“Arem-arem, Mas? Lumpia?” Seorang perempuan usia empat puluhan menawarkan dagangannya pada saya. Saya sedang merokok dekat bukaan di pagar selatan Stasiun Tugu, stasiun kereta api terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Secara halus saya tolak tawarannya yang menggoda. Saya memang belum lapar meskipun urung sarapan pagi. Lagipula, habis ini saya dan Nyonya berencana makan di salah satu warung favorit saya, Soto Ngadiran.
“Ruang tunggu itu baru ya, Bu?” Dengan jempol saya menunjuk ke ruang tunggu luas di samping mini market sana. Dulu, seingat saya, itu adalah deretan kantor kargo yang selalu dipenuhi sepeda motor yang hendak dikirim ke stasiun-stasiun lain di penjuru Jawa. Sekarang isinya bangku-bangku besi, unit-unit komputer plus mesin cetak tiket, menara stop kontak pengisi daya ponsel, dan coworking space mini dengan interior bergaya industrial.
Mata perempuan itu mengikuti arah jempol saya, lalu menjawab, “Iya, Mas.”
Sebenarnya saya mau bertanya lebih lanjut, misalnya soal kapan modifikasi pojok bangunan stasiun tua itu selesai. Tapi ia keburu menggeser posisi, kembali ke beberapa langkah di sebelah kanan saya, di samping sebuah bangku kayu panjang tempat beberapa orang duduk entah dalam rangka apa.
“Tadi ada pak satpam,” ujar perempuan itu. Ternyata tadi ia sedang ndelik agar tak diusir petugas keamanan dari kawasan stasiun. Parkiran stasiun ini, sepertinya, sekarang mesti steril dari para founder startup kecil-kecilan seperti pedagang asongan.
Perjumpaan pertama dengan Stasiun Tugu
Matahari pagi musim kemarau makin terik di sekitar Jalan Pasar Kembang. Setelah mengantungi puntung rokok, saya berjalan mencari tempat duduk di depan kantor reservasi. Bangku tak ada, sementara plakat-plakat “dilarang duduk” tertempel manis di anak tangga berubin mengilap. Akhirnya saya duduk di undakan antara anak tangga dan parkiran.
Sambil menunggu Nyonya mengurus pembatalan tiket kereta, saya buka paperback “Hard-Boiled Wonderland and the End of the World” yang sudah menunggu untuk dibaca sejak akhir tahun kemarin. Murakami sialan. Sedang seru membaca bab pertama, saya malah digulung nostalgia: nostalgia perjumpaan-perjumpaan awal dengan Stasiun Tugu Yogyakarta sekitar tiga belas tahun silam.
Perjumpaan pertama saya dengan Stasiun Tugu tak sampai lima menit. Ceritanya, saya dan beberapa orang kawan yang baru dua hari di Jogja nekat ke Malioboro hanya dengan panduan penunjuk jalan. Ponsel pintar layar sentuh dan aplikasi GPS, bagi kami kala itu, masih sebatas dongeng fiksi ilmiah.
Sekitar satu jam jalan kaki dari sebuah penginapan murah (Rp25.000/kamar/malam) di depan gedung registrasi UGM, merasa belum menemukan tanda-tanda keberadaan Jalan Malioboro, kami melambaikan tangan ke kamera. Daripada jalan, lebih baik mencegat bis Kopata saja. Posisi kami waktu itu di seberang gerbang utama Stasiun Tugu, depan Kedaung Table Top Plaza, eks Hotel Toegoe—yang padahal tinggal selemparan batu dari ujung utara Jalan Malioboro.
Waktu itu Kopata masih jaya. Lima sampai sepuluh menit sekali, armada bis kota legendaris itu lewat dengan leluasa di jalanan kecil Yogyakarta. Kami lambaikan tangan dan bis Jalur 4 berhenti.
“Malioboro, Pak?”
Sang kernet tampak bingung, tapi mengiyakan dan segera menyuruh kami naik. Bis itu berlalu dari depan Stasiun Tugu, meluncur ke timur, turun ke viaduk samping Kali Code, lalu memutar naik ke barat menuju ujung Jalan Malioboro di mana kami diturunkan.
Di seberang plang Jalan Malioboro, kami terbahak-bahak.
Keberangkatan pertama
Urusan sebagai mahasiswa-baru akhirnya rampung. Karena perkuliahan baru dimulai beberapa bulan kemudian, kami kembali dulu ke pulau seberang. Tapi, jika saat berangkat total naik pesawat, saat kembali kami estafet; menumpang kereta dulu ke Jakarta baru naik pesawat.
Reputasi kereta kelas ekonomi waktu itu masih belum sebaik sekarang. Tak mau mengambil risiko ketinggalan pesawat karena kereta terlambat, kami naik eksekutif, yakni KA Taksaka Malam. Berangkatnya tentu saja dari Stasiun Tugu.
Penerangan dramatis membuat fasad stasiun yang mulai beroperasi tahun 1887 itu tampak megah sekali itu malam. Sambil menenteng tas yang isinya tak seberapa, kami masuk ke lobi bergaya Neo Klasik yang sudah bertahan lebih dari satu abad, menunjukkan tiket pada petugas, lalu menuju peron di mana KA Taksaka sudah menderu bak banteng yang tak sabar lagi menyerbu kain merah yang dilambai-lambaikan matador.
Saya masih ingat sekali, kami duduk di sebelah kanan, sisi utara. Saya tak mungkin melupakan momen itu, sebab itulah kali pertama saya melihat sepasang kekasih berciuman bibir di depan publik. Bagi seorang anak ingusan yang baru menerima surat tanda kelulusan, itu adegan spektakuler, a story to tell. Setiba di Stasiun Gambir keesokan harinya, adegan itu masih terus kami perbincangkan.
Di depan lembaran “Hard Boiled-Wonderland and the End of the World,” saya tersenyum-senyum mengingat momen itu.
Lalu, pundak saya disentuh Nyonya. Urusan pengembalian tiket selesai sudah. Saya taruh novel Murakami di saku jaket lalu, lewat ruang tunggu, coworking space, dan koridor untuk pejalan kaki, kami berjalan menggores vinil kenangan ke parkiran sepeda motor.
Kalau disimpan dalam hardisk komputer, entah berapa geopbyte ruang memori yang dibutuhkan untuk menyimpan kenangan yang tertoreh di Stasiun Tugu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Pembaca realisme magis dan catatan perjalanan.