IntervalPilihan Editor

Target 6.000 Desa Wisata dan Anugerah Desa Wisata Indonesia: Apresiasi atau Eksploitasi?

Dilansir melalui beberapa laman berita digital, seperti Antara News, RRI, dan Kompas, di tahun 2024 ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menargetkan jumlah total desa wisata di Indonesia tembus 6.000. Target tersebut dinilai bertujuan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas kepariwisataan, dan membuka berbagai lapangan pekerjaan. Kemenparekraf sendiri menyebutkan jumlah desa wisata dalam dua tahun terakhir mencapai 3.419 desa (2022) dan 4.573 (2023).

Di samping itu, target desa wisata dibarengi dengan dibentuknya kegiatan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI). Kegiatan tersebut merupakan program apresiasi kepada desa wisata terbaik. Berdasarkan informasi di situs web resmi ADWI, program apresiasi desa wisata ini mengklasifikasikan desa wisata menjadi desa wisata rintisan, desa wisata berkembang, desa wisata, dan desa wisata mandiri.

Program apresiasi tidak terlepas dari kategori penilaian. Dalam ADWI, terdapat lima kategori penilaian: 1) daya tarik, yaitu bagaimana suatu desa memiliki keunikan, keautentikan, dan kreativitas daya tarik desa; 2) amenitas, yakni pemenuhan standar CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental sustainability) dalam sarana dan prasarana; 3) digital, sebagai pelayanan infrastruktur dan menciptakan konten kreasi promosi melalui media digital; 4) kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM), yaitu cakupan peningkatan lapangan kerja, dampak ekonomi, dan pelibatan SDM; dan 5) resiliensi, pengelolaan desa yang berkelanjutan dengan memerhatikan isu lingkungan dan manajemen risiko.

Selain itu, terdapat berbagai persyaratan untuk menunjang suatu desa wisata dapat terlibat dalam ADWI. Syarat-syaratnya meliputi: 1) peserta wajib menjadi bagian dari keanggotaan di Jejaring Desa Wisata (JADESTA); 2) peserta wajib melampirkan surat keputusan bupati (SK desa wisata); dan 3) peserta wajib melengkapi semua informasi potensi, atraksi, paket, fasilitas.

Secara tidak langsung, program ADWI mendorong berbagai desa agar berlomba untuk terlibat bahkan menjadi pemenang dalam nominasi ADWI. Untuk menjadi pemenang, suatu desa haruslah beralih bentuk menjadi desa wisata yang unik untuk menarik wisatawan. Di sisi lain, menjadi sebuah desa wisata tidaklah mudah. Banyak hal yang dilibatkan dan dipikirkan karena terkait pengelolaan, keberlanjutan, dan dampak terhadap masyarakat itu sendiri.

Akhirnya, timbul pertanyaan, apakah target pencapaian 6.000 desa wisata oleh Kemenparekraf di tahun 2024 ini relevan dengan dampak terhadap lapangan? 

Target 6.000 Desa Wisata dan Anugerah Desa Wisata Indonesia: Apresiasi atau Eksploitasi?
Penelitian lapangan penulis di desa wisata Segajih, Kulon Progo, Yogyakarta/Anindya Laksmi Larasati

Angka Sebagai Penentu Kebijakan

Kenaikan desa wisata menunjukkan “angka yang berbicara” agar menjadi sebuah kebijakan atau keputusan. Selain itu, angka merepresentasikan dari adanya rezim nilai yang membentuk kebijakan publik. Sebagaimana Lachlan dkk (2015) dalam Making Culture Count: The Politics Of Cultural Measurement yang menyatakan bahwa perdebatan nilai selalu ada dalam ranah kebijakan.

Nilai diposisikan sebagai hal yang terlihat dan diperhitungkan, sehingga menjadi landasan dalam pengambilan keputusan yang lebih luas. Dengan kata lain, target pencapaian Kemenparekraf seyogianya dibarengi dengan pemahaman proses dan dampak kebijakan tersebut terhadap masyarakat.

Dalam kebijakan publik, angka memberikan bahasa yang umum dan konsisten untuk mengkomunikasikan keputusan, mengurangi ketidakpastian, mengkoordinasikan tindakan, dan menyelesaikan perselisihan (Innes 1990; Porter 1996; Rose 1999; Stone 2002) dalam Lachlan (2015: 12). Angka sebagai tren pengukuran budaya saat ini merefleksikan bahwa indikator yang penting dalam kebijakan yang berbasis bukti. 

Kebijakan berbasis bukti tersebut dapat didefinisikan sebagai sebuah pendekatan dalam membuat keputusan yang tepat mengenai kebijakan. Seperti pendapat John Frow dalam Lachlan (2015: 16) yang menyatakan terdapat banyak domain nilai dalam bidang budaya, yakni ketika kelompok sosial yang berbeda menggunakan kriteria nilai yang mungkin tidak sejalan dengan realitas.

Artinya, apakah target pencapaian 6.000 desa wisata di tahun 2024 sudah sesuai dengan gagasan masyarakat itu sendiri? Sebagaimana masyarakat adalah kunci penting dalam desa wisata, sehingga tidak bersifat memaksa sementara masyarakat belum sepenuhnya mampu. 

Konflik Kepentingan

Pada dasarnya, desa wisata menimbulkan dualisme yang berbeda. Keberadaan desa wisata menunjukkan telah terjadi transisi pariwisata dari massal menjadi wisata alternatif. Tentu saja hal ini menjadi angin segar bagi desa agar dapat berdaya dan memberikan keuntungan karena menjadi salah satu pilihan dalam pengembangan pariwisata. Keuntungan desa wisata berasal dari produk wisata, seperti pengalaman wisata dengan suasana autentik, keragaman budaya, keunikan alam, hingga suvenir.

Di sisi lain, menjadi “desa wisata” tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penelitian lapangan penulis di Desa Hargotirto, Kulon Progo, Yogyakarta, menunjukkan dalam pembentukan desa wisata tidak terlepas dari konflik kepentingan.

Konflik kepentingan tersebut terjadi antara perintis dengan pihak pemerintah desa. Konflik kepentingan tersebut berdampak pada sulitnya dukungan dari pemerintah desa terhadap pembentukan hingga pengelolaan desa wisata Segajih. Salah satunya adalah pada saat Segajih mendapatkan hadiah kabel jaringan komunikasi dari pemerintah pusat, tetapi pemerintah desa tidak menyetujui hal tersebut karena dinilai mengganggu kepentingan pemerintah desa. 

Tourist Gaze dan Eksploitasi Ruang

Agar menjadi autentik dan memikat wisatawan, banyak desa akan berkompetisi dalam mengubah desanya. Hal tersebut dikenal sebagai tourist gaze. Istilah ini diperkenalkan oleh John Urry, seorang sosiolog dalam buku The Tourist Gaze, yakni praktik dan pengalaman wisata yang menekankan sikap konsumen dan kesenangan visual wisatawan.

Sederhananya, tourist gaze menekankan pada bagaimana sudut pandang wisatawan terhadap suatu objek yang berbeda dari kehidupan keseharian mereka. Akan tetapi, kritiknya jika dilakukan secara terus menerus, tourist gaze dapat berubah menjadi bumerang dan menjebak desa wisata ke dalam praktik-praktik eksploitasi ruang dan budaya. 

Target 6.000 desa wisata di tahun 2024 memungkinkan banyak desa akan mengubah desanya sesuai dengan pandangan wisatawan. Modifikasi tersebut dinilai memiliki dampak positif pada perekonomian. Hal ini sejalan dengan Vestheiem dalam Craik di bukunya Re-Visioning Arts And Cultural Policy: Current Impasses And Future Directions (2007) bahwa kebijakan budaya didasarkan pada argumen sosial dan ekonomi, yaitu budaya dianggap mempunyai dampak positif terhadap perekonomian, integrasi sosial, kesehatan, statistik kriminal, dan sebagainya.

Secercah Solusi

Kebijakan desa wisata di tengah-tengah tren pariwisata dewasa ini harapannya bukanlah sebuah tekanan terhadap suatu wilayah atau desa itu sendiri. Penulis berpendapat desa wisata ideal adalah desa wisata yang muncul berdasarkan gagasan atau aspirasi dari masyarakat. Desa wisata bukanlah sebatas pada transisi tren wisata, melainkan dapat menjamin transformasi kesejahteraan ekonomi, sosial, dan budaya warganya.

Salah satu caranya adalah dengan mengedepankan sudut pandang orang lokal atau local people gaze. Sebagaimana desa wisata tersebut dikelola dengan nilai dan identitas asli dari desa tersebut, sehingga tidak terjebak pada tourist gaze.

Selain itu, desa wisata bukanlah sebuah elemen yang berkisar pada sudut pandang wisatawan dan tuntutan industri pariwisata semata. Hal itu dimaksudkan agar setidaknya warga lokal tidak tersingkir di tengah kehancuran budaya lokal, atau mengalami manipulasi budaya yang mengarah pada pengaburan identitas.

Referensi:

Craik, J. (2007). Re-Visioning Arts And Cultural Policy: Current Impasses And Future Directions (p. 104). ANU Press.
Jadesta. (2024). Anugerah Desa Wisata Indonesia 2024. https://jadesta.kemenparekraf.go.id/adwi2024.
MacDowall, L., Badham, M., Blomkamp, E., & Dunphy, K. (Eds.). (2016). Making Culture Count: The Politics Of Cultural Measurement. Springer.
Mandra. (2024, 18 Februari). RRI: Menparekraf Target Bentuk Ribuan Desa Wisata. https://www.rri.co.id/bisnis/561716/menparekraf-target-bentuk-ribuan-desa-wisata.
Mubarokah, M. E., & Tashandra, N.. (2023, 13 Agustus)  Kemenparekraf Target Kembangkan 250 Desa Wisata hingga 2024. https://travel.kompas.com/read/2023/08/13/095147827/kemenparekraf-target-kembangkan-250-desa-wisata-hingga-2024.
Setiawan, M. F. (2024, 18 Februari). Menparekraf targetkan bentuk 6.000 desa wisata selama 2024. https://www.antaranews.com/berita/3970467/menparekraf-targetkan-bentuk-6000-desa-wisata-selama-2024


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Anindya Laksmi Larasati

Anindya Laksmi Larasati, biasa dipanggil dengan Laras. Mahasiswa magister Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Laras menaruh minat dan fokus pada kajian seni, pemberdayaan masyarakat, dan penelitian sosial-budaya. Memiliki pengalaman dalam publikasi mini, berbagai pertunjukan seni, dan manajemen proyek.

Anindya Laksmi Larasati, biasa dipanggil dengan Laras. Mahasiswa magister Antropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Laras menaruh minat dan fokus pada kajian seni, pemberdayaan masyarakat, dan penelitian sosial-budaya. Memiliki pengalaman dalam publikasi mini, berbagai pertunjukan seni, dan manajemen proyek.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Tren Latah Wisata Tiruan di Indonesia, Sampai Kapan Bertahan?