiri
Lihat becakku lari bagaikan tak berhenti
Becak-becak, jalan hati-hati

Becak terparkir di Jalan Rajawali, Bandung
Becak terparkir di Jalan Rajawali, Bandung

Itulah syair lengkap lagu “Naik Becak” karya Ibu Soed yang hingga kini mungkin masih kalian ingat dengan baik. Tentu saja, adalah hal yang bakal sulit terlaksana jika sekarang ini kita menyengaja ingin bertamasya menikmati panorama pusat Kota Bandung dengan menunggang becak. Pasalnya, Pemerintah Kota Bandung telah sejak lama melarang becak melintas di kawasan tujuh titik Kota Bandung yaitu Jalan Asia-Afrika, Jalan Dewi Sartika, Jalan Kepatihan, Jalan Dalem Kaum, Jalan Otto Iskandardinata, Alun-Alun dan Jalan Merdeka. 

Dulu sekali, becak sangat leluasa menjelajahi pusat Kota Bandung. Di sepanjang Jalan Dalem Kaum, Jalan Kepatihan, Jalan Asia Afrika hingga Alun-Alun Bandung, becak-becak mangkal dan mencari penumpang dengan bebasnya. 

Namun, dengan alasan utama mengganggu ketertiban dan membahayakan pengguna jalan lain, akhirnya Pemerintah Kota Bandung melakukan pelarangan becak melintas dan mangkal di tujuh titik di Pusat Kota Bandung. Dengan alasan yang sama, bisa jadi ke depan becak bakal dilarang sama sekali melintas di semua ruas jalan di Kota Bandung, tanpa terkecuali.

Beruntung, di sejumlah kota lain, ruang gerak becak masih lumayan longgar. Ambil contoh di Kota Gudeg, Yogyakarta. Sepanjang hari dan malam, becak-becak masih terlihat berseliweran atau mangkal di berbagai jalan protokol di pusat Kota Yogyakarta. Di kota ini, becak dapat masuk ke berbagai area wisata. Becak juga bisa bebas mangkal dan keluar-masuk halaman hotel-hotel berbintang.

Hal yang sama juga dapat kita saksikan di Solo. Di Stasiun Balapan dan Terminal Bus Tirtonadi, Solo, misalnya, kita dapat melihat becak-becak yang masih setia mangkal menanti para penumpang. Bahkan, di sebagian jalan di Solo juga disediakan jalur khusus untuk becak, yang memungkinkan becak melaju dengan tenang.

Becak di depan Pasar Klewer, Solo
Becak di depan Pasar Klewer, Solo

Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kota Solo tampaknya memiliki alasan mendasar mengapa tidak mempersempit ruang gerak atau bahkan menghapus becak dari pusat kota mereka. Alasan ekonomi dan kemanusiaan sangat boleh jadi menjadi dasar bagi pemerintah Kota Yogyakarta dan Solo untuk tidak membatasi ruang gerak becak atau menghapuskan becak sama sekali.

Selain kedua alasan tersebut, becak tampaknya sudah menjadi salah satu tulang punggung serta daya tarik pariwisata perkotaan di Yogyakarta dan juga Solo. Tidak sedikit pengayuh becak yang secara tidak langsung merangkap menjadi pemandu wisata bagi para wisatawan yang melancong ke Yogyakarta dan Solo. 

Di Yogyakarta, tak sedikit wisatawan asing yang cenderung lebih tertarik menggunakan becak untuk berkeliling Yogyakarta ketimbang menggunakan taksi atau angkutan lainnya. Becak bahkan disebut-sebut sudah menjadi salah satu ikon kepariwisataan Yogyakarta.

Becak melintas di kawasan Gladak, Solo
Becak melintas di kawasan Gladak, Solo

Ihwal peran tukang becak sebagai pemandu wisata, pernah saya alami langsung tatkala suatu siang yang terik, beberapa tahun lalu, menyempatkan diri naik becak mengunjungi sejumlah tempat wisata di Yogyakarta. Sang pengemudi becak, Purwono, asal Wedi, Klaten, menjelaskan sepanjang perjalanan berbagai hal tentang Yogyakarta, termasuk tempat-tempat wisata andalan kota ini yang wajib dikunjungi para wisatawan seperti keraton, sentra penjualan batik, pusat kerajinan perak, Dagadu dan tempat pusat jajanan tradisional.

Bahkan, ketika saya memintanya untuk menunggu sewaktu saya berkunjung ke Keraton Yogya, dengan setia pengayuh becak berkulit gelap ini menunggu saya hingga kunjungan di Keraton Yogya selesai. Tatkala saya kembali menemuinya, dengan ramah ia langsung menanyakan kepada saya tempat apa lagi yang mau dikunjungi dan ia siap mengantar saya. “Monggo, bade didherekaken dateng pundi malih?” Katanya dalam bahasa Jawa (Silahkan, mau diantarkan ke mana lagi?).

Hal yang sama juga saya alami di Kota Solo. Pengemudi becak yang saya tumpangi dengan senang hati mengantarkan saya berkeliling kota sembari menuturkan berbagai hal tentang Kota Solo.

Sementara itu, untuk semakin menarik wisatawan, sejumlah becak di Yogyakarta sengaja diberi hiasan dengan motif-motif khas yang menjadi simbol seni dan budaya Kota Yogyakarta.

Tidak itu saja, agar lebih terampil melayani para wisatawan mancanegara, sejumlah pengemudi becak Yogyakarta yang biasa mangkal di sejumlah hotel pernah diikutkan program les bahasa Inggris gratis yang diselenggarakan oleh hotel di mana mereka biasa mangkal. 

Sejatinya, becak adalah kendaraan yang ramah lingkungan karena tidak menyebabkan polusi udara dan polusi suara. Untuk perjalanan pendek di pusat-pusat kota, becak cukup nyaman digunakan. Para pengayuh becak sendiri merupakan salah satu representasi dari keberadaan nyata wong cilik di negeri ini. Sebagai penumpang, sembari duduk tumpang kaki, kita dapat ngobrol ngalor-ngidul dengan sang pengayuh becak tentang berbagai suka-duka kehidupan sehari-hari yang mereka lakoni. Dan dengan ngobrol sepanjang perjalanan itu, biasanya tak terasa tiba-tiba saja kita sudah sampai ke tempat yang dituju.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menelusuri Kota Padang Dengan Mengayuh Sepeda