Travelog

‘Tektok’ Gunung Lawu via Cemoro Sewu

Tetiba sebuah ide gila terlintas begitu saja. “Ayo malam ini juga kita menuju Lawu,” ujar saya pada Rafid, seorang teman asal Solok, Sumatera Barat. Mengandalkan kontak komunikasi seorang kawan yang berdomisili di Karanganyar. Tepat pukul 01.30 WIB dini hari kami memacu sepeda motor pinjaman berplat AB dari Jogja.

Saya sebut ini nekat, tapi tak nekat-nekat amat. Sebab disamping itu kami masih melandasi perjalanan ini dengan pengetahuan dan mental. Perpaduan inilah yang kami jadikan acuan secara lahir dan batin untuk tancap gas—dan bukan contoh yang baik tentunya. 

Kami tiba di Karanganyar tepat pukul 03.35 WIB. Lalu merehatkan badan di rumah Bang Jun, teman yang menyambut hangat. Di ruang rumah Bang Jun saya tercenung, agaknya perjalanan kali ini serba lugas, kilat, dan cepat. Tak ayal, prinsip Rafid yang unik, yang mengamalkan “ilmu koncek” membuat saya terbawa alur yang serba cepat pula.

Bahkan sampai tidur pun kami hanya dapat tiga jam. Satu jam persiapan kami gunakan untuk sarapan soto—semangkok Rp5.000 plus gorengan—yang ditraktir Bang Jun. Kemudian tancap gas menuju basecamp Cemoro Sewu yang terletak di Sarangan, Kab. Magetan, Jawa Timur yang menurut Google Maps berjarak 37 km dari titik lokasi terkini. 

Dari pukul 09.15 WIB mengawali perjalanan. Berikutnya kami tiba pukul 11.00 WIB di Basecamp Cemoro Sewu. Dan memulai pendakian pukul 11.15 WIB setelah mengurus administratif pendakian seperti mengisi nama, kontak pribadi, darurat, tanggal naik-turun, dan membayar retribusi Rp25.000/orang.

  • Puncak Gunung Lawu
  • Puncak Gunung Lawu
  • Puncak Gunung Lawu
  • Puncak Gunung Lawu

Adapun alasan kami memilih jalur Cemoro Sewu sebab jalurnya terbilang santai dan singkat dengan jarak 7 km menuju puncak dari titik start pendakian di ketinggian 1902 mdpl. Jalur Cemoro Sewu pun telah banyak yang mengulas dan rekomendasi bagi yang hendak tektokan

Entah asing atau tidak bagi sebagian orang menyoal tektokan. Tektokan biasanya dipilih oleh sebab pertimbangan waktu dan kondisi. Sementara kami, lebih mempertimbangkan waktu yang terbatas dan kondisi yang tak memungkinkan lantaran satu lain hal. 

Lewat Cemoro Sewu

Dibandingkan dua jalur lain yakni Candi Cetho dan Cemoro Kandang, kami memilih Cemoro Sewu karena unggul dari jarak dan waktu tempuh. Meskipun jalur Cemoro Sewu didominasi oleh batuan yang tersusun sedemikian rupa, dan membuat ketidaknyamanan bagi sebagian orang. Tapi jarak 7 km dan sudah berada pada  ketinggian 1902 mdpl membuat kami termotivasi. Menurut kalkulasi perjalan kami, dari basecamp menuju pos satu memakan waktu setengah jam lebih. Jalannya berbatu, dan melewati hutan cemara yang terbuka. Dari Pos I hingga Pos II memakan waktu tempuh satu jam. Jalurnya sudah mulai tertutup oleh rimbun pepohonan.

Di sana kami mulai bertemu banyak pendaki, ada rombongan dari Ngawi, Kudus, bahkan Tangerang. Di Pos II kami rehat salat Zuhur. Lalu pukul 13.05 WIB melanjutkan ke Pos III dengan waktu tempuh sekiyar setengah jam. Sepanjang jalur, saya menjadi heran, mengapa jalur ini didominasi oleh bebatuan? Apakah bebatuan yang membentuk jalur ini alamiah atau manusia yang membuatnya?

Puncak Gunung Lawu
Rafid/Raja Syeh Anugrah

Di sela perjalanan, saya banyak pula mengamati tumbuhan mahkota gunung yakni edelweiss yang tumbuh subur. Bentukan pohon cemara yang estetik. Bebatuan yang menghadap langsung ke arah puncak Lawu dan panorama rerimbun hutan penuh misteri. Beberapa saya temukan pula plang larangan vandalisme dan coretan vandalisme itu sendiri.

Setiba di Pos IV, trek mulai terjal. Saya menemukan bekas longsoran menganga akibat dari erosi. Agaknya pendaki mesti hati-hati dan tetap perhatikan pijakan. Tapi menurut saya Pos IV memiliki spot yang cukup menarik untuk merenung sejenak menyaksikan panorama Tawangmangu dari ketinggian. Setelah kami menuju Pos V, sedikit melewati padang sabana, barulah tiba di Pos Sendang Drajat—tempat sumur Lawu berada.

Sendang Drajat menjadi penanda, artinya puncak sudah dekat. Terus ke depan kami berhadapan dengan persimpangan jalan; kanan ke Hargo Dalem tembus ke Warung Mbok Yem dan kiri menuju puncak Gunung Lawu, Hargo Dumilah. Dari sana kami cukup menempuh 15 menit waktu normal. 

Tepat di ketinggian 3265 mdpl saya dan Rafid tiba di Hargo Dumilah pada pukul 15.15 WIB. Kurang lebihnya perjalanan naik sekitar empat jam saja. Di atas sana saya melihat semacam dupa pembakaran, cangkang telur, dan puntung rokok sebagai bentuk simbol kepercayaan lokal.

Puncak Gunung Lawu
Pemandangan mendekati Pos 4/Raja Syeh Anugrah

Melihat Lawu

Sejak banyaknya peristiwa pilu kebakaran hutan di tahun 2015 yang menimpa Gunung Lawu. Hilangnya seorang pendaki di akhir tahun 2018 yang masih menjadi tanda tanya besar keberadaannya. Hingga misteri-misteri lainnya yang dikisahkan sebagai tempat moksanya raja-raja Majapahit seperti  Brawijaya V.

Sematan Gunung Lawu yang dianggap sebagai gunung mistis Indonesia sebenarnya membuat saya agak bergidik ketika hendak menjamahnya kala itu. Meski ketakutan itu lumrah, bagi kami berpikir rasional pun menjadi hal lumrah lainnya sebagai tameng persiapan dalam menstabilkan pikiran agar tetap sehat.

Sekilas bertanya ke penjaga loket bahwa tak masalah jika hendak tektok, akan aman-aman saja dan tak usah khawatir. Beliau memberitahukan di jalur pendakian ada beberapa pos dengan mata air dan warung warga. Satu pesan lainnya “Jangan sampai turun malam, ya, Mas. Usahakan sore sudah kembali ke bawah.” Tapi melihat kondisi saat itu, dengan waktu start pendakian pukul 11.15 WIB saya berpikir ulang apakah bisa?

Sepanjang jalur pendakian saya mengisi waktu untuk mengamati beberapa ritus atau pos yang digunakan sebagian orang menaruh dupa. Terlihat pula burung jalak gunung yang konon jika pendaki memiliki niat baik, tulus dan bersih ia akan dikawal hingga ke puncak, bahkan turun kembali ke bawah. 

Pengamatan lainnya saya menyoroti karakteristik bebatuan Lawu yang menambah penasaran sekaligus kekaguman. Dalam sejarahnya, Gunung Lawu termasuk gunung api atau tipe vulkano yang “istirahat” dengan letusan terakhirnya pada tahun 1885. Serta tempat moksanya (menyepi dari dunia) seperti Kyai Jalak dan Sunan Lawu. Juga legenda Raja Brawijaya V dan Sabdopalon.

Di beberapa titik saya melihat Sumur Jolo Tundo yang ditandai oleh plang “pendaki dilarang masuk” juga Sumur Sendang Drajat yang ditandai plang “buka sendal” jika hendak mengambil air atau wudu di sana. Ketika melintasi sabana di Lawu saya melihat adanya semacam goa. Tapi dari sekian tampakan itu, saya juga salut dengan keberadaan Warung Mbok Yem sebagai warung tertinggi di Indonesia.

Namun sayangnya saya dan Rafid tidak sempat singgah di sana karena mempertimbangkan waktu, dan terngiang nasihat untuk tidak turun pada malam hari. Tapi tetap saja kami mendapati malam hari ketika tiba di Pos II menuju Pos I dan basecamp. Dari sanalah kami mulai mengeluarkan senter dan berjalan hati-hati.

Di perjalanan turun entah kami tersugesti atau sedikit kelelahan. Ketika tiba-tiba terdengar suara dehem yang ketika saya telusuri ke arah depan dan ke samping tak ada apa-apa. Sontak kami beristighfar dalam kondisi mencekam. Tapi ternyata di belakang kami memang ada warga lokal yang mendadak nyalakan senter kepala sambil membawa kayu dari hutan.

Kami pikir apa dan siapa atau ada apa-apanya. Syukurlah bukan apa-apa. Kami sangat senang dan bersyukur sekali sehari di Lawu melalui via Cemoro Sewu dengan jalur berbatu, dapat kami lalui kembali dengan selamat dan dalam keadaan sehat wal afiat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.

Biasa disapa Raja, kini ia berdomisili di Jogja sebagai mahasiswa. Kadang suka jalan-jalan, kadang menulis cerita perjalanan. Di sela-sela kesibukan, Raja menekuni dunia kepenulisan di ruang kreatif Jejak Imaji dan tengah mengembangkan Komunitas Kolam Baca di kampung halaman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Harmonisasi Kehidupan Kampung Thintir Majapahit