Vifick bilang, setelah belok kiri kami akan tiba di musem topeng dan wayang.
Maka saya putar setir ke kiri. Jalan semakin mengecil. Mobil kami melaju santai di antara dua baris penjor yang menghiasi kedua sisi jalan.
Warna hijau yang berasal dari rerumputan di pinggir jalan menyegarkan mata saya.
Mendadak saya merasa atmosfer seni semakin menebal. Gerbang-gerbang rumah di kanan-kiri penuh pahatan berupa relief detail. Tak ada sampah yang kelihatan. Barangkali sensasi yang saya rasakan ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa kami sedang melintasi Gianyar, wilayah di Bali yang sejak berabad-abad lalu tenar dengan keseniannya, entah lukisan, patung, dan lain-lain. Ubud, salah satu kecamatan di Gianyar, dari dulu sampai sekarang tersohor sebagai pusat seni Bali, tempat para seniman bertemu untuk bertukar ide.
Plang “Setia Darma House of Masks and Puppets” memandu kami untuk kembali berbelok ke kiri. Persawahan di sisi kanan itu tiba-tiba mengingatkan saya pada lukisan-lukisan yang dijual di Ubud.
Ketika jalan bersilang, saya membawa mobil ke arah sebuah jembatan kecil yang mengangkangi aliran sungai kecil. Aliran itu dipagari oleh pohon-pohon bambu yang berdecit setiap kali diterpa angin. Syukron pun menyeletuk, “Keren banget kalinya!”
Dengan hati-hati, saya membawa mobil menyusuri jalan berlapis paving block kemudian perlahan menginjak pedal rem. Kami pun keluar dari mobil. Sembari keluar, saya mengamati sekitar. Pepohonan, rerumputan, dan bangunan bersatu dalam harmoni. Museum ini sepertinya sungguh-sungguh menawaran ketenangan. Mungkin ketenangan itulah yang dicari oleh orang-orang yang duduk-duduk santai di gazebo-gazebo itu.
Anehnya, tidak ada loket tiket masuk.
Kemudian kami berjalan menelusuri jalan kecil yang dinaungi oleh pepohonan—kelapa, lontar, pinang, nangka, kamboja. Jalan itu berujung di sebuah bangunan yang tampak seperti rumah joglo. Ada urusan apa rumah joglo di Bali?
Seorang perempuan muncul dari salah satu rumah joglo itu. Ternyata ia adalah pemandu Setia Darma House of Mask and Puppets. Ia memperkanalkan diri sebagai Desak.
“Permisi. Loket tiketnya di mana, ya, Mbak?” tanya saya. Ia menjawab bahwa museum ini tak punya loket tiket. Mereka hanya menerima donasi yang bisa diberikan saat pengunjung menandatangani buku tamu.
Setelah memberikan pengarahan, Desak memandu kami ke joglo pertama yang berada di seberang kolam berhiaskan seni instalasi. Permukaan kolam kecil itu penuh teratai dan bermacam tanaman air.
Joglo pertama itu ternyata berisi barong dari penjuru Indonesia. Di tengah-tengah bangunan, dipajang beberapa barong Bali. Sementara itu, di ujung dalam ruangan terpajang reog Ponorogo. Baik di Jawa maupun Bali, Barong adalah perlambang dari dharma alias kekuatan baik. Makanya wajar saja bahwa setiap kali orang Bali merasa ada sesuatu yang aneh di desanya mereka akan memanggil barong untuk menyucikan lingkungan.
Penasaran, saya bertanya soal sejarah museum ini pada Desak.
Semula, saya kira museum ini adalah milik Pemerintah Kabupaten Gianyar. Betapa kagetnya saya begitu Desak mengatakan bahwa Setia Darma House of Mask and Puppets adalah milik Hadi Sunyoto, seorang pengusaha dari Jakarta yang suka mengoleksi barang-barang seni, khususnya topeng dan wayang.
Sekitar lima belas tahun yang lalu (saya ke museum itu sekitar akhir 2014), sang pengusaha membeli sebidang sawah di Gianyar yang kemudian diubah menjadi kompleks yang sekarang berisi enam joglo—tempat ia menyimpan topeng-topeng dan wayang koleksinya—plus beberapa bangunan lain.
“Sebenarnya ini sudah dibuka untuk umum sejak 2006,” ungkap Desak. Sayangnya, hingga saat itu (2014) museum ini belum begitu ramai. Dalam sehari biasanya hanya sekitar 25 orang yang datang.
Dari 1.300 koleksi topeng Setia Darma House of Mask and Puppets, sebagian adalah topeng baru yang dipesan secara khusus sementara sebagian lainnya topeng yang sudah pernah dipakai. Topeng-topeng “veteran” ini bisa ditemukan di joglo nomor 3.
Bagi saya yang paling menarik adalah joglo nomor 4 yang berisi koleksi wayang kulit. Yang bikin joglo ini menarik, koleksi yang dipamerkan bukan hanya wayang kulit dari Indonesia namun juga dari negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, Kamboja, China, dan lain-lain. Meskipun karakternya tampak berbeda, wayang-wayang itu ditampilkan dengan cara yang sama: dimainkan malam hari di antara kain putih dan cahaya pelita.
Tur itu berakhir di sebuah joglo yang penuh topeng dari tempat-tempat jauh, seperti Meksiko, Bolivia, negara-negara Afrika, China, Jepang, dan Korea Selatan. Bagi saya, yang paling menarik di joglo itu adalah sebuah topeng suku Dogo di Afrika Barat. Topeng itu sebenarnya sederhana saja, namun komunitas dari mana topeng itu berasal percaya bahwa mereka adalah keturunan alien dari luar angkasa.
Langit menurunkan hujan begitu saya keluar dari joglo terakhir. Bersama-sama, kami berjalan pelan ke mobil. Meskipun langit sekarang kelabu dan murung, tempat itu malah tampak makin elegan.
Para pengunjung terus berdatangan—barangkali ini adalah salah satu hari ramai yang langka untuk museum. Seperti saya, mereka mungkin akan belajar sesuatu dari museum ini; bahwa budaya tidak untuk diklaim melainkan untuk dipelihara.
Setia Darma House of Mask and Puppets
Jl. Tegal Bingin, Kemenuh, Gianyar
maskandpuppets.com
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.