Dari Mereka yang Turun ke Jalan

Rabu malam, 7 Oktober 2020, saya mendapat kabar dari seorang adik tingkat di kampus. Beberapa mahasiswa akan turut aksi penolakan omnibus law di Gedung Grahadi, Surabaya. Kabar yang cukup mengejutkan. Ia menanyakan apakah saya bisa bergabung aksi atau tidak. Tentu saja saya jawab tidak bisa. Saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan, deadline sedang menumpuk.

Maka saya hanya bisa memberikan beberapa saran, terlebih perihal keselamatan seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di lapangan. Tak lupa saya meminta untuk selalu diberikan kabar terbaru soal keadaan teman-teman, soal apakah mereka baik-baik saja di sana atau tidak.

Esoknya, 8 Oktober, sekitar pukul 10, dari kantor di Jl. Ngagel saya melihat massa aksi dari kalangan mahasiswa berangkat menuju lokasi, ramai-ramai menggunakan motor. Mereka memakai jas almamater. Ada dua orang yang mengibarkan bendera merah putih. Saya terenyuh. Selain merasa sangat egois karena tidak bisa turun aksi, saya juga menyadari bahwa masih ada orang-orang yang begitu sayang dengan negeri ini. Jika pemerintahnya salah, ya, jelas harus dikritik, dong.

Sejujurnya, ada rasa waswas dalam hati saya ketika memantau informasi demonstrasi omnibus law melalui media sosial. Terlebih, saat melihat respons-respons yang represif. Di kota-kota selain Surabaya, massa mulai bergerak ke beberapa titik. Saya berharap teman-teman yang turun aksi, di mana pun itu, selalu dalam lindungan-Nya.

Menjelang sore, teman kantor membagikan video kekacauan demonstrasi di Malang. Saya otomatis teringat pada adik tingkat yang menghubungi saya tadi malam. Saya mengirim pesan, menanyakan kondisinya, tapi tak ada jawaban. Di Twitter ternyata sudah ramai cuitan mengenai demonstrasi di berbagai kota. Tersebar pula video aparat yang mengejar, memukul, dan menendang demonstran, ditambah dengan menembakkan gas air mata.

Lagi, saya punya seorang kawan yang tinggal di Jakarta. Ia rutin datang ke Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Saya mengira dia pasti turun aksi hari ini. Saya coba hubungi dia. Tidak ada jawaban.

Malam hari, dua orang yang saya hubungi akhirnya merespons. Huh, saya bernapas lega. Syukurlah, keduanya dalam keadaan baik-baik saja. Saya bombardir mereka dengan berbagai pertanyaan. Utamanya: apakah mereka terluka?

Dari mereka saya tahu bahwa, pertama, Gedung Grahadi sisi depan rupanya hancur. Bisa disimak di berbagai media bagaimana massa aksi menjebol pagar dan merusak beberapa fasilitas gedung. Kedua, halte dan beberapa titik di Jakarta Pusat terbakar. Asap mengepul hitam di beberapa lokasi. Namanya juga ibu kota, pasti gelombang massa di sana akan lebih besar dibandingkan yang berada di kota-kota lain, setidaknya begitu menurut pengamatan saya.


Lebih rinci, kira-kira begini cerita mereka:

Di Surabaya, rombongan buruh dan mahasiswa melakukan mars panjang (long march) dari Bundaran Waru sampai Gedung Grahadi. Sekitar pukul 13.00, tiba segerombolan massa STM dan mahasiswa. Lima belas menit kemudian, massa mencoba mendobrak pagar Gedung Grahadi dan pagar berduri, tetapi tidak berhasil.

Pukul 13.30 pagar berduri berhasil dirobohkan, barikade polisi pun disiapkan. Di tengah, massa mulai melakukan pembakaran. Orasi tetap berlangsung di bagian kanan dan kiri jalan. Tak lama setelahnya, demonstran mulai menyeret bak sampah ke dalam kobaran api. Api membesar. Orasi dilanjutkan dengan bersama-sama menyanyikan lagu, salah satunya Indonesia Raya.

Kemudian, salah seorang demonstran memanjat tiang untuk memutus kabel CCTV. Kondisi mulai memanas. Dua puluh menit setelahnya, polisi maju ke arah demonstran. Gas air mata dilemparkan dari jarak dekat, meriam air (water cannon) disemprotkan ke arah demonstran. Kericuhan pun terjadi.

Tidak jelas siapa yang memulai kericuhan. Entah pihak mana yang membuat emosi antara demonstran dengan aparat meningkat. “Karena di sana ada mahasiswa, ada juga anak STM, ada juga orang yang pakai baju hitam-hitam,” ujar kawan saya.

Kericuhan tak dapat dihindari. Terjadi baku hantam antara demonstran dengan aparat kepolisian. Media telah mengabarkan bahwa banyak demonstran dan jurnalis yang ditangkap. Selain itu, mereka juga mendapatkan tindak kekerasan baik secara verbal maupun nonverbal dari aparat. Hingga malam hari, kericuhan belum juga surut. Polisi terus berusaha memukul mundur massa sampai bubar. Pukul 9 malam, kawan saya baru berhasil keluar dari kerumunan aksi.

Pemberitaan yang ada di media, bercampur dengan ramainya cuitan dan video yang tersebar di Twitter malam itu, sungguh menciptakan kesimpulan yang tidak utuh. Saya merasa ada banyak sekali informasi, ratusan bahkan ribuan. Entah mana yang harus dipercayai.

Yang jelas, saya meyakini bahwa tindakan represif aparat benar adanya. “Paramedis jalanan sampai kewalahan,” kata kawan saya. Tak lama kemudian tersebar video Tri Rismaharini, Bu Risma, mendatangi para demonstran. Yah, belum lengkap pemahaman kami, harus diganti dengan narasi kepedulian sang walikota.

Tetapi, yang saya tangkap, justru bukan kepedulian yang tersirat dari hadirnya Bu Risma malam itu, tetapi rasa kecewa. Kecewa akan rusaknya fasilitas kota, bukan kepada para demonstran yang luka-luka.

Ada beberapa kalimat yang hingga sekarang menempel di kepala saya: “Polisi juga manusia!” “Kalian ke sini ngapain?” “Awakdewe iki rakyat, awakdewe iki anakmu, Buk!

Jadi bagaimana? Silakan Anda simpulkan sendiri.


Kawan saya di Jakarta mengabarkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Saat terjadi pembakaran halte di daerah Bundaran HI, asap hitam mengepul, suasana Jakarta begitu kelam hari itu. Ekonomi seakan lumpuh. Yang ada hanya para demonstran dan kekecewaannya pada negara.

“Yang marah, ya, kami, rakyat. Jangan percaya narasi media, deh. Dikit-dikit bilangnya perusuh apa segala macem. Kalo menurut gue, ya, ini bentuk protes dan kecewanya rakyat,” ujarnya.

Kebakaran Halte Bus TransJakarta Sarinah, Jakarta, 8 Oktober 2020/Istimewa

Ia menambahkan, ”Gue juga takut waktu kondisi itu. Ngga keitung berapa kali gue kena gas air mata—anjir perih banget. Gue lari, semua lari nyelametin diri masing-masing. Pilihannya, ya, lo lari atau ditangkep. Gitu aja.”

Perihal pro dan kontra pembakaran halte serta aksi damai yang ramai dibicarakan netizen—“Kenapa, sih, harus rusuh? Emang ngga bisa aksi damai? Kalian tuh ngerusak fasilitas negara. Kalo udah gini yang rugi siapa?”—begini sekira tanggapannya, ”Mau aksi damai? Coba, deh, lihat, Kamisan udah 13 tahun aksi damai depan Istana. Ngga ada respon. Sama halnya kayak warga Bali yang menolak reklamasi Teluk Benoa.”

Menurut saya, halte yang dibakar tidak sebanding dengan korban luka-luka, yang kepalanya bocor berdarah-darah, yang dipentungi kepalanya, ditelanjangi. Dan ini terjadi hampir di semua wilayah yang rakyatnya berdemonstrasi. Publik begitu mudahnya terkecoh narasi halte-haltean. Padahal omnibus law mengancam kehidupan hari depan.

Baginya, dan saya menyetujuinya pula, ini adalah wujud rasa kecewa rakyat kepada para petinggi negara. Orang-orang yang berlabel “wakil rakyat” toh nyatanya tak memihak atau sekadar mendengar protes-protes dari rakyat. Tanpa memandang kelas, apakah buruh, petani, mahasiswa, dll., siapa pun itu, sah-sah saja jika ingin turun aksi untuk memperjuangkan hak-haknya yang dirampas.

Tak perlu mendebatkan sebetulnya siapa perusuh siapa bukan perusuh. Atau, lebih konyol lagi, siapa yang mendanai aksi ini, siapa dalang di baliknya. Semestinya tak perlu ada lagi narasi yang membelokkan inti dari demonstrasi ini. Luapan kekecewaan rakyat ada di jalanan, melalui demonstrasi.

Jika tak ada tindak lanjut atau keputusan tegas dari jajaran tinggi negara, atau mereka masih saja berkelit ini-itu perihal omnibus law, sepertinya demonstrasi akan terus berjalan karena rakyat memang tak bisa dihentikan. Bukankah memang semestinya begitu? ‘Kan ini negara demokrasi, siapa pun berhak bersuara.

Semoga kawan-kawan yang berjuang turun aksi selalu dalam keadaan baik. Terima kasih kawan-kawan telah menyuarakan apa yang semestinya diutarakan. Panjang umur, perlawanan.

Tinggalkan Komentar