Teriknya matahari sore di Kota Pahlawan tidak menghalangi keinginan para peserta untuk turut serta dalam kegiatan Walking Tour “10.000 Steps for Coral” yang diadakan pada Hari Sabtu, 17 September 2022 oleh TelusuRI dan Bersukaria Surabaya. Kapan lagi rasanya bisa menikmati momen berjalan dan bercerita, sekaligus secara tidak langsung berkontribusi untuk bumi melalui donasi penanaman terumbu karang. Iya, secara keseluruhan kegiatan ini buy one get one, dapat pengalaman beserta mendengar sepintas kisah masa lalu dari area yang dikunjungi, juga upaya meminimalisir jejak karbon dari kebiasaan berjalan kaki.
Peserta walking tour mulai bertemu di Taman Sejarah Surabaya, yang juga menjadi titik pertama kami memulai perjalanan bertajuk “Kota Eropa”. Kak Laily, sebagai pemandu di kegiatan itu menjelaskan perkembangan taman yang berubah-ubah namun masih dikelilingi bangunan-bangunan lama bergaya Belanda yang sudah ada sejak jaman penjajahan.
Dulu, taman tersebut dikenal dengan Willemsplein hingga kemudian berubah nama menjadi Taman Jayengrono, nama Bupati Pertama Karesidenan Surabaya. Keberadaannya tentu tidak lagi sama, Willemsplein memiliki area yang cukup luas namun kini tampak sangat terbatas.
“Nah, kenapa bisa jadi sempit seperti ini. Sebenarnya dulu itu daerah sini merupakan bekas gedung Pemerintah Belanda. Setelah itu karena ada beberapa masalah terutama peperangan, daerah ini jadi berubah nama dan fungsi menjadi Taman Willemsplein,” jelas Kak Laily sembari menunjukkan gambar usang sebuah gedung dengan bangunan yang cukup besar dan megah.
Tampak bangunan tinggi nan besar, yang terlihat dari Taman Sejarah, bertuliskan “Jembatan Merah Plaza”. Tempat tersebut merupakan salah satu pusat pembelian tekstil yang digemari masyarakat dan sudah ada sejak tahun 1997. Apa yang bisa diakses saat ini tentu berbeda dengan fungsinya pada zaman dahulu.
Sebelum menjadi salah satu pusat perbelanjaan, Jembatan Merah Plaza justru menjadi tempat pembayaran pajak perkapalan. Tentu saja hal ini tidak lepas dari peranan Sungai Kalimas yang ada di sisi kanannya. Sungai ini menjadikan area tersebut pada masanya sangat ramai dan berperan sebagai pelabuhan. Jadi para nelayan ikan maupun hasil laut lainnya akan membayar pajak kapal dan hasil tangkapan di gedung ini. Setelahnya, karena terkait masalah sengketa, gedung pajak tersebut dihancurkan dan dibangunlah Jembatan Merah Plaza.
Perjalanan berlanjut untuk menengok lebih dekat Jembatan Merah. Secara harfiah, orang dapat memahami penamaan tersebut karena sisi pinggiran jembatannya memang berwarna merah. Namun, siapa yang sangka di balik itu juga tersimpan cerita sejarah yang bermakna. Jembatan itu pernah membara dalam perang yang melibatkan banyak orang, menebas banyak nyawa hingga menyisakan darah. Uniknya, pondasi awal Jembatan Merah masih bisa dilihat dengan menggunakan mata telanjang, kayu jati lama yang masih kokoh sampai sekarang.
Meski demikian, jembatan ini memiliki peranan penting karena menghubungan dua daerah dengan kecenderungan identitas yang berbeda, yakni daerah Eropa yang banyak dihuni oleh warga Belanda karena merupakan pusat pemerintahan dan warga etnis Tionghoa. Jembatan juga menghubungkan daerah Rajawali ke Karesidenan Surabaya. Sayangnya bentuk asli karesidenan itu sudah tidak berbekas, kecuali benteng untuk memanah. Kami juga menandai sejarah petualangan kami hari ini, dengan mengambil foto bersama-sama.
Tak jauh di dekat lokasi tersebut, terdapat bangunan yang memiliki wujud berbeda di antara bangunan lainnya. Masyarakat menyebutnya dengan “gedung cerutu”, karena atapnya dianggap seperti berbentuk cerutu. Beberapa juga ikut menyebutnya sebagai “gedung lipstick”, karena ujungnya berbentuk seperti ujung lipstick. Dulu gedung ini cukup ramai karena berperan sebagai kantor pengurus bank-bank yang ada di sekitarnya. Mengingat di wilayah itu, kebanyakan gedungnya merupakan bekas bank, pemerintahan, dan kantor pabrik pada masa penjajahan.
Kami kembali menelusuri jalanan sampai langkah kaki kembali terhenti di hadapan sebuah gedung bernuansa merah-putih dilengkapi dengan berbagai atribut partai politik tertentu. Gedung Internatio namanya. Menurut catatan sejarah, gedung ini didesain oleh biro arsitektur AIA (Algemeen Ingineurs en Architecten, FJL Ghijsels, Hein von Essen, F. Stilitz). Di depannya, tampak sebuah plakat yang menjelaskan tentang meninggalnya Jenderal Mallaby, yang bertempat di sekitar Gedung Internatio ini. Sangat disayangkan karena gedung megah dengan arsitektur khas Eropa sekaligus saksi bisu sejarah, kini kepemilikannya masih menjadi milik negara dan justru beralih fungsi jadi salah satu basecamp partai politik yang ada di Indonesia.
“Garis trotoar ini juga diyakini sebagai bekas jalur trem,” jelas Kak Laily seraya menunjuk garis batas-batas trotoar yang ada tepat di depan Gedung Internatio.
Tak lama setelahnya, kami tiba di Gedung Telkom, tepatnya Plasa Telkom Grup dari Telkom Indonesia. Dulu, jalanan di depannya dikenal dengan Jalan Sekolah, mengingat di sekitarnya pernah terdapat sekolah pertama untuk warga Belanda. Seiring dengan pembangunan, sekolah tersebut akhirnya dirobohkan dan diganti menjadi Plasa Telkom ini.
Di sampingnya masih terdapat telepon umum yang akrab ditemui pada tahun 1990 sampai 2000-an. Peserta Walking Tour “10.000 Steps for Coral” diajak bernostalgia mengangkat gagang telepon yang cukup besar dan memencet tombol nomor secara acak. Telepon berwarna biru bisa digunakan dengan menggunakan koin, sementara yang berwarna merah harus menggunakan kartu yang menandakan anggota tertentu. Tempat ini menjadi favorit karena biayanya lebih murah dibanding tempat lainnya, karena sekali lagi berada di lokasi dekat pelabuhan; memori perjalanan ini kembali diabadikan dalam kegiatan foto bersama.
Masih banyak pula titik-titik lain yang kami kunjungi. Ada Penjara Kalisosok, yang sedari dulu diselimuti suasana mencekam mengingat tahanan dan terduga pelaku kejahatan kerap menjadi korban kekerasan. Di dalamnya berisi sel dan pintu jeruji yang sudah tidak terawat lagi dan sebagian besar justru telah ditumbuhi dengan lumut, semak belukar, serta pepohonan yang tinggi.
Ada De Javasche Bank, atau Museum Bank Indonesia yang arsitekturnya memiliki unsur khas simetris. Ada pula bangunan bekas kantor pabrik kimia yang sudah tidak lagi digunakan dan tampak rumah hunian ala Belanda dengan dua pilar di sisi depan. Kami sempat terhenti sebentar di depan Pabrik Limun & Sirup “Telasih”. Produksinya masih berlangsung sampai sekarang. Menariknya, proses pendinginan sirup selama produksi tidak menggunakan kulkas, melainkan dimasukkan dan disimpan dalam kendi besar berbahan tanah liat.
Pada puncak sekaligus penutup perjalanan, peserta walking tour disuguhkan bangunan bekas Netherlands Spaarbank (Bank Tabungan Manfaat Umum) yang kini tetap digunakan sebagai gedung MayBank. Lokasinya tepat berada di ujung jalan, dilengkapi dengan tower yang menjulang dengan jam di tengahnya. Cat yang putih tampak sangat kontras bila disandingkan dengan warna biru langit yang cerah. Hal ini juga sontak mengundang decak kagum dari para peserta. Berkali-kali terdengar gumaman, “Wah!”, “Wow”, dan “Ahh” dari kerumunan kecil ini. Walking Tour “10.000 Steps for Coral” berakhir menyenangkan dan meninggalkan beragam kesan. Tidak ada kalimat yang perlu disampaikan selain, kapan perjalanan selanjutnya akan diadakan?
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Menulis merupakan langkah untuk merendahkan hati agar tidak bengis, menyisakan kebenaran entah dengan menangis atau meringis, dan secercah wujud kepedulian yang empiris.