Jejeran wayang suket menyambut kehadiran para peserta Sekolah TelusuRI Semarang #5 pagi itu. Meskipun venue Sekolah TelusuRI pindah mendadak, yakni dari Gedung Oudetrap ke Gedung Monod Diephuis & Co, acara berlangsung dengan lancar.
Gedung Monod Diephuis & Co ini dulunya adalah kantor perusahaan Monod & Co. Didirikan oleh CLF Monod de Froideville, Monod & Co dan bergerak di bidang ekspor gula, kopi, kopra, dan hasil bumi lain ke Eropa. Monod juga menjadi broker dari perusahaan NV Handel Maatschappij Kian Gwan, perusahaan milik kongklomerat Oei Tiong Ham yang diwarisinya dari Oei Tjie Sien, sang ayah.
“Setelah ini, kita akan langsung berjalan kaki berkeliling kawasan Kota Lama. Ada beberapa gedung yang akan kita lewati dan saya akan menceritakan sejarahnya. Saya akan menjadi pemandu utama, dan di belakang ada Mas Ramli yang bertugas supaya rombongan ini tidak pecah. Apabila ada pertanyaan, nanti langsung ditanyakan dan akan kita bahas bersama,” kata Mas Rofiq, pemadu wisata Dutakola yang menemani kami menelusuri Kota Lama.
Menyusuri gedung-gedung tua di Kota Lama
Matahari masih hangat ketika kami beranjak dari Monod Diephuis. Suasana pagi cerah berawan, tidak terlalu panas, nyaman untuk berjalan kaki keliling kota. Hanya saja, pekerjaan renovasi membuat debu beterbangan ke sana kemari.
Dari Monod, kami menyusuri Jalan Kepodang. Di hadapan kami berdiri gedung tua yang sepertinya sudah tidak lagi difungsikan, berantakan, dan gelap. Ternyata ini adalah gedung penyalur tenaga kerja pertama di Indonesia, didirikan tahun 1866. Ada kandang kuda dan jalur trem (kereta api kecil dalam kota) di sisi belakang gedung.
Perjalanan kami dilanjutkan ke Gedung De Locomotief, gedung surat kabar terkenal di Indonesia dan paling tua di Semarang. Surat kabar De Locomotief sempat beken karena meliput kereta api pertama di Indonesia yang ada di Semarang.
Perjalanan lanjut ke gedung-gedung tua di Jalan Kepodang hingga Rumah Makan Pringsewu. Kami juga diajak berkeliling dan mendengarkan cerita sejarah Gedung Jiwasraya, Gereja Blenduk, Gedung Oudetrap, Taman Srigunting, Gedung Spiegel, dan Gedung Marba.
Banyak sekali informasi baru yang saya dapat dari perjalanan menelusuri Kota Lama kali ini. Saya baru tahu kalau ternyata bangunan Gereja Blenduk dulunya berbentuk kubah tanpa menara dan menghadap ke utara. Lalu, orientasinya diubah jadi ke selatan dan di sampingnya dibangun dua menara. Saya juga baru tahu kalau dahulu Taman Srigunting adalah makam, yang sekarang sudah dipindahkan ke Ambarawa.
Terik mulai terasa saat kami berada di Marba. Mas Rofiq pun mengarahkan kami untuk kembali ke arah Monod Diephuis. Dalam perjalanan ke arah titik mula itu, kami diajak ke Gedung Van Drop, percetakan pertama di Semarang. Kami juga berhenti sejenak di Rumah Akar, tempat paling adem di Kota Lama sekaligus spot selfie paling beken di sekitar sini.
Di depan Gedung Monod, sepotong arem-arem menyambut. Kemudian, sambil merebahkan badan di tikar yang sudah disediakan, kami khusyuk memadamkan kelaparan.
Membuat wayang suket
Kemudian Sekolah TelusuRI Semarang #5 dilanjutkan dengan workshop pembuatan wayang suket. Suket, yang dalam bahasa Indonesia disebut rumput, oleh banyak orang dianggap sebagai gulma. Tapi, di tangan teman-teman Dutakola, suket bisa diolah menjadi sebuah kerajinan tangan yang cantik dan penuh cerita.
Karakter wayang suket yang dibuat oleh teman-teman Dutakola ini beragam, di antaranya karakter Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong), Togog, Mbilung, Limbuk, dan Cangik.
Sebelum teman-teman peserta diajak membuat wayang, Mas Rofiq dan anaknya menggelar pertunjukan sederhana wayang suket dengan membawakan cerita tokoh Petruk.
Saat workshop, peserta Sekolah TelusuRI Semarang #5 diajarkan untuk membuat wayang dari suket mendong. Ini adalah salah satu jenis rumput yang tumbuh di pinggir sungai dan biasa digunakan sebagai bahan baku tikar. Panjangnya bisa mencapai 2,5 meter, lho! Rumput mendong punya tekstur lentur, mudah ditekuk, tidak gampang patah, sehingga cocok sekali jadi bahan baku wayang suket. Wayang suket sebenarnya juga bisa dibuat dari padi yang sudah menguning. Sayangnya, padi cukup sulit dicari di Semarang.
Satu per satu, para peserta Sekolah TelusuRI Semarang #5 menyelesaikan wayang-wayang karya mereka, dipandu oleh teman-teman Dutakola. Semua tampak senang setelah membuat sesuatu dengan tengan mereka sendiri. Kalau diamati, meskipun tidak semeriah wayang kulit yang biasanya ditampilkan semalam suntuk, wayang suket juga punya daya tarik sendiri dalam kesederhanaannya.
Dutakola (Pemandu Wisata Kota Lama) adalah komunitas pemandu resmi dan memiliki izin memandu wisata untuk kawasan Kota Lama Semarang. Jika kamu ingin jalan-jalan di Kota Lama Semarang dan mau tahu lebih banyak tentang sejarah, jangan sungkan untuk menghubungi teman-teman Dutakola. Kamu bisa menghubungi Rofiq di 085293515016 atau instagram.com/dutakola.smg.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.