Selain yang disampaikan oleh Mbah Bejo, saya juga menemukan versi lain terkait silsilah leluhur Gus Dur. Dari buku Jejaring Ulama Diponegoro: Kolaborasi Santri dan Ksatria Membangun Islam Kebangsaan Awal Abad ke-19 (2019) karya Zainul Milal Bizawie, diketahui nama ayah Kiai Asy’ari adalah Kiai Abdul Wahid. Bukan Kiai Khoiron.
Zainul Milal Bizawie menyebutkan bahwa Kiai Abdul Wahid atau Pangeran Gareng mendirikan pesantren di Ngroto, Grobogan yang saat itu masih wilayah Demak. Putranya, Kiai Asy’ari lahir di Demak, Jawa Tengah, sekitar tahun 1830.
Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan, Kiai Abdul Wahid menjadi komandan pasukan Pangeran Diponegoro di bawah panglima senior Alibasyah Prawirodirdjo. Nasab Kiai Asy’ari merujuk hingga ke Pangeran Benowo bin Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Versi lainnya lagi, sebagaimana diungkap oleh Ainul Yaqin dan Muhammad Malik dalam artikel berjudul Menyelisik Identitas Buyut Gus Dur (2020), menyebutkan antara Kiai Asy’ari dan Kiai Abdul Wahid terdapat nama Abu Sarwan. Dengan begitu, Asy’ari adalah putra Abu Sarwan, bukan Abdul Wahid. Jadi, jika dirunut, bisa disebutkan Kiai Asy’ari bin Abu Sarwan bin Kiai Abdul Wahid. Maka timbul kemungkinan Abu Sarwan adalah nama lain dari Mbah Gareng.Â
Mengurai Silsilah yang masih Menyimpan Pertanyaan
Di sisi lain, ada penemuan makam buyut K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) lainnya lagi di Tingkir, Salatiga. Sekitar tahun 2000-an, makam tersebut ditemukan lalu disematkan oleh masyarakat sebagai makam Mbah Abdul Wahid. Akan tetapi, sejauh penelusuran, Abu Sarwan juga berasal dari Tingkir sebagaimana asal Mbah Gareng yang telah dijelaskan sebelumnya.
Hal ini semakin tepat kalau Mbah Gareng merupakan Pangeran Gareng seperti disebut Zainul Milal Bizawie. Ditambah lagi, masih di dalam bukunya, Zainul Milal Bizawie juga menyebutkan Pangeran Gareng atau Kiai Abdul Wahid pernah mendirikan pesantren di Ngroto. Dari ragam nama yang muncul dalam silsilah leluhur Gus Dur tersebut, saya menduga nama Khoiron, Abdul Wahid, Abu Sarwan, dan Mbah Gareng atau Pangeran Gareng, mengerucut pada satu sosok yang sama.
Kesimpangsiuran semacam ini, sebagaimana disebutkan Ainul Yaqin dan Muhammad Malik, boleh jadi disebabkan Abdul Wahid—yang dikenal sebagai Pangeran Gareng—pernah ditangkap oleh Belanda dan diasingkan. Lalu beliau melarikan diri dari kejaran Belanda dan menyamar dengan berganti-ganti nama. Untuk itu sulit mengetahui nama asli dan asal-usulnya.
Mempertanyakan Makam Leluhur Gus Dur di Salatiga
Lalu, siapa sebenarnya nama leluhur Gus Dur yang terdapat di makam Tingkir, Salatiga?
Juru kunci makam Mbah Abdul Wahid di Tingkir, Sadzali Marjan, dalam sebuah video wawancara dengan rombongan peziarah yang diunggah di YouTube oleh channel Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah pada 15 November 2021, menyebutkan Abdul Wahid adalah ayah dari Mbah Khoiron alias Mbah Gareng yang makamnya ada di Ngroto. Sadzali Marjan juga mengatakan Mbah Gareng juga dikenal dengan nama Abu Sarwan dan Khoiron.
Di kesempatan lain, Sadzali Marjan, seperti dikutip dari Tribun Muria (05/01/2023), menyebut makam Mbah Abdul Wahid yang ada di Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, merupakan salah satu keluarga Gus Dur. Mbah Abdul Wahid merupakan salah satu pasukan telik sandi pada Perang Jawa sekitar tahun 1825 dan ditempatkan di Salatiga.
Masih menurut Sadzali Marjan, Mbah Abdul Wahid bergabung dengan laskar yang dipimpin oleh Kiai Modjo. Mbah Wahid ditugaskan memata-matai pergerakan Belanda di Salatiga dan cukup lama ikut dalam perang melawan penjajah.
Mbah Wahid direkrut oleh Kiai Modjo, yang saat itu diberi tugas oleh Pangeran Diponegoro untuk merekrut kiai ngaji dan warga untuk laskar Pangeran Diponegoro. Adapun Mbah Abdul Wahid berasal dari Kabupaten Boyolali. Mengingat penugasannya sebagai mata-mata, keluarga Mbah Abdul Wahid tidak diajak ke Salatiga.
Namun, Sadzali Marjan mengaku warga sekitar mengenal Mbah Abdul Wahid sebagai Mbah Maksum. Nama Mbah Wahid sendiri, menurutnya, baru dikenal 20 tahun ke belakang berdasarkan catatan dari keluarga Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.
Namun, silsilah yang disampaikan oleh Sadzali Marjan bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh K. H. M. Ishom Hadziq, salah seorang cucu K. H. Hasyim Asy’ari. Menurut K. H. M. Ishom Hadziq, sebagaimana dikutip oleh Fathoni Ahmad dalam artikel berjudul Sosok Kiai Asy’ari, Ayahanda Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari di NU Online (17/02/2020), ayah Kiai Asy’ari bernama Abdul Wahid bin Abdul Halim. Abdul Wahid merupakan salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang menggunakan nama Pangeran Gareng di bawah Panglima Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
Dari situ, saya menduga makam yang ada di Tingkir adalah makam Abdul Halim—bila memang dinisbatkan dengan nasab Gus Dur. Bukan Abdul Wahid sebagaimana yang tersemat. Rujukan lain saya dapat dari ceramah K. H. Ahmad Muwafiq alias Gus Muwafiq, seorang ulama muda NU dari Yogyakarta yang juga dikenal sebagai seorang pengkaji sejarah Islam Nusantara.
Dalam sebuah kesempatan mengisi pengajian di sebuah desa di Boyolali, Gus Muwafiq sempat menyampaikan urutan silsilah keilmuan Mbah Gareng atau Mbah Khoiron. Menurut Gus Muwafiq, Mbah Asy’ari belajar ke Mbah Khoiron atau Mbah Gareng. Lalu Mbah Khoiron belajar ke Mbah Abdul Halim. Maka, dari sini tampak sangat berkesinambungan dan terdapat benang merah jika Asy’ari adalah putra Abdul Wahid, lalu Abdul Wahid merupakan putra Abdul Halim.
Dengan demikian, menjadi lebih jelas dan logis dengan urutan silsilah berikut: Abdul Halim menurunkan Khoiron alias Abdul Wahid alias Abu Sarwan alias Mbah Gareng alias Pangeran Gareng, lalu menurunkan Asy’ari, lalu menurunkan Hasyim, lalu menurunkan Wahid, lalu menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil (Gus Dur). Kendati demikian, silsilah ini hanyalah analisis ringan saya mengacu pada sejumlah sumber yang ada. Tentu butuh analisis dan penelusuran lebih mendalam dari para ahli, sehingga didapatkan silsilah yang lebih valid dan autentik. Wallahu a’lam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.