Saya merasa beruntung saat datang ke Bali. Turis tidak banyak, bahkan bisa dibilang jarang. Jalanan di Bali pun tampak lebih lengang. Inilah Bali yang saya cari, tenang dan syahdu.

Ada satu tempat yang menarik perhatian saya, yakni Pura Penataran Agung Besakih di daerah Bangli. Saat tiba di sana, tak ada wisatawan domestik, semuanya manca. Tentu saja mereka didampingi para pemandu wisata.

Tiket masuk Pura Besakih 30 ribu rupiah per orang. Dengan harga itu kita mendapatkan sebuah sarung, brosur, dan layanan ojek. Masuk Pura Besakih, pengunjung harus mengenakan sarung, kecuali bila telah memakai celana panjang atau rok panjang. Boleh juga membawa sarung sendiri dan memakainya.

Fasilitas ojek disediakan karena jalanan menuju pura menanjak. Sampai di pintu masuk pura, kita akan berhadapan dengan para penjual canang dan dupa. Mereka menjualnya dengan harga 10 ribu rupiah. Kita bebas hendak membeli atau tidak.

Pemandangan dari Pura Besakih/Izzatul Mucharrom

Setelah menunjukkan tiket masuk, para pemandu akan menawarkan jasa. Kita bisa menyewa mereka untuk mendapatkan cerita sejarah mengenai Pura Besakih, atau informasi lain yang berhubungan dengan pura ini. Uang lelah mereka dapat dinegosiasi. Tetapi saya memilih untuk tidak menggunakan jasa mereka.

“Hari ini ada doa bersama di sini, Bu. Bagus kalau mau foto-foto, karena momen seperti ini jarang,” kata sang pemandu sebelum saya melanjutkan langkah.

Penasaran, saya pun bertanya, ”Doa bersama dalam rangka apa, ya, Bli?”

“Wah, kurang tau, Bu. Pokoknya, doa bersama begitulah,” jawabnya sambil tersenyum.

Saya pun mengucapkan terima kasih dan melanjutkan perjalanan ke pura. Pura Penataran Agung Besakih terletak di atas bukit. Bangunannya berdiri megah di tanah yang sangat luas. Dari bawah, kita dapat melihat tangga-tangga dan pintu pura utama yang besar.

Gerbang pura utama/Izzatul Mucharrom

Ketika saya sedang mengambil foto, dari arah pintu masuk datang rombongan berpakaian khas Bali. Perempuan dan laki-laki, lengkap dengan keben (besek) di tangan. Jumlah mereka sangat banyak, terlihat masih muda dan bersemangat.

Mereka adalah siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar kelas sembilan, datang ke Pura Besakih untuk melaksanakan tirtayatra, sembahyang bersama. Tujuannya untuk meminta kepada Sang Hyang Widhi supaya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dapat berjalan lancar. Kalau di agama Islam, seperti istighosah akbar begitulah.

Sembahyang pertama dilakukan di pura-pura kecil yang ada di samping kanan pura utama. Mereka harus sembahyang di pura sesuai dengan kasta masing-masing. Kasta yang dimaksud adalah sesuai silsilah keluarga, dibedakan sesuai garis keturunan raja atau bukan raja.

Jadi, mereka harus menemukan pura mana yang sesuai dengan kasta keluarga masing-masing. Bila telah menemukan pura yang sesuai, mereka bisa segera bersembahyang.

Yang unik dan menyita perhatian saya adalah keben yang mereka bawa. Keben kira-kira sama dengan besek di Jawa, yakni sebuah wadah dari anyaman bambu. Satu keben yang mereka bawa berisi canang, satu buah pisang, satu buah lainnya sesuai selera, jaje begine (makanan ringan), rasmen (tempat kacang saur), tipat kelanan (telur dan ketupat), beberapa makanan ringan tambahan sesuai selera, dupa, dan tirta (air suci).

Canang-canang yang dibawa siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar/Izzatul Mucharrom

Karena mereka masih SMP, canang yang mereka letakkan, selain ada bunga dan dupa, juga berisi lembar uang dua ribu rupiah, lima ribu rupiah, serta beberapa makanan ringan dengan kisaran harga 500-2.000 rupiah.

Menurut juru kunci Pura Besakih, keben harus dibawa karena merupakan salah satu aturan sembahyang. Makanan ringan yang disertakan bersama canang harus dibeli sesuai kemampuan ekonomi. Jadi tak heran bila makanan ringan yang mereka sertakan beragam, semisal Momogi, Oreo, Tango, Richeese Nabati, dan kawan-kawannya.

Setelah berdoa, mereka melakukan dana punia (bersedekah), untuk membantu pemeliharaan dan kebersihan pura. Nominalnya seikhlasnya saja, tidak ada patokan harga.

Saya diarahkan juru kunci pura untuk melihat struktur kasta raja-raja Bali. Di bagan tersebut tertulis dengan lengkap silsilah keturunan sejak raja Bali pertama hingga yang terakhir. Bagan ini disediakan di pura agar orang-orang yang mau sembahyang dapat memeriksa dan memastikan tidak salah tempat untuk sembahyang. Untuk wisatawan seperti saya tentu saja bagan itu sekadar sumber informasi.

“Jadi, di sini dibedakan. Ada bagian keturunan raja, ada keturunan ksatria, dan lain-lain, itu tidak boleh salah,” kata sang juru kunci yang kemudian melanjutkan, “kalau pura utama, ada di sana, di tengah yang paling besar itu.”

Saya bertanya, ”Sembahyang di sini berarti dua kali ya, Bli? Di sini dan di pura utama?”

Ia mengangguk, lalu melanjutkan, ”Yang namanya [Pura] Penataran Agung itu, ya, yang di tengah-tengah itu. Di sana nanti kembali lagi, berdoa kepada siapa, entah Syiwa, Indra, Krisna, atau yang lainnya.”

Setelah sembahyang di pura-pura kecil, siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar itu digiring untuk masuk ke kawasan utama pura terbesar di Bali ini. Di sana, mereka berdoa bersama para guru.

Tirtayatra di Pura Besakih/Izzatul Mucharrom

Selain pura utama dan pura-pura kecil di sampingnya, di bagian paling atas Pura Besakih terdapat Pura Gelap. Umumnya, orang-orang Hindu Bali datang ke pura ini bersama keluarga saat Purnama Kedasa (Purnama Kesepuluh) yang jatuh satu tahun sekali. Tidak bisa dipastikan Purnama Kedasa jatuh tepat pada bulan apa, umumnya, antara bulan Maret dan April.

Bila kita menaiki tangga terus ke atas, kita akan menemukan stan-stan yang menjual aneka buah tangan khas Bali dan minuman penawar dahaga. Saya berhenti di depan sebuah stan oleh-oleh, memandangi perbukitan yang seolah sambung menyambung, hijau dan sejuk di mata. Ia berpadu dengan langit yang kala itu begitu biru, awan yang bergerombol, juga angin sepoi-sepoi.

Atap-atap pura yang berbentuk runcing tertata rapi. Saya menghirup napas dalam-dalam. Ah, Bali sungguh membikin tenang. Udara yang seolah bersahabat dengan paru-paru saya, ditambah bau bunga dan dupa, rasanya membuat saya tak ingin cepat-cepat pulang.

Turun dari pura, saya duduk di gazebo. Ternyata, siswa-siswi SMP PGRI 5 Denpasar sudah meninggalkan pura. Suasana kembali lengang, hanya beberapa turis mancanegara yang tampak asyik berfoto. Tapi hanya sementara. Sebentar kemudian, datang lagi serombongan mengenakan pakaian khas Bali dan membawa keben.

Mereka siswa-siswi dari SMK Dwijendra Denpasar kelas 12 yang, seperti anak-anak SMP PGRI 5 Denpasar tadi, juga akan tirtayatra supaya dilancarkan dalam Ujian Kompetensi Keahlian (UKK) dan UNBK.

Saya menyempatkan untuk berbincang dengan beberapa siswi seusai mereka sembahyang. Momen-momen seperti ini, sembahyang atau berdoa bersama, adalah sesuatu yang mereka tunggu-tunggu. Ini menyenangkan bagi mereka. Karena sekolah mereka berada di Denpasar, mereka harus mengendarai bus untuk ke pura ini.

Mereka sedang bersemangat sekali karena sebentar lagi Nyepi. (Saya ke Bali memang berdekatan dengan Hari Raya Nyepi. Hampir di setiap banjar, warga sedang menyempurnakan ogoh-ogoh.) Menjelang Nyepi begini, anak-anak akan berbondong-bondong datang ke banjar untuk melihat pembuatan ogoh-ogoh yang akan diarak semalam sebelum Nyepi.

Saat mengobrol dengan anak-anak SMP itu, saya menyadari satu hal: para remaja Bali begitu bangga dengan adat istiadat, budaya, dan agama yang mereka miliki. Mereka, menyatu dengan segala elemen yang ada di Bali, bersama-sama sembahyang dan berdoa, dua hal yang akan terasa lebih menyenangkan bila dilakukan bersama-sama.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar