Seratus sembilan puluh kilometer utara Banjarmasin, di siang hari kota Amuntai, seorang bocah lelaki mengayuh sepeda tua. Dalam keranjang sepedanya terdapat jajanan kacang, kerupuk, dan penganan kecil lain yang barangkali dibuat oleh ibunya. Bocah itu meninggalkan desanya, berkeliling di pusat kota, berjualan di tengah hari yang panas tanpa pernah merasa malu.

Akhmad Ismail menceritakannya kepada saya. Di suatu hari, seorang teman melihat si bocah mengayuh sepeda tua di tengah kota dengan plastik-plastik jajanan di keranjang. Seorang bocah lelaki yang asing, bukan berasal dari kota Amuntai. Temannya merasa aneh; pemandangan yang dilihatnya itu tak pernah terjadi sebelumnya. Ia lalu bertanya mengapa si bocah harus berjualan.

“Untuk beli handphone dan paket data, Om,” jawab si anak.

Si bocah kemudian bercerita, semenjak pandemi virus corona mewabah, kedua orangtuanya tidak lagi bekerja. Seturut anjuran pemerintah, orang-orang dirumahkan. Masyarakat Amuntai yang sebagian besar adalah pedagang menjadi kelompok paling rentan terdampak. Mereka tak bisa bekerja seperti semula. Segala aktivitas dilakukan dari rumah, secara daring. Kota lenggang.

Bagi masyarakat desa pelosok dengan akses yang sulit dan tidak memiliki jaringan komunikasi, hal ini tentu bukan masalah yang mudah. Termasuk si bocah ketika harus berhadapan dengan situasi baru: bersekolah secara daring. Hampir sebulan ia berjualan untuk memenuhi kebutuhannya itu. Si bocah mengaku bahwa dirinya berinisiatif berjualan agar bisa terus sekolah, tak mau menambah beban kedua orangtuanya yang tak lagi berpenghasilan.

Kejadian pada siang hari tersebut sempat direkam oleh teman Akhmad Ismail lalu disebarkan ke beberapa grup WhatsApp. Oleh Akhmad, video itu lalu diteruskan ke teman lain yang bekerja di salah satu perusahaan seluler, berharap bantuan. Pada akhirnya usaha baik akan bertemu dengan kebaikan lainnya. Si bocah mendapatkan apa yang dibutuhkan.

Cerita Akhmad menimbulkan satu pertanyaan lain. “Bagaimana dengan masyarakat yang tinggal di daerah terpencil?” tanya saya kemudian.

Akhmad menjelaskan tentang masalah yang ia temui di beberapa desa dengan status Terdepan, Terluar, dan Terpencil (3T) di Kalimantan Selatan.

“Di Desa Puyun, Kabupaten Balangan, tetangga Kabupaten Hulu Sungai Utara, belum terdapat jaringan GSM,” jelas Akhmad, melanjutkan, “anak-anak di sana harus melakukan perjalanan sejauh 15 km, keluar dari desa untuk bisa bersekolah daring. Mereka berbondong-bondong menumpang kendaraan aparat desa menuju kota.”

“Bahkan di Desa Uren, masih di Kabupaten Balangan,” Akhmad menyambung cerita, “anak-anak harus berjalan kaki selama dua sampai tiga jam menuju satu bukit, hanya untuk mendapat sinyal.”

Akhmad kembali bercerita tentang si bocah, “Memang, dia sudah mendapat bantuan, tapi jangan stop di situ. Komunikasi tetap dibutuhkan.”

Yang terjadi kemudian adalah banyak perusahaan operator GSM memberikan bantuan paket data gratis kepada masyarakat, kemudian bersinergi bersama pemerintah daerah bergerak mendirikan repeater seluler di daerah-daerah pelosok yang belum terjangkau jaringan, pun memperbaiki sarana yang sebenarnya sudah ada tapi mengalami kerusakan.

Saya teringat akan pengalaman saya bersama beberapa teman yang tergabung dalam unit kegiatan fotografi kampus dulu ketika kami melakukan ekspedisi di Gunung Patuha, Jawa Barat, 2004 silam. Desa Sukasari yang kami tinggali adalah desa yang terisolir. Suasana dengan kabut yang turun lebih awal menjadikan sore gelap seperti malam. Jalanan berupa bebatuan dan tanah yang barangkali hanya bisa dilalui oleh roda kendaraan besar. Perjalanan kami ke sana pun menumpang truk bak terbuka pengangkut teh. Desa itu berada di tengah lembah, diapit bukit-bukit, dan hanya kebun teh mengelilingi. Tidak ada sinyal. Setiap harinya, kami harus berjalan kaki selama satu setengah jam menuju atas bukit di seberang lembah hanya untuk mendapatkan sinyal agar bisa memberi kabar kepada teman lain di kampus. Sumber listrik desa berasal dari mesin genset yang menyala dari jam enam sore sampai sembilan malam, setiap harinya.

Enam belas tahun berlalu, keadaan belum berubah. Masih ada daerah terpencil di Indonesia yang belum memiliki akses mudah dan jaringan komunikasi yang memadai bahkan sambungan listrik.

Kemudian pandemi corona datang. Kondisi yang memaksa manusia untuk mengubah perilaku. Lebih awas tentang kebersihan dan kesehatan, lebih merawat bumi, dan tentu lebih membuka mata terhadap teknologi. Semua dilakukan serba daring; petani dan nelayan menjual hasil bumi, melakukan transaksi jual-beli, bekerja, dan sekolah. Perubahan perilaku itu tentu memiliki tantangan baru. Di dunia pendidikan, misalnya, tantangannya adalah bagaimana menciptakan sistem belajar-mengajar daring yang lebih efisien, terutama untuk masyarakat daerah terpencil.

Saya juga membaca keluh kesah Akhmad tentang masyarakat Amuntai yang belum bisa mengolah material alam menjadi produk kerajinan tangan yang lebih bernilai, kemudian menggunakan teknologi untuk memasarkannya. Sebagai kota transit, tempat yang dipilih untuk berbelanja masyarakat luar Hulu Sungai Utara, Amuntai memiliki potensi untuk menciptakan sesuatu yang baru yang bisa menjadi daya tarik tersendiri.

Di akhir perbincangan, Akhmad menceritakan kepada saya tentang cita-cita sederhana.

“Saya pernah kasih saran ke TelusuRI untuk membuat program Rumah Harapan,” ucap Akhmad.

Ide itu terinspirasi dari kejadian bom atom Hirosima dan Nagasaki. Tragedi yang terjadi pada Perang Dunia II itu berhasil membuat Jepang hancur lebur. Kondisi yang, menurut Akhmad, tak jauh berbeda dari kondisi di masa pandemi saat ini.

“Mengumpulkan pemuda. Memberikan motivasi bahwa masih ada harapan. Jangan menyerah pada keadaan. Lebih maju dari sebelumnya. Di Rumah Harapan itu disediain laptop atau handphone dengan internet gratis untuk masyarakat daerah tertinggal,” tukas Akhmad.

Saya berdoa dalam hati, harapan baik akan bertemu dengan kebaikan lainnya. Harapan yang, semoga, menemukan rumahnya.

Tinggalkan Komentar