Travelog

Menyusuri Jejak Sepak Bola Surabaya

Juni adalah bulan saat klub kebanggaan arek-arek Suroboyo, Persebaya berdiri. Untuk itu, sebuah komunitas sepeda di Surabaya bernama SubCyclist berinisiatif membangkitkan memori kolektif  klub Persebaya melalui kegiatan lawatan sejarah dengan bersepeda. Supaya kegiatan semakin semarak, pengurus SubCyclist merekomendasikan peserta untuk memakai jersey bertemakan Persebaya atau kaos berwarna hijau sebagai alternatif. 

Pukul 06.30 pagi, peserta mulai berdatangan dan berkumpul di area sekitar Pasar Atum, sebuah pusat perbelanjaan yang telah berdiri sejak tahun 1972. Merasa peserta sudah cukup, pengurus SubCyclist memberikan sedikit gambaran kepada mengenai kegiatan meliputi pengarahan rute, lokasi persinggahan, hingga narasumber. Rute lawatannya sendiri yakni Jalan Bunguran–Jalan Dukuh–Jalan KH Mas Mansyur–Jalan Sultan Iskandar Muda–Jalan Sidorame–Jalan Sidotopo Lor–Jalan. Kapasari–Jalan Ngaglik–Jalan Tambaksari–Gelora 10 November.

Peserta
Peserta berhenti lampu lalu lintas Jl. Bunguran/Syahrul Anwar

Tangan telah memegang kemudi, dan siap mengayuh pedal, menandakan bahwa kegiatan telahkami mulai. Kami menyusuri ruas-ruas jalan sesuai dengan rute yang telah disepakati, di antaranya kawasan Pecinan hingga kawasan Ampel yang merupakan kawasan cagar budaya. Kedua kawasan tersebut menyimpan ilmu pengetahuan dan cerita sejarah sehingga pada 2014 lalu mendapatkan ketetapan sebagai kawasan cagar budaya. Pasca melewati kawasan Ampel, rombongan menuju Jalan Sidorame, menyusuri perkampungan dan kemudian singgah di Makam Karang Tembok. 

Persis di pintu masuk, tepatnya di sisi kanan, terdapat makam salah seorang pendiri Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) Mas Pamoedji yang berdampingan dengan makam RA. Soedjirah Pamoedji. Terdapat sebuah prasasti di area makam Mas Pamoedji yang berpayungatap semi permanen dari asbes dan berpenyangga besi dengan warna hijau. Pemilihan cat warna hijau ini berkaitan erat dengan warna yang menjadi identitas SIVB—berganti menjadi Persebaya. Di sekitaran area makam Mas Pamoedji, narasumber seorang sejarawan yang juga menjadi dosen sejarah UNESA, Rojil Nugroho Bayu Aji membagikan pengetahuannya kepada peserta mengenai sejarah pendirian SIVB. Ia juga menceritakanbiografi dari sosok Mas Pamoedji.

Mas Pamoedji lahir pada 28 Februari 1905 di Blitar, Jawa Timur. Ia seorang aktivis pergerakan nasional yang juga menjadi anggota Indonesische Studieclub (ISC), perkumpulan bentukan dari Dr. Soetomo. Pada 18 Juni 1927, Mas Pamoedji menjadi salah satu seorang yang mendirikan SIVB. 

Makam Mas Pamoedji
Makam Mas Pamoedji (Pendiri SIVB)/Syahrul Anwar

SIVB berdiri sebagai wadah perkumpulan bagi bumiputera khususnya di Surabaya untuk bermain sepak bola, saat itu sepak bola berkaitan eratdengan diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda kepada bumiputera. Sementara itu, Soeratin Sosrosoegondo seorang lulusan Sekolah Teknik Tinggi di Mecklenburg Jerman yang kembali ke tanah air pada 1928 menilai bahwa sepak bola mampu mendorong semangat nasionalisme. Oleh karenanya, ia kemudian rajin melakukan pertemuan dengan perwakilan klub-klub bumiputera untuk menginisiasi terbentuknya sebuah organisasi induk sepak bola yang mampu mengakomodir sekaligus mengorganisir kepentingan klub-klub bumiputera. Hasilnya pada 19 April 1930, perwakilan dari Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (BIVB), Persatuan Sepakbola Mataram (PSM), Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB), Madioensche Voetbal Bond (MVB), Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM) mengadakan pertemuan di Yogyakarta dan menyepakati terbentuknya Persatuan Sepak Raga Seloeroeh Indonesia (PSSI) yang kini bernama Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.

Dari pemakaman Karang Tembok, rombongan kembali melanjutkan perjalanan dengan menyusuri Jalan Sidotopo Lor, melewati Jalan Kapasari, menerobos viaduct di Jalan Ngaglik, melalui Jalan Tambaksari dan berakhir dengan singgah di area Stadion Gelora 10 November, tepatnya di halaman luar dari pagar Mess Karanggayam. 

makam Mas Pamoedji
Peserta menengok ke makam Mas Pamoedji/Syahrul Anwar

Gelora 10 November menjadi pemberhentian terakhir sekaligus menjadi pelengkap kisah dari sejarah Persebaya yang menjadi kebanggaan arek-arek Suroboyo. Selain menjadi saksi dari laga-laga yang diselenggarakan di dalam stadion, Gelora 10 November juga menyimpan memori tersendiri dari pemain hingga para penggemar sepak bola.

Pada mulanya, Stadion Gelora 10 November hanya sebuah lapangan terbuka. Dulu bernama Lapangan Tambaksari. Lapangan ini menjadi markas bagi klub Soerabaiasche Voetbal Bond (SVB), sebuah perkumpulan sepak bola yang sebagian besar beranggotakan orang-orang Belanda. Di lokasi yang sama, pada 1932 terdapat peristiwa aksi boikot yang dipicu oleh diskriminasi yang dilakukan oleh Belanda kepada bumiputera, sehingga menyebabkan kerugian dari pihak penyelenggara pertandingan. 

Saat revolusi nasional berlangsung, Lapangan Tambaksari sempat menjadi tempat berkumpulnya massa untuk melakukan rapat raksasa. Selang beberapa tahun setelahnya, Lapangan Tambaksari menjadi markas klub Persebaya dan mengalami beberapa renovasi dengan ditambahkannya tribun sehingga merubah nama dari Lapangan Tambaksari menjadi Stadion Tambaksari. Menjelang pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 1969, Stadion Tambaksari kembali mengalami renovasi dan berganti nama lagi menjadi Stadion Gelora 10 November. Penggantian nama ini bertujuan untuk mengingat peristiwa heroik yang terjadi di Surabaya. 

Tercatat, di stadion ini pernah menjadi tempat diselenggarakannya laga persahabatan dengan klub-klub Eropa seperti Arsenal, AC Milan, hingga PSV. Menimbang dari pentingnya nilai sejarah yang ada, saat ini Stadion Gelora 10 November berstatus sebagai bangunan cagar budaya yang tertuang melalui SK Walikota tahun 1996.

Ada kisah yang menarik dari setiap tempat, ada cerita yang unik dari setiap pengalaman yang telah dilalui tiap orang, sehingga menurut seorang filsuf romawi, Cicero berkata bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Dengan demikian selalu ada pelajaran yang dapat dipetik dari setiap perjalanan kehidupan manusia. Perjalanan itu berakhir di Mess Karanggayam dan kemudian penyelenggara kegiatan mempersilahkan peserta untuk membubarkan diri.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Syahrul Anwar, alumni Ilmu Sejarah Universitas Airlangga. Hobi membaca buku, menulis, dan mendengarkan musik. Traveling dan storyteller.

Syahrul Anwar, alumni Ilmu Sejarah Universitas Airlangga. Hobi membaca buku, menulis, dan mendengarkan musik. Traveling dan storyteller.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Yogyakarta: dari Tebing Breksi, hingga Malioboro