Suasana pagi buta itu kian mencekam. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Wajahnya pun kian memucat. Tangan makin dingin. Ekspresinya penuh keraguan sesaat sebelum naik mobil menuju dermaga.
Dalam pikirannya, ia selalu bertanya-tanya apakah ia akan mampu mengatasi masalah kepanikan yang dipunya? Atau terpaksa gagal dan malah semakin bikin repot banyak orang? Pada saat bersamaan, perasaan tak sabar pun juga datang, berpacu dengan kepanikan; sebuah pengalaman langka yang sudah lama ia idam-idamkan akan menjadi nyata dalam hitungan jam saja.
Sekitar pukul 5 pagi, ia mulai meninggalkan penginapan. Dengan si Kijang Hijau ia berangsur-angsur mendekat ke dermaga, ke batas antara lautan dan daratan. Ia menanti kapal yang akan membawanya mencoret daftar bucket list hidup.
Namun, lebih dari enam puluh menit berlalu, tak ada tanda-tanda kapal akan mendekat. Rasa panik makin menjadi-jadi. Lalu ia sadar, sepagi ini ia sudah melakukan hal konyol. Ia sudah rapi mengenakan wetsuit. Padahal, ini masih di dermaga. Seharusnya wetsuit baru dipakai saat di kapal. Jadilah ia bahan candaan sekaligus keheranan orang-orang. Tapi, mau bagaimana lagi? Namanya saja pertama kali.
Sebuah kapal akhirnya menepi ke dermaga. Seorang lelaki tak terlalu tua melambaikan tangan dari haluan. Namanya Pak Albar, seorang pemandu sekaligus dive master di Bajo Mola, Wangi-wangi, Wakatobi. Pak Albarlah yang akan menjadi buddy sekaligus pengendali nyawanya selama di bawah laut nanti.
Rasa cemas dan tegang semakin mengekang. Momen mendebarkan semakin dekat. Ada apa di bawah laut sana? Apakah menyenangkan? Atau ia terpaksa mesti cepat-cepat naik ke permukaan karena panik yang tak bisa dikendalikannya sendiri?
Ia naik kapal, lalu berlayar ke tengah laut. Beberapa orang kawannya berbagi ilmu-ilmu baru soal menyelam, disertai candaan. Sebisa mungkin ia mengalihkan rasa panik menjadi antusias dan penasaran tak terhingga. Lumba-lumba yang berloncatan ke sana kemari itu setidaknya sedikit mengurai rasa tegangnya. Pak Albar bercerita kepadanya bahwa kawanan mamalia itu adalah sahabat suku Bajo. Orang-orang laut itu bahkan punya panggilan akrab untuk mereka: lummu. Mereka penanda banyak hal, termasuk musibah dan rezeki.
Sementara kawanan lumba-lumba itu meneruskan perjuangan mencari tuna untuk sarapan, kapal pun menjauh. Bersama kapal, ia meluncur di atas air menuju lokasi penyelaman di perairan Pulau Kapota. Pulau Kapota hanyalah salah satu dari banyak lokasi penyelaman di Wangi-wangi, selain Sombu, Secret Garden, Nua Shark Point, Waha Wall, Waha Cemara, Wandoka Pinnacle, dan Kapota Pinnacle.
Bukannya kapok malah ketagihan
Sebelum turun pertama kali di Wakatobi, ia diajari banyak hal. Ia berusaha mengakrabi teknik-teknik penyelaman dan peralatan yang akan ia gunakan, mulai dari masker, regulator, pemberat, fins, tank, dan lain-lain. Ia sekuat tenaga mencoba memahaminya, meskipun fokus mesti dibagi dengan kepanikan. Terus ia yakinkan diri, sebagaimana kawan-kawannya terus meyakinkannya agar relaks di bawah laut.
“Enjoy aja,” kata seorang kawannya.
Ia sudah siap. Ia bergerak ke pinggir kapal untuk duduk; ia akan back roll menuju bawah laut. Agak ribet. Belum lagi tangki yang lumayan berat itu mesti digendong. Tapi ia takkan menyia-nyiakan momen menyelam pertamanya itu.
Byur!
Ia di laut. Pak Albar dan beberapa kawan sudah menunggu. Sempat sulit bernafas dengan mulut, ia minta waktu beberapa saat untuk beradaptasi. Tak berapa lama, ia merasa aman. Kini ia yakin untuk menyelam.
Ia pun turun. Pucuk kepalanya melewati ambang air dan udara. Visibilitas brilian. Beberapa meter di bawah permukaan, ia menyelam di antara kumpulan terumbu karang yang beberapa bagiannya sudah memutih.
Bersama Pak Albar ia menelusuri kedalaman lautan. Berenang ia bersama ikan-ikan dan terumbu karang warna-warni. Meskipun beberapa kali ia mesti mengalami sakit telinga akibat equalizing yang belum pas, tak ada panik berarti. Semuanya terkendali. Malah, muncul ketagihan untuk terus menyelam. Kali pertama itu, ia berkeliaran di bawah laut Wakatobi selama sekitar 45 menit.
Di lain kesempatan, ia kembali try scuba di lokasi berbeda, yakni Secret Garden. Kali ini speed boat yang membawanya mesti terombang-ambing di tengah lautan sebab mesin mendadak bermasalah. Namun ia coba tenang. Ia alihkan pikirannya pada keindahan bawah laut yang akan segera kembali ia saksikan.
Ia bersiap. Dengan wetsuit yang kali ini sudah dikenakan secara tepat dan peralatan yang sudah lebih ia pahami cara pemakaiannya, kembali ia back roll memasuki laut dengan buddy yang berbeda. Ia sempat bingung, kok buddy tak lekas membawanya ke dalam laut? Ia makin heran saat ia malah dipandu kawan lain. Ternyata, sang buddy panik dan terpaksa harus naik ke perahu lebih dulu. Alhasil, pergantian buddy terjadi. Ia menyelam bersama rekan yang lain.
Kondisi bawah laut Secret Garden menurutnya lebih menarik dan bersih dibanding Pulau Kapota. Terumbu karang lebih warna-warni. Berbagai biota laut terlihat jelas. Ada lobster, clownfish, anemone, dan lainnya. Arus terasa lebih kencang. Namun, ia lebih mampu mengontrol diri. Ia tidak melakukan banyak gerakan tak perlu seperti pada penyelaman sebelumnya.
Kala di bawah laut dan menelusuri keindahannya, beberapa kali ia sempat merasa agak pusing. Rasanya seperti ingin pingsan, walaupun sebenarnya ia belum punya pengalaman kehilangan kesadaran.
Pernah juga ia tanpa sadar bernapas lewat hidung—dan rasanya, entah kenapa, seperti menghirup air. Begitu kembali ke permukaan, saat membuka masker ia melihat darah segar. Ia diberi tahun kawannya kalau ia mimisan, yang lumrah terjadi saat seseorang belum menguasai teknik equalizing.
Tapi—wow!—semuanya mengesankan: pengalaman ke Wakatobi pertama kali, menyelam pertama kali, mimisan pertama kali seumur-umur! Ia—kau perlu tahu—adalah saya yang kini semakin menggebu-gebu ingin mengambil lisensi selam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.