Memandangi dan menikmati kemolekan Cikasur ternyata tidak cukup hanya dengan dua mata saja. Kita perlu satu aspek lagi: hati.
Teks dan foto oleh Rifqy Faiza Rahman
❌Err 02
Card cannot be accessed.
Reinsert/change card or format card with camera.
Deg!
Informasi yang tercetak putih dengan latar hitam di layar kamera DSLR Canon itu adalah yang pertama kali terbaca saat saya menghidupkan kamera. Langkah saya sontak berhenti.
Saya coba restart kamera. Info memilukan itu masih terpampang jelas. Saya memencet-mencet shutter, tetapi tidak berfungsi. Coba cek galeri, kosong. Sekali lagi saya matikan dan hidupkan kembali kamera pinjaman kawan Purwokerto ini, tetap nihil.
Selama sepersekian detik saya mencoba mencerna peristiwa ganjil tersebut. Pertanyaan-pertanyaan retorik bergentayangan di kepala. Apakah kartu memori atau kameranya yang error? Kalau kartu memori yang corrupt alias rusak, berarti foto-foto pendakian sejak hari pertama, ah, bahkan sejak berangkat dari rumah hilang? Sungguh-sungguh lenyap tak berbekas? Apakah saya harus mengulang pendakian lagi dalam waktu dekat demi memotret kembali foto-foto yang mendadak moksa tanpa pariwara?
Bagaimana dengan foto-foto perjalanan di kereta, suguhan kopi Argopuro, suasana basecamp Baderan, maupun dokumentasi pendakian dari Mata Air 1 sampai Cikasur? Bagaimana nasib foto-foto milky way semalam?
Sebelum menemukan jawabannya, saya memutuskan segera mencopot memory card 32 GB itu dengan kartu 16 GB yang saya simpan di tas. Begitu kamera menyala, shutter dan kartu memori baru berfungsi dengan baik. Ketika saya tukar kembali, kenyataan pahit itu tetap sama. Berarti, ada problem serius pada si kartu 32 GB. Entah apa sebabnya. Saya tak mungkin mencari penjelasan di area tanpa sinyal ini. Saya harus akui, sempat timbul wacana menuduh hal-hal mistis sebagai penyebabnya.
Lidah saya kelu. Keringat dingin mulai mengucur. Punggung Pak Yik dan Evelyne yang sudah berjalan lebih dulu di depan, kian menghilang dari pandangan. Kami memang hendak mengeksplorasi Cikasur, dimulai dengan menyeberangi Sungai Qolbu lalu menuju bekas bangunan terbengkalai di utara sungai. Pak Yik juga berniat mengajak kami melihat air terjun kecil yang berhulu di Sungai Qolbu.
Tubuh saya lemas, mood pun anjlok drastis. Saya nyaris ogah-ogahan menyusul mereka. Padahal waktu di arloji masih menunjukkan pukul 09.30 WIB, matahari bersinar terik, tetapi rasanya pagi itu gelap dan sendu. Bahkan saya mulanya tidak bisa menerima insiden ini. Saya sempat berada pada titik di mana sindrom penyangkalan kenyataan menguasai jalan pikiran saya.
Namun, entah dorongan dari mana, saya berusaha pelan-pelan menata kembali pikiran. Perjalanan kami masih jauh dari kata pulang. Masih ada momen-momen di depan yang perlu diabadikan.
Maka, hal paling logis yang saya lakukan pertama kali adalah: mengumumkan “kecelakaan” teknis yang saya alami kepada Pak Yik, Lukas, dan Evelyne. Meminta permakluman mereka.
“Loh, foto-fotoku hilang juga dong? Wah, eman (sayang) banget,” tanya Lukas setengah meledek.
Evelyne iba. Katanya, kalau saja saya memintanya mem-back up dokumentasi sejak awal, dia akan bantu memotret sebanyak-banyaknya dari kamera ponsel pintarnya.
Sementara tanggapan Pak Yik singkat. “Ya, sudah. Minggu depan balik lagi ke sini.”
Satu kesempatan lagi
Segera saya amankan kartu memori 32 GB yang seharusnya berkemampuan cepat dalam membaca file 90 MB/s itu—sesuai label “Extreme” yang melekat padanya. Saat itu, kata “file recovery” sempat terlintas di benak saya. Mungkin inilah jalan terbaik dan satu-satunya yang harus saya lakukan setibanya di rumah nanti.
Akhirnya saya memilih melewatkan waktu siang dengan tidur. Tubuh dan pikiran harus beristirahat dari prasangka-prasangka tak berguna. Walaupun, ini jujur, saya sempat mencoba memasukkan lagi kartu pesakitan itu ke kamera untuk kesekian kalinya. Dan, ya, jelas saja belum ada mukjizat yang menjemput harapan saya.
Sore sampai malam di Cikasur berjalan seperti biasa. Hal-hal yang berbeda di antaranya ritme nada pekikan merak, alur kabut, dan tempat camp tidak seramai sebelumnya. Rombongan yang lain telah mendahului ke Cisentor maupun Rawa Embik. Hari itu hanya ada satu grup mahasiswa pencinta alam dari Ponorogo yang sedang melakukan tugas pemetaan. Mereka mendirikan tenda di satu lahan yang sama dengan kami, di bawah “kiblat” trembesi tunggal tersebut.
Bakda Isya, saya pamit untuk menyempatkan tidur barang sejenak. Saya berencana memotret milky way di langit Cikasur untuk kali kedua. Saya menitip pesan khusus ke Pak Yik, “Pak, nanti malam minta tolong temani saya motret bintang lagi, ya.”.
“Loh, foto lagi? Yang kemarin jadi beneran kehapus?” Kami terbahak. Saya paham lelaki blasteran Arab-Madura itu menggoda saya.
Oke, ini memang tentang mengulang momen merekam milky way seperti kemarin. Tapi, terus terang saya benar-benar butuh didampingi. Meski tidak berpikir aneh-aneh, berdiri di atas sepetak rumput basah yang agak jauh dari camp tetap saja merinding rasanya. Sekeliling gulita. Siluet pohon-pohon cemara seolah memasang mata. Saya khawatir tiba-tiba diseruduk babi hutan dari belakang.
Berdasarkan aplikasi, bentang milky way mulai terlihat jelas dan optimal untuk dipotret mulai pukul 22.00. Lukas dan Evelyne memutuskan tak ikut bergabung karena waktunya terlalu larut. Hari panjang yang dimulai esok dan setelahnya masih harus kami lalui sampai tiba di peradaban perkampungan Bermi di hari ketujuh—sesuai rencana awal.
Per malam itu, dengan sisa dua kartu memori 16 GB dan satu kartu 8 GB, saya mencoba memaksimalkan lagi waktu yang diberikan. Saya percaya kesempatan kedua itu ada.
Pesan kedua dari Cikasur
Argopuro adalah cita-cita saya sejak lama. Sejak kuliah hingga bekerja, tiada satu pun yang sanggup menyambut ajakan untuk memutus hubungan sejenak dengan rutinitas selama seminggu di hutan Hyang. Sampai kesempatan terbaik itu datang ketika mendapatkan rekan seperjalanan yang tepat. Memang sudah jalannya demikian. Penantian selama sewindu lebih pun bersambut.
Dan Cikasur, atau Sikasur, jadi salah satu tempat impian yang harus saya kunjungi. Setiap jengkalnya tampak seperti larik-larik sajak. Ia bisa berarti apa pun. Memberi makna apa pun. Hanya dengan duduk di atas rerumputan saja, memandang gugus-gugus cemara gunung, seseorang akan menemukan satu momen di mana ia mendapat hikmah. Untuk alasan inilah saya memberi jatah dua malam di Cikasur dalam pendakian kali ini.
Tentu saja kehilangan ratusan foto merupakan kejadian spontan yang tidak ada dalam daftar rencana perjalanan. Penyesalan dan bimbang merasuki separuh jiwa saya. Mau pulang ke Baderan sudah kejauhan, mau lanjut ke arah Bermi masih terlalu jauh.
Namun, pada akhirnya saya menyadari, perjalanan di gunung semestinya memberikan kedewasaan. Labirin-labirin kecil dalam kepala mengarahkan saya untuk berusaha tetap arif dan melepas keraguan. Urusan fisik dan mental bersifat teramat krusial, sehingga harus dijaga fokusnya selama pendakian. Saya berusaha menenangkan diri, menepuk-nepuk dada dan berkata, “Oke, aku tidak apa-apa.”
Cikasur telah mengajarkan pitutur berikutnya. Sesuatu yang saya syukuri. Pencapaian kebahagiaan saya tidak sekadar berdiri di puncak tertinggi, tetapi juga bersama-sama mampu menuntaskan misi perjalanan dengan selamat. Fragmen-fragmen memori yang—nantinya diharapkan—pulih dari dalam selembar kartu memori 32 GB itu bonus. Hadiah yang tidak terlalu saya kejar.
Dua malam di Cikasur memberi pelajaran banyak. Bahkan sehelai rumput sekalipun. Sabana taman bermain Ledeboer bersaudara dan keluarganya pada masanya ini, bagaimanapun, merupakan saksi penting sejarah dunia. Penyangga perubahan bentang bumi dan peradaban manusia dari era megalitikum, prasejarah, kolonial, sampai masa sekarang.
Disadari atau tidak, diterima maupun disangkal, pengalaman aneh sekaligus lucu yang kami alami telah menjadi bagian dari lini masa kisah Cikasur itu sendiri.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.