Tak disangka, obrolan di warung kopi itu berujung pada sebuah rencana untuk liburan. Kami memang mulai jenuh dengan rutinitas, dengan deadline, dengan suara mesin tik yang bersahut-sahutan. Tapi, mau liburan ke mana? Setelah menimbang-nimbang, saya dan tiga orang teman akhirnya memutuskan destinasi yang bakal dituju: Pulau Dewata.
Destinasi sudah ditentukan. Selanjutnya kami memikirkan atraksi-atraksi yang bakal dihampiri selama perjalanan empat hari tiga malam itu. Alih-alih Bedugul, Tanah Lot, Sanur, Kuta, GWK, Uluwatu, dll., nama-nama atraksi wisata yang muncul kemudian terdengar asing bagi saya. Tapi tak apa-apa. Sepertinya menarik. Apalagi kami semua sepakat untuk menyediakan bujet (hanya) Rp500.000/orang untuk perjalanan ini.
Keesokan harinya kami memesan tiket kereta api. Semula kami akan menumpang KA Probowangi jurusan Surabaya-Banyuwangi yang ongkosnya hanya Rp56.000. Namun, saat kami mengecek tiket di laman pemesanan, semua kursi Probowangi sudah ludes dibeli. Kami sempat bingung sebab waktu sudah semakin mepet. Untungnya masih ada KA Sri Tanjung 194 yang ongkosnya sedikit lebih mahal ketimbang Probowangi, yakni Rp88.000.
Dengan tiket KA Sri Tanjung dalam genggaman, Senin, 18 Maret 2019, kami berangkat pukul 14.00 WIB. Dalam perjalanan ke Banyuwangi, kami lebih sering terlelap. Setelah sekitar tujuh jam meluncur di rel, suara masinis membahana lewat pengeras suara, memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta akan tiba di tujuan akhir. Sekira pukul 21.00 WIB kami sampai di Stasiun Banyuwangi Baru.
Karena Pelabuhan Ketapang hanya selemparan batu dari stasiun, kami berjalan kaki ke sana. Sebentar saja, hanya tiga menit ke arah timur. Kalau dihitung-hitung barangkali jaraknya hanya sekitar 350 meter.
Menyeberang ke Pulau Dewata
Setiba di pelabuhan, kami langsung membeli tiket ferry Ketapang-Gilimanuk seharga Rp6.500. Fasilitas di ferry itu ternyata lumayan bagus. Ada Wi-Fi gratis. Selain itu deknya juga penuh musik—kalau mau kamu juga bisa karaoke. Alhasil, “pelayaran” selama 45 menit itu tak terasa lama.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WITA saat kami tiba di Pulau Dewata. Kami sempat kebingungan harus melakukan apa sebab ternyata bus dari Gilimanuk ke Terminal Ubung Denpasar baru ada jam 2 dini hari WITA. Kalau mau menunggu, lumayan lama juga—3 jam! Untungnya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Seorang pria kurus dengan topi di kepala dan handuk di leher datang menghampiri kami. Ia menawarkan jasa travel.
Semula ia memberikan harga Rp50.000/orang. Tapi kami mencoba menawar. Maklum, kami hanya bawa uang Rp500.000/orang. Setelah negosiasi lumayan alot, ongkos berhasil kami pangkas. Per orang, kami hanya perlu membayar Rp40.000. Sisa Rp10.000 bisa kami sisihkan untuk bekal jajan selama di Bali. Tidak berlama-lama, uang kami kumpulkan. Kemudian kami meluncur sejauh 117 km, dengan waktu tempuh sekira 3 jam 15 menit, menuju Terminal Ubung, Denpasar.
Perjalanan kami sempat terhambat oleh pembangunan jalan. Namun, selebihnya tak ada halangan berarti. Setelah berjam-jam melewati jalanan yang diapit oleh pohon-pohon besar dan rumah-rumah penduduk yang berjejeran, kami tiba di Terminal Ubung. Masih pagi sekali, jam 3 dini hari WITA.
Saya segera menghubungi teman yang bekerja di Bali. Namanya Vina. Ia berambut cepak, berkulit putih, dan asli Malang. Dulu, sebelum merantau untuk menjadi pengajar bahasa Mandarin di Bali, ia bekerja di Surabaya. Saya berkenalan dengannya di Dieng Culture Festival 2018. Sebelum berangkat kemarin, saya menghubunginya dan ia mempersilakan saya dan teman-teman untuk tinggal di kediamannya. Ternyata tempat tinggal Vina tak jauh dari Ubung. Kami hanya perlu menumpang ojek-mobil online selama sekitar 15 menit dengan tarif Rp.8.000.
Vina menanti kami di depan sebuah gerbang berkapur hitam. “Hai! Apa kabar?” ia tersenyum riang lalu menyalami kami satu per satu. Kami pun diberikan tempat untuk beristirahat. “Kalau mau mandi, toiletnya di sana, ya,” katanya sambil menunjuk arah kamar mandi.
Dua hari keliling Bali naik motor
Selasa menjelang siang, 19 Maret 2019, dengan sepeda motor sewaan (Rp60.000/hari), kami mulai menelusuri Bali.
Atraksi pertama yang kami datangi ialah Handara Golf yang berada tak jauh dari Bedugul. Meskipun tempat ini sedang ngehits di media sosial, ternyata tiket masuknya lumayan terjangkau, yakni Rp20.000/orang. Handara Golf pas sekali kalau didatangi sore-sore menjelang matahari terbenam, sebab pemandangannya amat menawan.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 14.15 WITA, kami melaju dari Handara ke utara menuju Air Terjun Sekumpul. Perjalanan sejauh 21 km itu kami tempuh selama satu jam. Yang membuat Sekumpul menarik adalah lokasinya yang tersembunyi. Bahkan, untuk ke sana kami mesti berkendara melewati jalan yang masih berlapis kerikil dan bebatuan.
Untuk menyaksikan keindahan kawasan air terjun yang masih tampak alami itu, wisatawan domestik seperti kami hanya perlu membayar Rp15.000/orang. Kami berkeliaran di kawasan Air Terjun Sekumpul sampai pukul 17.00 WITA. Sebelum hari sepenuhnya gelap, kami bergegas kembali ke rumah Vina.
Keesokan harinya, Rabu, alarm membangunkan kami pukul 09.00 WITA. Dua jam kemudian, kami meluncur ke utara, ke arah Bangli, untuk menyambangi Desa Adat Penglipuran. Dari Ubung, desa ini lumayan jauh, terpaut sekitar 43 km. Untuk ke sana, kami mesti berkendara selama sekitar sejam.
Setelah membayar tiket Rp15.000/orang, kami berjalan mengitari desa penerima Kalpataru tahun 1995 itu. Hari itu desa sesak oleh wisatawan, dari mulai mereka yang sekadar berdarmawisata sampai siswa-siswa yang sedang merayakan perpisahan. Udara segar sekali, sebab tidak ada kendaraan yang lalu-lalang di tengah-tengah desa. Selain itu, merokok juga hanya diizinkan di tempat-tempat yang sudah ditentukan.
Dari Bangli, kami turun ke Ubud, Gianyar, untuk ke Bukit Campuhan (Campuhan Ridge Walk). Perlu waktu sekitar satu jam untuk menempuh jarak sekitar 30 km. Setiba di tempat parkir, kami trekking sekitar seperempat jam lewat jalan agak menanjak yang sudah dipaving. Campuhan Ridge Walk adalah sebuah setapak di tengah-tengah bukit yang dari jauh tampak seperti punggung naga. Kanan-kirinya dihiasi rerumputan hijau. Di sisi trek ada dua pohon besar yang bikin pemandangan jadi lebih indah. Melihat betapa menawannya Campuhan, saya tak heran kalau banyak pasangan yang menjadikan tempat ini sebagai lokasi foto prewedding.
Saatnya pulang
Lagit yang mulai gelap menandai akhir perjalanan kami di Pulau Dewata. Dari Campuhan kami kembali ke rumah Vina. Sembari menunggu pergantian hari, kami mencoba menghitung pengeluaran selama di Pulau Dewata. Uang Rp500.000 yang kami bawa ternyata cukup. (Bahkan, sebenarnya, masih ada sisa Rp100.000 dalam dompet saya.)
Pagi-pagi sekali keesokan harinya kami mengucapkan selamat tinggal pada Vina dan beranjak meninggalkan Bali. Kami naik bus menuju Gilimanuk dari Terminal Ubung. Ongkosnya Rp40.000—kali ini tak ada negosiasi lagi sebab harga yang ditawarkan sudah lebih murah ketimbang harga awal yang dipatok saat berangkat. Di Banyuwangi Baru, kami melompat ke dalam gebang KA Probowangi yang berangkat pukul 14.00. Kali ini sudah Waktu Indonesia Barat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Asli Kota Pahlawan. Menggeluti dunia kreatif, sehari-hari ia bercengkerama dengan konten.