Sore lagi beranjak sendu-sendunya kala matahari jingga mengawali pergantian siang ke malam di Waterfront Labuan Bajo. Waterfront memang menjadi tempat berkumpulnya seluruh lapisan masyarakat; ada gerombolan anak kecil yang sedang bermain sepak bola, ada kumpulan ibu-ibu yang sedang senam, dan ada juga pemuda yang sedang memancing. Saya kembali bertemu Irna, kali ini kami bersua di sebuah kedai kopi yang menghadap Jalan Soekarno-Hatta  dari depan  juga Waterfront di belakangnya. Irna yang memang menggiati pariwisata banyak bercerita mengenai pengalamannya selama di Labuan Bajo. 

Saya menanyakan Irna bagaimana pendapatnya mengenai lompatan besar pembangunan Labuan Bajo. Pembangunan besar-besaran di Labuan Bajo tentu menimbulkan efek yang bermacam-macam bagi setiap penduduknya. Salah satu efek positif dari pembangunan ini, menurut Irna, adalah ketersediaan ruang publik. Anak-anak bisa bermain dengan bebas tanpa khawatir dengan jalan raya dan orang-orang tua bisa menikmati sore hari sembari berjalan dan berolahraga ringan. 

“Fasilitas dan penyedia pariwisata lengkap, cuma sumber daya manusianya untuk menggunakan semua fasilitas yang diberikan pemerintah yang kurang.”

Masih menurut Irna, konsep wisata premium tentu juga harus mengusung sumber daya manusia yang premium. Pemerintah harus bisa mengkonsepkan sebuah program yang dibutuhkan masyarakat untuk membangun sumber daya manusia dengan konsistensi yang tinggi, agar kedepannya masyarakat lokal bisa mengikuti dinamika pariwisata yang terus berjalan maju.

“Presentasi penggunaan orang lokal dengan orang luar tuh harus lebih ditekankan orang lokalnya, supaya tidak terjadi konflik sosial kedepannya.”

Pemberdayaan masyarakat lokal adalah hal yang mutlak. Jangan sampai suatu saat orang-orang lokal malah tersingkir karena pengaruh orang luar yang begitu kuat dan kentara. Hal ini bisa saja menyebabkan kecemburuan sosial, yang bakal merembet ke segala hal.

“Kita sendiri kan pembangunannya sudah baik, tapi sumber daya manusianya tidak memenuhi standar yang ditentukan, pasti orang akan mencari sumber daya manusia yang lain, di luar Labuan Bajo.”

Terkait soal pengembangan sumber daya manusia, di Labuan Bajo sendiri baru ada satu kampus, dan itu pun statusnya masih politeknik. Belum lagi fasilitas-fasilitas pendukung untuk pendidikan yang masih jauh dari kata lengkap, seperti perpustakaan daerah yang mumpuni dan bimbingan belajar di luar sekolah. Mirisnya, tidak ada toko buku di sini. Bagaimana membangun literasi yang dalam kalau masyarakat hanya mendapat literasi yang disuguhkan oleh media sosial yang begitu dangkal?

“Sektor pendidikan masih terasa kurang, jadi hanya difokuskan pada pariwisata. Padahal pariwisata itu harus didukung dengan pendidikan. Karena kalau pendidikannya sudah oke, pariwisatanya pasti maju,” Irna menjelaskan dengan semangat apa yang menjadi perhatiannya selama tinggal di Labuan Bajo. Saya setuju dengan pendapatnya. Bukankah Undang-Undang Dasar mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali? Kalau pemenuhan amanat ini hanya sekedar pemenuhan hak dasar tanpa adanya pertimbangan kualitas, buat apa?

Di luar hingar bingar pembangunan Labuan Bajo sebagai wisata premium, Irna juga mengeluhkan ketimpangan Labuan Bajo dengan daerah sekitarnya. Banyak daerah yang masih belum dapat listrik dan sinyal yang memadai, padahal daerah sekitar itu juga menyokong Labuan Bajo sebagai kota wisata dengan pasokan hasil pertanian, hasil laut, sumber daya manusia, atraksi wisata, dan lain sebagainya.

“Bagaimana kita mau mendukung Labuan Bajo kalau daerah-daerah lain juga tidak didukung!”

“Coba kamu keluar lintas Flores, keluar tiga puluh menit [dari Labuan Bajo] sinyalnya nggak ada. Beberapa desa dan dusun juga tidak ada listrik,” keluhnya.

Dalam perubahan yang singkat, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan secara serius: Kemampuan adaptif masyarakat dan kemampuan pendidikan masyarakat. Apakah masyarakat lokal akan mendapat panggung utama ketika Labuan Bajo sudah stabil menjadi wisata “premium”? Atau justru ini adalah awal dari ketersisihan orang-orang lokal dari pusaran pariwisata Labuan Bajo? Entahlah, saya tidak berani berspekulasi lebih jauh. 

Labuan Bajo
Labuan Bajo, labuan bangsa-bangsa yang mulai berubah seiring berlabel “premium”/M. Irsyad Saputra

Motor yang saya sewa menyusuri jalanan utama yang menghubungkan Labuan Bajo-Ruteng. Panas menyeruak dari celah-celah aspal yang terbakar, membawa saya untuk menarik gas lebih kencang meniti jalan. Di sela-sela perbukitan, papan plang Dapur Tara terlihat mencolok jika dibandingkan dengan sekelilingnya yang hijau. Sesuai yang ditunjukkan oleh peta Google, saya menggasak motor untuk terus jalan hingga sempat tersesat beberapa saat sebelum akhirnya menemukan apa yang dicari.

“Selamat datang Kakak, apa yang bisa saya bantu,” sapa seorang lelaki bernama Ricardo—staf Dapur Tara—bak layanan pelanggan daring yang menyambut apa saja keluhan pelanggan. Setelah memaparkan tujuan saya, Ricardo menyuguhkan kopi sebagai sambut obrolan. “Silahkan diminum Kakak, kopi rempah.”

Saya menegak kopi, di bawah pohon yang memayungkan daunnya menutupi lahan di sekitarnya. Kami mulai terlibat pembicaraan, diselingi Ricardo yang sedang menyiapkan sajian untuk tamu yang akan datang.

“Mungkin pemerintah lebih mengutamakan Labuan Bajo hanya karena Pulau Komodonya,” ujarnya.

“Tapi ada cemburu nggak sih [terkait pembangunan]?”

“Tidak ada cemburu sih. Saya bersyukur sekali karena di daerah Ruteng ke sana tidak ada perubahan sama sekali. Soal budaya, soal adat masih mempertahankan. Hanya Labuan Bajo yang [budayanya] sudah mulai punah.”

Pernyataan Ricardo seakan meminta pembangunan besar-besaran seperti di Labuan Bajo tidak menghampiri kawasan lainnya. Mungkin saja ia melihat perubahan ini sebagai salah satu penyebab yang menguras orang Flores dari budaya asalnya. Pembangunan mewah ala Labuan Bajo juga tidak dibutuhkan oleh kawasan lainnya. Kebanyakan hanya minta sarana dan prasarana yang memadai seperti listrik, air, jalan, sinyal, sekolah, transportasi.

Setelah puas mengobrol dan melihat bagaimana Dapur Tara masih menyajikan makanan dengan cara yang tradisional dari memasak hingga menyantap, saya beranjak menuju Rumah Baku Peduli, salah satu komunitas yang berkecimpung dalam bidang pelestarian kain tenun Flores.

Senada dengan Ricardo, Thomas Bosko, salah satu pendiri Rumah Baku Peduli, setuju bahwa pengaruh budaya global yang kuat di Labuan Bajo karena masyarakat melupakan budaya sebagai unsur pariwisata selain pulau-pulau dengan hewan purba.

“Kita mau jadi diri sendiri gitu, tanpa harus ikut kemauan turis. Kita harus tunjukkan bahwa inilah Flores! Tidak harus kayak di Bali lah.”

Premium dalam kamus Thomas, bukan karena pembangunan dan infrastruktur yang jor-joran, tetapi pelepasan jati diri yang lebih natural. Orang ingin ke Flores berarti mereka harus melihat bagaimana orang Flores, bukan malah menyuguhkan gambaran-gambaran yang umum ditemui di tempat wisata lainnya. Minimal, modern dan tradisional bisa beriringan, jangan malah modern yang mengambil alih seluruhnya. Lagi pula tema wisata yang cocok dengan Flores itu adalah adventure, bukan ala-ala wisata post-modern.

“Kalau berwisata, besok berkunjung [ke tempat-tempat wisata], ya sudah wisatanya kayak gini [saja]. Tapi kita kalau gali budaya nggak ada habis-habisnya.”

Melihat komodo sekali, mungkin orang akan bosan tetapi jika sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang budaya: bagaimana masyarakat Pulau Komodo malah bisa hidup berdampingan dengan komodo—yang notabenenya adalah hewan buas—akan lebih banyak yang bisa digali.

Kabar yang berseliweran selama ini, sebagian penduduk Pulau Komodo akan direlokasi ke pulau lainnya dengan alasan konyol: pertumbuhan penduduk yang cepat akan menggeser populasi komodo yang sudah sedikit. Apakah ini hanya alasan untuk mempermudah oligarki menggarap pulau itu sebagai ladang bisnis? Kenapa mereka tidak dilibatkan kalau ini semua atas nama konservasi?

  • Kopi Flores
  • Rumah Tenun Baku Peduli
  • Rumah Tenun Baku Peduli

Pendokumentasian Labuan Bajo juga dilakukan oleh Muhammad Burhanuddin dan teman-temannya. Boe—panggilan akrabnya—yang juga berprofesi sebagai pemandu wisata, menginginkan kearsipan tentang Labuan Bajo terbangun diantara warga, sebagai kesadaran dan kebanggaan. Dirinya menginisiasi pembentukan grup Facebook Labuan Bajo Historical Society dan Warisan Flores sebagai pusat nostalgia dan juga pusat informasi bagi warga Labuan Bajo. Labuan Bajo Historical Society terinspirasi dari Minnesota Historical Society, lembaga pengarsipan diaspora di Minnesota, setelah kunjungannya ke Amerika Serikat pada 2017. Menurutnya, pendokumentasian di sana terbilang bagus untuk negara yang masih berkutat pada rasisme.

Hal inilah yang kemudian ia coba untuk tiru, meski masih dokumentasi ala kadarnya melalui media sosial. Melalui foto kuno dan narasi, ia menelisik kembali ingatan-ingatan warga tentang tumbuh kembang Labuan Bajo.

Yang terpenting, orang-orang Labuan Bajo terhubung satu sama lain dalam sebuah wadah. Koneksi inilah yang nantinya akan membawa lebih jauh ke mana arsip-arsip ini berlabuh. Menarik menyaksikan warga saling bernostalgia di laman itu sembari mengomentari tiap postingan yang muncul. Ada yang serius, ada yang bercanda, ada yang mencari kenangan, ada yang menebarkan ingatan. Semua saling melengkapi.

“Labuan Bajo itu tempat perjumpaan banyak etnis, sehingga pantas disuarakan sebagai rumah bersama dengan narasi keharmonisan. Keberagaman adalah sebagai kekuatan!” serunya berapi-api. Boe sendiri melihat bagaimana perkembangan Labuan Bajo dari kampung nelayan yang dikunjungi wisatawan berubah menjadi kota tujuan wisata utama di Indonesia. Meskipun ia lebih banyak menghabiskan waktu di tanah rantau, ingatan tentang romantisme Labuan Bajo masih melekat kuat di benaknya, hingga ia memutuskan untuk kembali bercokol di Labuan Bajo pada 2015.

Saat saya sedang mencari santap siang di sebuah warung, segerombolan bapak-bapak yang lagi bersantai tampak asik membicarakan kasus nasional. “Bagaimana ini, polisi bunuh polisi,” seorang bapak yang agak jauh dari gerombolan mengomentari, sambil melahap nasi di piring. Seorang laki-laki muda yang menyeduh kopi di sampingnya tampak tak menghiraukan obrolan tersebut, dia lebih memilih menikmati aroma kopi yang sudah diaduk dengan rata. Isu nasional, bagi orang-orang yang terpisah ribuan kilometer dari ibukota negara ini adalah salah satu cara menghangatkan mulut selain minum kopi. Orang-orang Labuan Bajo memang gemar berkumpul dan bercerita. Meskipun smartphone juga mengambil peran dalam tongkrongan, berita dari mulut kemudian dikomentari jauh lebih menarik untuk disimak.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar