Bagiku, Jogja adalah rumah kedua. Hampir tiap bulan aku berkunjung ke sana, entah hanya bersilaturahmi ke rumah sahabat-sahabatku, mengantarkan tamu, atau untuk membeli kopi guna keperluan kedai. Tak jarang aku menginap di rumah sahabatku, sampai keluarganya pun sudah menganggapku sebagai saudara.

Pagi itu, tepatnya hari Kamis, 11 Oktober 2018, aku berencana menemui salah seorang sahabatku di Jogja. Zulma namanya. Aku mengenalnya sejak 2015 dalam perjalanan menuju puncak Sindoro. Dan hari itu kami akan nyore bareng di Jogja. Sebenarnya memang sudah lama itu direncanakan. Namun beberapa kali gagal terkendala oleh kesibukan masing-masing.


Pukul 10.00, aku berangkat dari Semarang menggunakan sepeda motor. Sepanjang perjalanan cuaca sangat terik. Sangat mendukung sekali untuk menikmati senja nanti, pikirku. Sejam di jalan raya, aku berhenti di sebuah pom bensin di Magelang, tepatnya sebelum pertigaan ke arah Kopeng. Biasanya memang di sanalah tempatku istirahat untuk sekadar membeli minuman di minimarket.

Perjalanan kulanjutkan setelah sebatang rokok habis kuhisap. Tak terasa, pukul 12.30 aku telah sampai di Erha Coffee & Literacy, sebuah kafe di Jalan Wahid Hasyim. Aku memilih transit di sana karena tempatnya lebih dekat dengan rumah Zulma. Sahabatku itu akan pulang kerja nanti jam 3. Selain itu, kafe itu kupilih karena aku sudah lama mengenal pengelolanya, seperti Mas Kempung, Mas David, dll. Nuansa kafe itu hijau, bukunya juga banyak.

Di sana sudah menunggu Nanda, sahabatku dari Semarang yang kuliah di Stiper Jogja. Cita-citanya menjadi petani mendorongnya untuk melanjutkan kuliah di bidang pertanian. Ternyata dia sudah lama menunggu, tampak dari kopi di cangkirnya yang sudah tinggal seperempat. Kami mengobrol banyak hal dan saling melempar candaan. Suasana memang lebih mudah cair ketika mengobrol dengan Nanda yang juga seorang anggota komunitas Stand Up Comedy Ungaran itu.

Kuhabiskan dua setengah jam di sana dengan beberapa gelas kopi dan camilan. Pukul 15.45 aku pergi ke rumah Zulma di Klitren, Gondokusuman. Nanda memilih tidak ikut karena masih ada tugas akhir yang harus diselesaikan. Sampai di depan rumah Zulma, kudapati dia sudah menunggu. Kami pun langsung berangkat.


Laju motor kuarahkan menuju perbukitan di Dlingo, Bantul. Di sana ada beberapa tempat wisata di mana kita bisa melihat keasrian pohon pinus dan matahari terbit serta terbenam, yakni Puncak Becici, Puncak Lintang Sewu, Hutan Pinus Mangunan, Pinus Asri, Jurang Tembelan, dll. Pilihan kami waktu itu adalah Bukit Lintang Sewu. Kala itu tak terlalu ramai, hanya ada beberapa motor yang terparkir di sana. Tiket Rp3.000 plus Rp2.000 untuk parkir motor (Rp5.000 untuk mobil) sangat terjangkau sekali. Fasilitas yang disediakan pun tak cuma toilet, musala, warung makan, dan tempat parkir yang luas, melainkan juga bumi perkemahan (camping ground) dan layanan glamping (glamour camping) bagi mereka yang ingin bermalam sambil melihat lampu kota Jogja.

Kami berjalan mengitari tempat itu, kemudian menjumpai tempat beralaskan kayu yang disusun rapi membentuk persegi delapan dengan ukuran besar di sana. Di atasnya ada bangku kayu yang menghadap ke barat. Sudah jam setengah 5.

“Nah, duduk di sini aja, Ul,” ajakku sambil memposisikan bangku. “Bagus view-nya dari sini, meskipun mataharinya agak tertutup awan.”

“Iya, nih. Beberapa hari ini Jogja mendung kalau sore. Padahal siangnya cerah, lho,” balasnya.

Senja di Lintang Sewu/Alifan Ryan Faisal

Setelah membenarkan tempat duduk, kami pun bertukar cerita, entah tentang pendakian, tempat wisata, buku, ataupun kesibukan dan pekerjaan. Di sekitar, beberapa remaja dan rombongan keluarga juga ikut menikmati sore. Mereka sebagian duduk di bangku yang telah disediakan, sebagian lagi berfoto-foto di hadapan mentari yang kian tenggelam. Aku menikmati matahari dari sini, di bangku ini, bersama obrolan hangat bersamanya. Kami memang sama-sama suka naik gunung. Tapi, terkendala jadwal, rencana naik gunung selalu saja gagal. Maka kami melepas rindu akan pendakian dengan menyore seperti ini di ketinggian.

Jam setengah 6, matahari sudah hilang rautnya, digantikan sinar kemerahan yang mengambang di ufuk barat, sebelum berganti dengan petang yang menjelang.


Biar, biarkan kurawat jeda ini. Kusemai dengan bersahabat semesta. Hingga pada akhirnya nanti, entah menuai melepas rindu atau gugur dan mati dalam sendu. Senja, tenggelamlah dalam indahmu. Sampaikan harapku pada temaram yang sebentar lagi menggantikanmu.


Selepas magrib, kami pun melaju ke Jalan Kaliurang menuju Djeladjah, kedai kopi langgananku ketika bertandang ke Jogja. Tempatnya sederhana namun mempunyai daya magis yang luar biasa. Barangkali karena konsepnya yang agak beda dari kedai-kedai lain. Slogannya “Kopi, Buku, Cinta,” sangat dekat dengan para pejalan.

Sudah pukul 19.00 ketika aku memarkirkan motor di depan Djeladjah. Setiap sudut tempat ini mengandung literasi dan perjalanan. Di dindingnya terpampang beberapa foto beserta puisi. Di samping meja bar ada rak buku besar. Kini Djeladjah sudah punya penerbit buku sendiri, yaitu Djeladjah Pustaka. Pemiliknya, Jazuli Imam, akrab disapa Mas Juju, adalah seorang penulis yang gemar berkesenian, melakukan perjalanan, dan berkegiatan sosial.

Suasana Djeladjah/Alifan Ryan Faisal

Kami langsung memesan kopi. Aku kopi Toraja, Zulma kopi Temanggung. Di balik meja bar tak tampak Mas Juju, hanya ada Mas Blangkon yang sedang meracik kopi. Mungkin Mas Juju sedang sibuk dengan teaternya, pikirku.

“Coba baca ini, deh, Ul. Dikit dulu aja nggak apa-apa,” kataku sambil menyerahkan buku yang kuambil dari rak depan kepada Zulma.

“Racun apa lagi ini, Van?” tanyanya penasaran sembari menerima buku itu. “Pejalan Anarki?

“Udah, baca aja dulu,” bujukku. “Cocok, nih, suasananya. Tenang.”

Zulma lalu tampak tenggelam dalam alur cerita buku itu. Selagi ia membaca, aku melihat sekeliling, melihat kata-kata yang tertempel di Puisi Pinus.

Malam semakin larut, buku tersebut tak habis dibaca Zulma, namun dua cangkir kopi yang kami pesan sudah dihabiskan tuan dan puannya. Sudah jam 10 malam. Segera kuantar Zulma pulang ke rumahnya. Rencananya, esok pagi kami akan pergi ke Nanggulan, Kulon Progo. Habis mengantar Zulma, aku ke kos Nanda di Maguwoharjo dan bermalam di sana.


Jam 5 pagi aku bergegas menjemput Zulma. Perjalanan sekitar dua puluh menit untuk sampai ke Nanggulan. Kami mampir sebentar di pasar membeli jajanan untuk sarapan. Daya tarik Nanggulan adalah hamparan persawahannya yang luas serta jalanan kecil yang membelahnya. Tak jarang orang-orang dari luar kota datang ke sana untuk mencari hawa sejuk.

Setiba di sana, kami memarkirkan motor di dekat jembatan kecil lalu berjalan menyusuri jalanan sebelum akhirnya duduk di teras kecil dekat jembatan. Kami pun membuka jajanan pasar sambil menikmati hijaunya persawahan.

Hamparan sawah di Nanggulan/Alifan Ryan Faisal

“Pagi di sini enak, ya? Seger bawaannya,” kataku membuka percakapan.

“Iya, Van,” jawab Zulma. “Kadang kalau aku masuk siang gini, biasanya aku melipir ke sini dulu biar fresh.

Setelah kurang lebih satu jam di sana, kami pun bergegas pulang, sebab Zulma hendak berangkat kerja jam 9.


Kami singgah di Jalan Colombo sepulang dari Nanggulan, mampir sejenak di warung kaki lima yang menjual bubur ayam. Isi perut dulu.

“Ini kamu langsung pulang ke Semarang, Van?” tanya Zulma sambil mengambil kursi.

“Iya, mumpung masih pagi [dan] jalanan nggak terlalu panas. Kalau kesiangan malah telanjur mager ntar,” jawabku sambil terkekeh.

“Rencana nanjak bareng harus jadi, nih, lho. Masa jadi wacana mulu,” lanjutnya.

“Oh, ya. Harus jadi, dong,” jawabku. “Besok dijadwalin ulang.”

Selesai dengan bubur ayam, kami segera menuju rumah Zulma yang berjarak berapa ratus meter saja dari sana.

“Dah sampai,” kataku setiba di depan rumah Zulma. “Aku langsung pulang, ya, Ul. Kapan-kapan dilanjut lagi.”

“Oh, iya, Van. Makasih, lho. Hati-hati pulangnya, ya,” balasnya.

Seketika itu kulanjutkan perjalananku menuju Semarang lewat Gejayan lalu tembus di Ring Road utara. Kutelusuri Jalan Magelang setelah melewati jembatan layang Jombor sampai akhirnya disapa udara Gunung Ungaran.


Jogja punya daya magis yang luar biasa, membuat siapa pun merasa betah berlama-lama tinggal di dalamnya, lewat budaya, orang-orangnya, keindahan alamnya, tata kotanya, yang semua terangkum dengan sangat rapi.

Tinggalkan Komentar