Bunyi hempasan ombak sayup-sayup mulai menyerang telinga saya secara perlahan. Saya menghentikan sepeda motor di tepian dermaga sebelah kanan tepat menghadap ke laut. Dermaga ini terbagi dua dengan jalur masuk yang berbeda pula. Di antara kedua dermaga, terbentang sebuah muara sungai yang menyatu dengan laut. Muaro Mangguang, begitulah warga sekitar menyebut kawasan ini. Jaraknya kurang lebih sekitar lima kilometer dari pusat Kota Pariaman, kota yang terletak di pesisir pantai Sumatera Barat. 

Sebagai daerah yang terletak di pinggir pantai, Pariaman sudah menjadi tujuan perdagangan dan rebutan bangsa asing yang melakukan pelayaran kapal laut beberapa abad silam. Tomé Pires, seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk kerajaan Portugis di Asia dalam Suma Oriental (1513-1515) mencatat bahwa telah ada lalu lintas perdagangan antara India dengan Pariaman, Tiku dan Barus. Dua-tiga kapal Gujarat mengunjungi Pariaman setiap tahunnya membawa kain untuk penduduk asli di barter dengan emas, gaharu, kapur barus, lilin, dan madu. Pires juga menyebutkan bahwa Pariaman telah mengadakan perdagangan kuda yang dibawa dari Batak ke Tanah Sunda.

Dalam sebuah jurnal bertajuk Jejak Peradaban Masa Lalu di Kota Pariaman yang ditulis oleh Efrianto. A dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, menyebutkan bahwa ada beberapa pendapat mengenai asal – usul nama Pariaman. Berasal dari kata parik nan aman, maksudnya pelabuhan yang aman. Hal ini disebabkan setiap kapal yang singgah di pelabuhan untuk memuat hasil bumi berlabuh dengan aman. Sedangkan pendapat lain mengungkapkan Pariaman berasal dari kata peri yang aman, artinya orang yang baik, berbudi tinggi dan berbudi luhur, sehingga dikatakan Priaman.

Hamka menyatakan bahwa nama Pariaman berasal dari kata “bari aman,” yang berarti “tanah daratan yang amat sentosa.” Hal ini sesuai dengan literatur Belanda bahwa Pariaman sudah lama menjadi pelabuhan untuk menyalurkan emas dari pedalaman Minangkabau. Daerah dataran rendah Pariaman pernah menjadi daerah penghasil lada yang subur pada abad ke-15 sampai ke-17.  Dalam sebagian literatur Belanda, Pariaman ditulis “Priaman.”

Beberapa pengunjung bersantai menyaksikan gerombolan remaja berenang di pantai/Arif Rahman

Minggu sore menjelang petang cuaca sedikit bersahabat, tidak ada hujan yang turun. Padahal sudah hampir seminggu kota yang dijuluki Kota Tabuik  ini dilanda hujan lebat. Dari hari Senin sampai Sabtu, dari pagi bahkan sampai malam. Seakan – akan semesta membiarkan orang – orang untuk menikmati akhir pekan mereka. Memang, penghujung dan awal tahun merupakan musim penghujan. Saya duduk menghadap ke laut, membiarkan angin laut menampar muka. Melepas kejenuhan setelah dilanda hujan lebat nyaris seminggu penuh. 

Berabad – abad setelah silih bergantinya kapal – kapal perdagangan dunia yang berlabuh di pantai Pariaman, kini kawasan pantai tersebut beralih fungsi menjadi tempat rekreasi dan wisata. Pada tepian dermaga, beberapa orang duduk bersantai, bercerita, dan tertawa. Di bagian ujungnya, tampak beberapa orang memancing ikan ke laut. Ketika ombak sedang bagus, airnya menghempas tinggi ke atas dermaga. Sesekali orang – orang yang sedang memancing itu berlari menghindar cipratan ombak. Kawasan ini sering juga dikunjungi anak-anak remaja sekitar untuk bermain selancar. Ombaknya lebih besar dibanding pantai lain di Kota Pariaman.

Talao mangguang dengan sepeda gantung di atasnya/Arif Rahman

Pantai ini cukup sepi jika dibandingkan dengan Pantai Gandoriah, Pantai Cermin, dan Pantai Kata yang menjadi andalan pemerintah kota dalam mendatangkan wisatawan. Di bagian kiri dan kanan dermaga Pantai Muaro Mangguang, pohon – pohon pinus berbaris rapi menjulang ke langit. Ada sebuah penangkaran penyu sekitar dua ratus meter ke sebelah kiri. Terdapat juga beberapa warung – warung kecil diantara pohon – pohon pinus mulai dari dermaga hingga penangkaran penyu. Dan sebuah hutan mangrove terbentang bersebelahan dengan penangkaran tersebut. 

Tidak hanya itu, di sebelah kanan dermaga terdapat juga sebuah talao atau telaga kecil yang hanya berjarak kurang seratus meter dari bibir pantai. Saya penasaran dan memutuskan untuk melangkahkan kaki ke sana. Airnya tenang dihinggapi tumbuhan rawa pada tepiannya. Di atasnya, ada dua buah sepeda yang menggantung pada tali yang membentang ke tengah talao. Sepeda gantung ini dikhususkan untuk wisatawan yang ingin berswafoto di atas talao, namun terlihat seperti tak terurus. Untuk menuju kesana, dari dermaga saya berjalan kaki kurang dari dua ratus meter melewati barisan pohon-pohon pinus.Saya coba mengingat kembali rupa kawasan ini lima tahun sebelumnya.

Terakhir datang, tepian pantai belum ditumbuhi pohon apapun, hanya hamparan pasir yang membentang. Dermaga muara pun tidak sepanjang sekarang yang lebih mendekat ke tengah laut. Belum ada juga talao, hanyalah berupa rawa dan semak belukar. Meski kawasan ini bukanlah termasuk pantai primadona seperti pantai – pantai yang berada di pusat kota, harus diakui Kota Pariaman cukup gila – gilaan dalam membangun kawasan pantainya.

Pariaman begitu gencar dalam mengembangkan pariwisata pantai. Dalam sebuah reportase yang dimuat pada laman gatra.com dua tahun lalu, Pemerintah Kota Pariaman akan mengembangkan kawasan pariwisata terpadu dengan konsep Waterfront City yang mengintegrasikan berbagai spot menarik di sepanjang bibir pantai. Pengembangan sarana dan prasarana konsep terpadu tersebut mendapatkan kucuran dana dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebesar 8,3 miliar rupiah. 

Tumpukan sampah akibat pasang naik air lautJalan menuju talao mangguang dari dermaga

Ini tentu merupakan angin segar dalam upaya pengembangan pariwisata pantai. Namun, upaya tersebut tidak berbanding lurus dengan dampak kebersihan pantainya. Banyaknya sampah-sampah berserakan di sekitaran pantai seakan – akan sudah menjadi hal yang biasa. Semua orang yang berkunjung ke pantai seperti berteman akrab dengan sampah yang berserakan. Anehnya, banyak sampah – sampah yang seharusnya tidak berada di pantai saya jumpai di sini. Seperti tutup termos, cangkir plastik, bungkus pembalut, bola lampu, hingga boneka anjing. 

Faktor musim penghujan seperti saat ini mengakibatkan intensitas sampah di pantai meningkat. Ketika pasang air laut naik, sampah – sampah yang beredar di laut dan muara terkumpul di tepi pantai. Hal ini juga disebabkan oleh minimnya tempat pembuangan sampah yang disediakan. Hingga matahari perlahan terbenam di ujung cakrawala pun, saya tidak menemukan barang satupun tempat sampah yang disediakan di sekitar pantai ini. Yang ada hanya beberapa tumpukan – tumpukan sampah di setiap sudutnya.

Feri Musliadi pada laman covesia.com menuliskan, “Dengan jumlah penduduk sekitar 86.618 ribu jiwa, setiap harinya Kota Pariaman menghasilkan sampah sekitar 25 ton. Sedangkan untuk luas lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampahnya masih belum memadai.” Minimnya tempat pembuangan sampah di pantai dan pola perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan mengakibatkan kita ikut menyumbang sampah yang terbuang ke laut. 

Menurut UN Environment Programme, 6,4 juta ton sampah berakhir di laut setiap tahunnya, dengan sebagian besar tujuh puluh persen jatuh ke dalam laut. Sekitar lima belas persen tetap bersirkulasi pada arus laut, sementara sisanya berkumpul di pantai. Berdasarkan sebaran titik kumpul sampah laut di dunia, diketahui hampir di seluruh negara di dunia yang berbatasan dengan laut berkontribusi terhadap pencemaran sampah laut terutama sampah plastik. Dan berdasarkan hasil penelitian Jambeck yang berjudul Plastic Waste Inputs From Land Into The Ocean, Indonesia menduduki peringkat kedua dunia setelah China sebagai penyumbang sampah yang terbuang ke laut dengan 187,2 juta ton sampah. 

Sungguh sangat disayangkan, ketika pesisir pantai yang dulunya menjadi pembuka jalan masuknya interaksi perdagangan dunia, menjadi penyumbang banyaknya sampah yang terbuang ke laut di saat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat seperti sekarang. Kembali ke Pantai Muaro Mangguang. Matahari kian redup, perlahan cahaya jingga membias di langit. Suara adzan mulai berkumandang. Saya bergegas kembali ke dermaga melewati pohon – pohon pinus setelah melepas rasa penasaran melihat talao. Di tengah – tengah pohon pinus, segerombolan muda – mudi dengan bentangan hammock dan genjrengan gitar terlihat sangat menikmati suasana tenggelamnya mentari. Tiba – tiba sebuah pertanyaan terlintas di benak saya, “Apakah dulu ketika aktivitas perdagangan kapal – kapal asing ke Pariaman banyak menyisakan sampah yang berserakan di sekitar pantai?”


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar