Perjalanan ini dimulai pada pertengahan November 2018, diawali dari sebuah kota kecil di Provinsi Jawa Barat, Depok. Ke manakah perjalanan ini akan membawa saya?
Jujur, saat pertama melangkahkan kaki, saya tak tahu mau ke mana, yang pasti menuju Dataran Tinggi Dieng. Di masa-masa ini, saya sedang gemar-gemarnya mengutak-atik berbagai setup bivak flysheet, yaitu sebuah selter yang dibuat hanya dari sebuah flysheet alias layer tambahan yang bersifat anti-air pada tenda. Perjalanan ini sekaligus dalam rangka mencoba setup bivak flysheet di medan yang sebenarnya, yaitu gunung.
Sebuah tiket bus SJ dengan keberangkatan pukul 15.00 sudah di tangan. Sampai sini, saya belum menentukan gunung apa yang akan didaki, mengingat ada banyak pilihan gunung di Dataran Tinggi Dieng, seperti Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan, yang paling hits, Gunung Prau.
Terminal Mendolo Wonosobo jadi tujuan bus yang saya naiki. Saya tiba di Terminal Mendolo tepat pukul 05.30 pagi. Perjalanan singkat bila diceritakan, namun panjang apabila dirasakan sendiri tanpa teman.
Sejauh ini masih tetap sama, entah mau mendaki gunung yang mana.
Selepas salat Subuh, yang telat, saya duduk santai sambil menyesap segelas kopi di sebuah warung. Terlihat banyak pendaki dengan keril gagah di bahu—palingan yang tebal matras di dalamnya saja. Pasangan-pasangan muda lalu-lalang, ada yang bersolek demi unggahan Instagram. Mau bagaimana lagi, lokasi foto model tidak hanya kolam renang tampaknya. Tapi tak apa. Pemandangan ini bagus untuk kesehatan mereka-mereka yang haus asmara.
Lalu-lalang tidak hanya dilakukan oleh para pendaki, melainkan juga para kenek Isuzu Elf yang sedang mencari sewa. Atau, dalam terminologi transportasi publik, mencari penumpang. Berulang kali juga saya ditawarkan angkutan untuk ditumpangi. Cuma, karena belum jelas mau ke mana, saya tolak selalu tawaran-tawaran itu.
Sudah habis tiga batang Gudang Garam, saya lantas melangkahkan kaki. Asal saja saya naiki Elf yang mangkal di pintu terminal, entah mau ke mana ia. Tepat 06.30 roda angkutan umum itu berputar menjauhi terminal.
Huh, mau ke mana ya ini?
Saya duduk di barisan belakang bersama penduduk lokal yang naik Elf dengan berbagai alasan, entah berdagang, bekerja, atau mungkin sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya ganti posisi menjadi berdiri kala seorang nenek membawa bakul cenil naik. Saya maju mendekati bangku penumpang baris kedua dari belakang. Dari posisi inilah saya melihat dua remaja dengan style ala pendaki sedang asyik mengobrol.
Tanpa banyak basa-basi saya langsung bertanya, “Mau naek ke mana?”
“Mau ke Sumbing, Bang,” jawab seorang remaja berkulit hitam manis berambut ikal yang selanjutnya saya kenal sebagai Adit.
“Oke. Gue ikut, yak….”
“Hah?! Emang lu mau ke mana, Bang?” tanya seorang remaja dengan wajah mirip Ikang Fawzi berbalut kemeja flanel. Namanya Nuril.
“Gue pas ketemu lu berdua baru tau mau ke mana.”
Mereka berdua cuma menggeleng heran.
Singkat cerita kami mengobrol dan tak terasa sudah sampai di pinggir jalan menuju base camp (BC) Garung. Nuril dan Adit sudah pernah mendaki Sumbing, namun mereka utang tidak mencapai puncak karena sudah kelelahan ketika mencapai Pos Sunrise atau Pos 3.
Sekitar 30 menit berjalan dari jalan raya utama, sampailah kami di BC Garung. Selepas menanggalkan keril, kami bertiga mencari sarapan di sekitar BC. Asyik mengobrol sambil menunggu hidangan sarapan, datanglah dua orang dengan perawakan kurus namun terlihat lebih tua dari kami bertiga.
“Naek bertiga, Bang? Temen apa ni?” tanya pemuda dengan rambut gondrong sekuping bernama Lucas.
“Iya, nih. Temen dari terminal.”
“Hah? Gimana gimana?” tanya Lucas tak mengerti.
“Iya, baru kenal di terminal,” jawab saya cepat.
Lucas lalu mengenalkan temannya, Reza. Lucas berlatar belakang sama dengan Adit dan Nuril: barisan pengutang yang gagal mencapai puncak Sumbing, dengan faktor yang sama pula. Tapi, melihat faktor kegagalan mereka bertiga, saya menarik kesimpulan: mereka bertiga tidak mementingkan ego menuju puncak, sadar batas diri, dan lebih menyimpan energi untuk turun gunung. Sikap yang rasanya sudah sulit ditemukan di pendaki era sekarang. Omong-omong, ini adalah pendakian pertama bagi Reza.
Singkat cerita, setelah mengurus Simaksi, kami berlima sepakat melakukan pendakian bersama. Memang tidak disarankan melakukan pendakian dengan orang yang tidak dikenal, tapi saya yakin bersama keempat orang ini saya akan mudah nyetel.
Ojek gunung telah siap. Tiap orang dari kami membayar Rp25.000 untuk ke Pos 1 Malim. Tanpa ojek gunung ini, pilihan kamu ya hanya berjalan kaki menelusuri trek berbatu ladang pertanian warga selama 2 jam–kaum rebahan Jabodetabek mana mau. Berapa waktu tempuh ojek ini dari BC sampai Pos 1 Malim? Tak sampai 10 menit. Menurut saya, pengendara ojek ini harusnya banting setang saja jadi pembalap motocross, soalnya skill mengendalikan kuda besinya di atas rata-rata.
Edan.
Dapat julukan baru di Pos 3 Gunung Sumbing via Garung
Pendakian dimulai tepat pukul 08.15. Pos 1 Malim menjadi titik awal kami berlima. Kami disambut trek tanah basah dengan sedikit ilalang di kanan kirinya. Masih ada bekas trek motor di jalur ini. Rupanya masih ada ladang warga, lengkap dengan bale-bale beratap terpal plastik.
“Nyuwun pangapunten, De,” ucapku kala melewati bale-bale itu.
Nyuwun pangapunten? Kok saya malah minta maaf, ya?
Trek selanjutnya masih santai. Ada banyak tanjakan namun berbanding lurus dengan bonusnya. Singkat kata sampailah kami di Pos 2 Genus. Saat itu jam tangan menunjukkan pukul 09.15.
Kami melepas lelah sejenak di pos ini. Saya sendiri sudah pasti menghisap Gudang Garam kesayangan. Sambil terus guyon tentang latar berlakang kami berlima, tak terasa sudah 20 menit berlalu. Menurut pengakuan Adit, pendakian sebenarnya dimulai dari sini. Etape Pos 2 Genus menuju Pos 3 Sunrise dengan trek Engkol-Engkolan memang sudah cukup tersohor di kalangan pendaki. Lucas tak mau kalah bercerita mengingat betapa licinnya trek ini saat musim panas yang tentunya penuh dengan debu. Agak-agaknya utang puncak membuat mereka menjadi lebih siap dari sebelumnya.
Kegagalan memang tak pernah gagal memberikan pembelajaran.
Jam 10 kurang, kami melangkahkan kaki. Saya menggunakan masker, mengingat cerita dari Lucas dan Adit tentang trek ini. Dan omongan mereka terbukti. Jalur menjadi gundukan tanah menjulang ke atas, siap membuat lutut dan kening berciuman mesra. Jujur, saya lebih memilih trek tertutup yang memancing rasa ingin tahu—dan membuat pendakian jadi tak terasa. Namun jika terbuka seperti ini…. aduh, mager.
Empat puluh lima menit mendaki, tiba-tiba rintik hujan mulai turun dibarengi kabut. Mereka berempat mulai menggunakan jas hujan. Saya? Ya, ini jangan ditiru: saya saat itu mengacu pada grafik barometer di jam tangan. Grafik menunjukkan undakan turun ke arah kanan dengan angka tekanan udara sekitar 919 hPa. Menurut pelajaran fisika, karena kerapatan udara di atas tidak terlalu tinggi, kecil kemungkinan terjadi hujan deras. Saya anggap saja rintik air itu hanyalah air yang dibawa turun oleh kabut. Setengah jam perjalanan menembus kabut, cuaca memang jadi kembali cerah. Tetapi, demi keselamatanmu, jangan ragu untuk lekas mengenakan jas hujan. Sekali lagi: perbuatan saya ini janganlah ditiru.
Air yang membasahi tanah ternyata membawa berkah. Trek menjadi lebih gembur sehingga tapakan kaki terasa lebih mantap. Trek yang sedikit lebih basah mempercepat langkah kami. Meskipun trek tetap tak berubah senantiasa menanjak membuat kening dan lutut tak berjarak, kami tak patah arang. Saya sendiri merasak sulit bernapas, terlebih waktu melalui trek yang terbuka jauh dari pohon yang notabene adalah penyuplai oksigen. Duh, bisa tidak treknya diganti jadi seperti trek Gunung Putri? Keluh saya dalam hati.
Tak terasa kami telah sampai di Pos 3 Sunrise. Sudah banyak tenda yang berdiri. Bisa juga sebenarnya mendirikan tenda di pos selanjutnya, yaitu Pos 4 Pestan. Namun, lahannya sangat terbuka, sangat rawan badai, terlebih di musim penghujan seperti ini. Kami sepakat mendirikan selter. Uniknya, kami tidak berada dalam satu tenda. Lucas dan Reza dalam tenda dome kapasitas 4, Adit dan Nuril di dome untuk 2 orang, dan saya tentunya di dalam bivak flysheet, selter yang mau saya coba di pendakian kali ini. Karena selter ini pulalah Adit selalu memanggil saya Bang Bivak hingga sekarang—padahal bivak itu adalah yang pertama saya buat di gunung. Yasudahlah, namanya juga anak-anak. Tapi ini jangan ditiru. Boros sekali kami berlima makan tempat.
Masih siang, pikir saya saat itu. Sejujurnya, kami berlima masih sanggup melakukan pendakian. Namun, karena pada pos-pos selanjutnya sulit untuk mendirikan tenda, jadi ya mau tak mau berkemah di sini. Di pos ini pula terdapat bedengan warung warga. Kalau kamu malas memasak, jajan saja. Kami berlima langsung menyetel kompor. Berlomba ala MasterChef, Lucas memasak logistik sejuta umat berupa Indomie rebus lengkap dengan telurnya. Saya memasak parsleyed potato lengkap dengan kornet. Dan Adit? Aduh, memang selera anak-anak. Entah dapat dari mana ia bakso cimol. Tapi, harus saya akui: bakso cimolnya paling enak.
Lomba masak siang itu pemenangnya Adit.
Selamat, Dit!
Sambil menyesap kopi dan saling bertukar tawa selepas makan, tiba-tiba hujan turun. Kami semua berlindung di selter masing-masing. Saya sendiri tidur hingga jam 4.30 sore. Adit yang kekanak-kanakan cukup rusuh membangunkan kami berlima untuk melihat matahari terbenam. Memang pas sekali, hujan telah reda. Saya langsung bergegas salat jamak takhir karena sedari tadi lupa salat Zuhur setelah pendakian. Kami berlima berfoto-foto ria. Dalam ajang foto-foto ini, duet anak-anak ini memang senang berfoto, ditambah Reza yang antusias di pendakian pertamanya. Saya dan Lucas? Sibuk saling menyalahkan siapa yang sudah menghilangkan korek.
Tak terasa sang surya mulai beranjak pamit, meninggalkan sebuah garis oranye di bentang cakrawala, ikut memberi warna pada awan-awan di sekitarnya. Selepas hujan, tampaknya cumolonimbus juga tak menunjukkan tajinya, membuat matahari dengan gagah melepas foton berupa cahaya. Teduh suasana kala itu. Tak terasa semakin gelap dan saya lekas melaksanakan salat jamak takdim membelakangi matahari. Saya rasa tak ada masjid yang memberi kita pemandangan siluet hitam dengan jelas saat salat, seolah menegaskan bahwa kita masihlah makhluk yang penuh dosa. Memang, saya mengaku tak khusyuk saat salat kala itu akibat bayangan hitam diri. Refleksi diri. Sadar bahwa saya kecil di hadapan-Nya.
Seberes matahari pamit, kami lekas memasak makan malam. Lomba masak dilaksanakan secara cepat dan dimakan dengan lahap, karena kami sepakat untuk muncak pukul 02.00 dini hari. Kami bergegas tidur di selter masing-masing.
Ketika saya, Lucas, dan Reza sudah mulai terlelap, masih saja duet anak-anak itu ribut di tendanya. Keributan sepele yang masih saya ingat sampai sekarang ialah sebuah pencarian kaus kaki yang berlangsung sekitar 15 menit.
Hadeh. Namanya juga anak-anak.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.