Waktu menunjukkan sekitar pukul 03.40 dini hari. Saya dan kawan-kawan telah sampai di parkiran wisata Gunung Papandayan. Kami berencana untuk mendaki gunung yang dikenal “ramah” untuk pendaki pemula itu. Sengaja kami berangkat dari Jakarta menggunakan mobil sewaan agar bisa langsung melesat menuju base camp tanpa harus berpindah-pindah kendaraan umum.

Hari masih sangat gelap dan dingin. Namun, daripada berdiam diri di mobil, melihat ada beberapa warung yang buka, kami langsung meninggalkan si roda empat lalu memesan mi instan rebus di sebuah warung untuk melawan rasa lapar yang menjadi-jadi karena dingin.

Kami memilih warung itu karena sang pemilik punya api unggun yang dapat menghangatkan tubuh. “Wah, hangatnya bisa berdekatan dengan api unggun,” pikir saya. Tidak lama saya berdiam diri di sebelah api unggun, terdengar suara yang bikin gembira: “Mi-nya sudah siaaap, Kang!”

Langsung saja, karena lapar dan udara yang dingin, saya bersama kawan-kawan menyantap mi rebus instan plus telur dengan lahap. “Hmm, enak kali mi instan ini. Sudah lama saya tidak makan mi instan. Rasa bumbunya tidak banyak berubah. Mi instan rebus rasa ‘ayam bawang’ ternyata tetap cocok dimakan kapan pun,” dalam hati saya berpikir.

parkiran gunung papandayan
Parkiran Gunung Papandayan/Dimas Wilatikto

Saya lihat jam telah menunjukkan pukul 05.00. Waktunya bagi saya untuk beribadah salat Subuh. Selepas beribadah, kami bersiap. Isi tas kami tata ulang. Kami pilih-pilih apa saja yang hendak dibawa, sekalian membagi-bagi logistik makanan untuk berempat. Tidak lama kami packing. Akhirnya, kami melakukan ritual sebelum memulai pendakian, yaitu briefing dan berdoa.

Selepas itu, kami pun melangkahkan kaki menuju “gerbang” selamat datang Gunung Papandayan. Betapa takjub saya melihat gerbang itu, karena sangat megah. Saya ingat, riwayat pendakian saya bermula di Gunung Papandayan ini sekitar tahun 2013 atau 2014, bersama dengan kawan kuliah dulu.

Jalanan tanah berbatu sekarang berubah menjadi jalanan aspal yang telah diberi garis-garis putih sebagai pemisah, juga penanda untuk parkir mobil. Sangat rapi, pikir saya. Kenaikan tarif Simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) yang cukup tinggi ternyata menghadirkan berbagai fasilitas baru—dan kenyamanan—di Gunung Papandayan.

Tegal Alun via Hutan Mati

Trek awal masih dibalut aspal hingga 5-10 menit perjalanan. Cukup nyaman bagi kaki yang mulai diajak mendaki. Setelah aspal tersebut, jalanan berubah menjadi tangga batu yang tersusun rapi dan dilapisi semen. Anak-anak tangga dibuat rendah sehingga tidak menyiksa. Udara sejuk yang menemani serta matahari pagi adalah pemandangan yang elok dan menyegarkan mata. Tidak salah memang kami mulai mendaki pagi-pagi pukul 06.00.

Saya dan kawan-kawan berjalan dengan sangat pelan. Sengaja memang. Selain ada kawan yang pemula, kami pun ingin berlama-lama menikmati pemandangan yang disajikan Gunung Papandayan yang punya “wajah baru” ini. Bau khas belerang menemani kami di awal pendakian, juga bukit-bukit vulkanik serta asap putih yang mengepul.

trek gunung papandayan
Tangga batu berlapis semen di Gunung Papandayan/Dimas Wilatikto

Sekitar satu jam lebih berjalan pelan, kami pun tiba di pos yang penuh warung. Segera saya menaruh tas gunung di tempat duduk depan warung lalu melihat jajanan-jajanan yang ditawarkan. “Betapa nyaman pendakian Gunung Papandayan saya kali ini,” pikir saya dalam hati. Sudah tersedia warung tempat beristirahat, ada pula spot untuk berfoto dari atas bagi yang suka berswafoto atau sekadar melihat-lihat pemandangan. Saya pun memesan teh manis hangat lalu memakan semangka yang telah tersaji. Selain teh dan semangka, pemilik warung juga menjual beberapa jenis camilan, termasuk gorengan yang cukup bervariasi.

Setelah istirahat dirasa cukup, saya pun bergegas kembali menggendong tas gunung untuk melanjutkan pendakian. Tas yang saya bawa ini adalah tas yang dibeli ketika pertama mendaki, yang semakin usang, kontras sekali dengan Gunung Papandayan yang semakin “baru.” Betapa waktu telah mengubah situasi dan kondisi.

Tujuan selanjutnya adalah Hutan Mati. Jujur saja, saya belum pernah ke tempat ini sehingga tidak bisa membedakan Hutan Mati yang dahulu dengan yang sekarang. Tapi, yang saya tahu, sekarang sudah tersedia tangga berbatu berlapis semen, rapi sekali, untuk menuju Hutan Mati. Selain itu, ada pula pembatas semen yang dibentuk menyerupai kayu, pemisah antara jalur pendakian dengan tebing curam.

Setiba di Hutan Mati, zona pandang dipenuhi hamparan tanah warna putih, pohon-pohon tanpa daun, juga lautan awan. Banyak pendaki yang mengabadikan momen dengan kamera mereka, entah membidik pemandangan atau berswafoto sendiri atau bersama kawan-kawannya. Saya juga sempat mengabadikan pemandangan beberapa kali dengan kamera ponsel.

gunung papandayan
Warung di pinggir kawah Gunung Papandayan/Dimas Wilatikto

Usai istirahat dan berfoto, perjalanan dilanjutkan menuju Tegal Alun yang terkenal dengan hamparan edelweiss luas sepanjang mata memandang. Namun sayang, ketika sampai di lokasi itu banyak tanaman yang mati dan menghitam. “Apa musim kemarau yang membuat tanaman edelweiss mati mengering seperti ini?” tanya dalam hati saya. Dari seorang petugas yang sedang memandu rombongan wisatawan, saya jadi mengerti bahwa bahwa rumpun-rumpun ini mati karena hujan es yang menerepa beberapa waktu lalu, juga suhu rendah cukup ekstrem yang membuat sebagian tanaman edelweiss di Tegal Alun mati membeku.

Hari sudah mulai siang. Sebelum beranjak dari Tegal Alun, saya dan kawan-kawan mengisi perut yang sudah lapar, memulihkan kembali tenaga yang sudah terkuras oleh perjalanan dari Hutan Mati menuju Tegal Alun. Sederhana saja menu kami. Kami tidak memasak, namun memakan camilan seperti roti, biskuit, dan lain-lain. Usai memanjakan lidah dengan makanan manis dan asin, kami segera berkemas, kemudian turun dari Tegal Alun kembali ke Hutan Mati, lalu berbelok menuju tempat kami hendak berkemah, yaitu Pondok Saladah.

Pondok Saladah, babi hutan, dan api unggun

Tiba di Pondok Saladah, saya cukup terkejut sekaligus senang. Senang karena saat merebahkan badan hampir tiba; terkejut karena melihat suasana Pondok Saladah yang sudah banyak berubah. Warung tempat makan kini berjejeran. Banyak pilihan jajanan yang ditawarkan, mulai dari gorengan, mi instan, sampai minuman aneka rasa.

Kami pun mampir ke salah satu warung. Di situ kami membeli teh dan air mineral untuk melepas dahaga setelah berjalan siang hari. Saat pertama kali ke Pondok Saladah dulu memang sudah ada beberapa warung yang berdiri—juga toilet. Namun, yang cukup membuat saya terkejut, kawasan itu tertata cukup rapi. Beberapa bangunan juga diperbaharui, seperti musala dan tempat registrasi ulang.

Selepas registrasi ulang, kami mencari lahan untuk mendirikan tenda. Kami pilih yang dekat dengan pepohonan agar tidak terlalu dingin dan terpapar hembusan angin. Dari pos registrasi, kami mendapat penanda yang bernomor untuk diletakkan dekat tenda. Oleh petugas, saya dihimbau untuk menggantungkan makanan dan sisa makanan di pohon, untuk mengantisipasi serangan babi hutan. Yak, betul: babi hutan.

Gunung Cikurai tersembunyi di balik awan/Dimas Wilatikto

Di Gunung Papandayan, babi hutan memang kerap muncul untuk mencari makanan dari remah-remah yang dihasilkan pendaki. Ini bisa terjadi karena para pendaki sering sekali membuang makanan sisa secara sembarangan. Aroma sisa-sisa makanan itulah yang memancing hewan ini untuk mendekat ke perkemahan. Sebagai upaya mencegah kunjungan babi hutan, pihak pengelola memperbolehkan pendaki untuk menyalakan api unggun di Gunung Papandayan. Cukup menarik, bukan?

Malam pun tiba. Saya dan kawan-kawan segera memasak makan malam sederhana dan mempersiapkan api unggun untuk menghangatkan malam yang lumayan dingin. Kayu bakar bisa dibeli di salah satu warung. Kalau mau sedikit repot, kita bisa pula mengumpulkan kayu-kayu kering yang berceceran di sekitar perkemahan. Sungguh suasana yang jarang saya rasakan; bisa menghangatkan diri dengan membuat api unggun. Sebab, beberapa gunung—bahkan hampir setiap gunung—punya kebijakan yang melarang pendaki membuat api unggun agar tidak terjadi kebakaran hutan.

Pagi hari yang hangat di Gunung Papandayan

Pagi pun tiba selepas tidur sepanjang malam yang tenang. (Ternyata kami aman dari serangan babi hutan.) Saya pun bergegas bangun untuk beribadah. Namun sayang sekali rencana kami untuk menanti sunrise gagal total. Penyebabnya, ya, kami bangun kesiangan. Saya sendiri bangun jam 5 lewat. Ketika saya menuju lokasi ibadah, sinar berwarna oranye sudah menampakkan diri dari arah timur sana, menunjukkan bahwa matahari segera terbit. Perlahan namun pasti suasana menjadi terang.

Usai ibadah, saya segera merebus air untuk menyeduh coklat sebagai penghangat tubuh. Kawan lainnya memasak mi instan dan menggoreng sayap ayam yang telah dibubuhi bumbu praktis untuk sarapan. Makanan-makanan yang dibikin dalam kegiatan luar-ruangan rasanya nikmat-nikmat saja walaupun sederhana, entah karena sedang lapar atau dipancing suasana yang meningkatkan selera makan.

Selesai sudah kami sarapan. Kami terus berkemas untuk turun meninggalkan Pondok Saladah dan kembali ke rumah masing-masing. Sebelum turun, tidak lupa saya mengembalikan penanda yang dipinjamkan petugas pos registrasi ulang Pondok Saladah. Saat saya pamit untuk pulang, petugas pos berkata, “Jangan kapok, ya. Ditunggu kunjungannya kembali ke Papandayan.” Laku sederhana, namun berkesan bagi saya. Hal seperti inilah yang seharusnya dipelihara oleh sesama penggiat aktivitas luar-ruangan—keakraban, kesederhaaan, saling sapa—termasuk pengelola atraksi wisata minat khusus seperti jalur pendakian gunung. Kehangatan inilah yang akan membuat rindu untuk kembali.

pos jaga BKSDA Papandayan
Pos Jaga BKSDA Papandayan/Dimas Wilatikto

Saya dan kawan-kawan berjalan pulang lewat Gober Hut. Jalur ini memang lebih jauh, namun tidak mengapa. Kami memang sengaja menjelajahi jalur-jalur yang tersedia di Papandayan. Di jalur ini kami melewati hutan dan bukit terbuka, juga berpapasan dengan pengendara motor yang lalu-lalang meninggalkan debu yang beterbangan tak keruan. Tidak salah, memang. Di sini memang ada jalur khusus motor yang biasanya digunakan untuk mengantarkan bahan-bahan makanan ke warung.

Setiba di pos, kami beristirahat kembali di warung. Saya pesan es teh yang menyegarkan. Sepotong semangka saya santap untuk sekadar mengganjal perut yang lapar. Suasana tampak sangat ramai oleh para pendaki, entah yang baru turun atau hendak naik.

Saat melanjutkan perjalanan turun, kami mendapati bahwa di bawah banyak sekali pengunjung yang hendak berwisata di sekitar kawah Gunung Papandayan. Menurut saya, ini sesuatu yang baru. Papandayan, yang selama ini identik dengan aktivitas pendakian, ternyata juga bisa “menjual” pemandangan kawahnya untuk dijadikan objek wisata bagi kalangan umum. Pengunjung tak perlu menginap atau berkemah di Pondok Saladah, cukup mampir ke areal kawah lewat jalanan yang bagus dan nyaman untuk dilewati, atau naik ojek sampai titik tertentu.

Papandayan memang (setahu saya) memiliki tarif masuk yang cukup mahal ketimbang gunung-gunung lainnya. Namun, dengan tarif (baru) yang tinggi ini, Papandayan berbenah menjadi tempat wisata yang makin ramah pengunjung. Wajah baru Papandayan tampaknya semakin diminati berbagai kalangan, tidak hanya pendaki namun juga wisatawan umum yang ingin melepas penat dari rutinitas kota.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar