Demi mengembangkan potensi wirausaha di daerah Indonesia timur yang kaya akan potensi namun belum banyak tergali, Ngalup Collaborative Network dan Binus Malang mengadakan The East Talk, rangkaian webinar inspiratif dan informatif serta peningkatan skill set entrepreneurship bertemakan kewirausahaan di daerah Indonesia bagian timur dari tanggal 14–29 November 2022. Pada tanggal 15 November 2022, Ngalup menghadirkan dua pembicara yakni Alit Astuti, Co-founder dan COO Trinity Academia dan Rifqy Faiza Rahman, mewakili TelusuRI dan juga Indonesia Ecotourism Institute.

East Talk
The East Talk/TelusuRI

Pembicara yang pertama, Alit Astuti yang membawakan tema Enabling Digital to scale-up The Business dengan topik “Potensi, Daya Saing, dan Strategi Digitalisasi Indonesia Timur”. 

“Siapa di sini yang pernah ke NTT?” sapa Alit pada semua peserta pagi itu. 

Alit kemudian bercerita bagaimana Trinity Academia ia bangun. “Di 2019, aku melihat NTT—terutama di Kota Kupang—sebenarnya punya potensi. Anak-anak muda punya semangat namun tidak diberi kesempatan atau tidak ada tempat untuk belajar. Pada 2020, Alit dan koleganya membangun Trinity Academia dengan modal nol rupiah dan mulai menjadi inkubator bisnis dari empat orang pemuda. Sekarang, Trinity Academia sudah menjangkau lebih dari 1000 orang.

Alit yang memang berasal dari Nusa Tenggara Timur, memetakan apa saja kendala dan tantangan UMKM di NTT. Menurut hasil pengamatannya, ada lima tantangan besar yang dihadapi para pelaku usaha di NTT, diantaranya modal, promosi, legalitas/sertifikasi, digital dan technology mindset, inovasi dan kreatifitas.

Modal merupakan salah satu kendala terbesar yang ada di NTT, saat ini menurut Alit, menyarankan teman-teman peserta bisa mengembangkan model peminjaman modal untuk usaha yang ada. Berkaitan poin nomor dua yakni promosi, meskipun e-commerce sekarang sudah umum namun lagi-lagi para pelaku usaha masih terbentur dengan kreativitas dalam mempromosikan usaha yang ada. “Karena mereka hanya sekedar tahu foto lalu posting. Kalau teman-teman pengen bikin aplikasi untuk ke arah promosi, Indonesia timur bisa kalian sasar,” jelasnya.

Poin ketiga, soal legalitas, juga menjadi kendala bagi para pelaku UMKM di Indonesia timur. Pada poin keempat, digital and technology mindset, Alit juga menyarankan para peserta untuk menggojlok digitalisasi di Indonesia timur, yang menurut dia masih jauh tertinggal. Terakhir, inovasi dan kreativitas yang juga perlu dorongan lebih lanjut untuk menghasilkan keberagaman produk.

  • Alit Astuti
  • Masalah klasik di NTT

Berlanjut ke sesi kedua, ada Rifqy Faiza Rahman yang mengomandani tema yang berjudul Sustainable Tourism through Technology dengan topik “Berdaya Akal, Berdaya Digital, Responsible Technology Responsible Tourism”.

Pariwisata di Pulau Sumba, Rote, Flores, atau Pulau Timor hampir semua menghadapi masalah yang sama, meskipun secara pulau berbeda dan beberapa menghadapi masalah yang lebih spesifik. Ada beberapa kendala secara umum yang terjadi di Indonesia timur: kesenjangan digital, kondisi geografis, tumpang tindih regulasi, dan inkonsistensi.

Kesenjangan digital dapat dilihat secara langsung, bagaimana sinyal-sinyal telepon seluler belum sepenuhnya masuk ke semua daerah. Kalaupun ada, biasanya hanya perusahaan plat merah yang dapat menjangkaunya, itupun jangan dibandingkan dengan kekuatan sinyal di Jawa.

“Makanya jangan heran kalau kita naik motor ke suatu desa yang nggak ada sinyal satu bar saja, kita sangat mengandalkan insting, bikin peta manual, dan GPS (Gunakan Penduduk Setempat),” papar Rifqy. 

Secara letak geografis dan pariwisata, Indonesia timur tidak perlu diragukan keindahannya. Pegunungan dengan kelok yang curam, pantai-pantai sebening kaca, hingga lembah yang dingin dan sunyi, tapi dengan semua topografi yang indah dan rumit itu cukup menyulitkan untuk akselerasi pemerataan infrastruktur—terlebih penggenjotan pariwisata memerlukan infrastruktur yang memadai.

Masalah tumpang tindih regulasi juga turut diutarakan Rifqy sering terjadi. Agaknya ini tidak mengherankan karena aparatur negara kita seringkali terjadi di manapun di Indonesia.Rifqy memberi contoh Taman Nasional Komodo, yang statusnya daerah konservasi tapi pembangunan masif masih terjadi. Sedihnya, itu semua atas nama pariwisata. Hasil dari tumpang tindih regulasi ini adalah inkonsistensi peraturan.

Rifqy kemudian menunjukkan studi kasus mengenai pariwisata yang ada di Bali. Rifqy yang mengunjungi Bali kala pandemi sedang berlangsung melihat sendiri bagaimana pariwisata Bali collapse karena ketergantungan hidup masyarakat pada pariwisata. Bali sedang terkurung ancaman-ancaman yang menggerogoti dari dalam: masalah eksploitasi berlebihan, ancaman destination of yesterday, kesenjangan destinasi wisata antardaerah, kesenjangan kualitas SDM, juga mass tourism yang masih merajai pariwisata Bali.

  • Rifqy Faiza Rahman
  • Rifqy Faiza Rahman

Potensi digitalisasi pariwisata di Indonesia timur cukup terbuka lebar dengan pertumbuhan hal penunjang yang juga menunjukkan kemajuan. Semisal menara BTS yang sudah ada hampir 150+, titik akses internet berjumlah lebih dari 750, aplikasi Inisa (market place bidang pariwisata). “Ada harapan, ada peluang cuma mereka perlu pendekatan dan perjuangan yang lebih,” kata Rifqy. Selain memaparkan potensi pariwisata di Indonesia timur, Rifqy juga memaparkan tren wisata pasca pandemi yang meliputi customize travel, value/spirituality oriented, dan eco-friendly tourism. Untuk yang terakhir, Rifqy mengingatkan bahwa pariwisata mempunyai dua sisi. Pariwisata berkelanjutan atau ecotourism tidak akan berjalan tanpa adanya tanggung jawab sosial dan lingkungan. “Mulai dari langkah kecil. Sekecil apapun itu progress-nya jalan,” ucap Rifqy sekaligus mengakhiri presentasinya.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar