Travelog

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)

Siang hendak berganti sore saat kami meluncur ke Desa Ngroto, Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Start dari kediaman pemerhati sejarah lokal Grobogan, Heru Hardono alias Mbah Bejo di Kampung Bandarsari, Gubug. Kami berempat—saya, Mbah Bejo, serta dua orang tim saya (Wahyu dan Swiem) bertolak menuju ke pemakaman umum Desa Ngroto dengan mengendarai motor. Di pemakaman itu terdapat makam Kiai Khoiron, yang  disebut-sebut sebagai leluhur K. H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Ini adalah kali kedua saya mengunjungi makam Kiai Khoiron di Desa Ngroto. Ziarah pertama sekitar delapan tahun yang lalu, tepatnya 5 April 2015. Ketika itu kami dan rombongan berziarah sebagai bagian dari acara Susur Wisata ke-4 yang dihelat oleh Grobogan Corner (GC)—sebuah komunitas yang saya dirikan dan nahkodai saat itu.

Kini saya datang membawa misi khusus, yaitu lebih mendalami silsilah Kiai Khoiron sekaligus tapak tilas jejak leluhur Gus Dur tersebut. Kami ditemani Mbah Bejo sebagai narasumber karena, sejauh yang saya tahu, Mbah Bejo sejak awal peduli dan memiliki data terkait hal itu. Mbah Bejo bahkan pernah mengupas silsilah leluhur Gus Dur di Desa Ngroto dalam sebuah tulisan yang menjadi rujukan banyak penulis lainnya.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)
Berbincang dengan Mbah Bejo di langgar lawas peninggalan Kiai Baedlowi, lurah pertama Desa Ngroto/Badiatul Muchlisin Asti

Bermula sebagai Santri dari Tingkir, Salatiga

Saat memasuki Desa Ngroto, mendung menggelayut tipis di atas langit. Sebelum memasuki perkampungan Desa Ngroto, sejenak kami singgah di sebuah langgar (semacam surau atau musala kecil) jadul yang berada di pinggiran sawah. Saya sempat duduk di langgar tersebut dengan Mbah Bejo, sembari mendengarkan ceritanya tentang keberadaan langgar yang sepertinya sekarang sudah tidak berfungsi. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju ke pemakaman umum Desa Ngroto.

Sesampai di pemakaman, saya segera duduk—tepatnya jongkok—di depan makam Kiai Khoiron. Saya tidak bisa duduk karena selain tidak bawa alas atau tikar, tanah juga masih lembap karena sisa basah oleh hujan. Saya memanjatkan doa khusyuk untuk Kiai Khoiron. Semoga jasa dan perjuangan beliau semasa hidupnya dalam menyiarkan Islam di Desa Ngroto dan sekitarnya menjadi pemberat timbangan amal baiknya di sisi Allah Swt.

Setelah memanjatkan doa, saya terlibat perbincangan santai dengan Mbah Bejo terkait riwayat ringkas dan silsilah Kiai Khoiron. Menurut Mbah Bejo, kisah dimulai dari seorang anak muda bernama Khoiron yang berasal dari Tingkir, Salatiga. Ia datang ke pedukuhan Ngroto ketika itu dalam rangka menimba ilmu alias nyantri.

Ia diterima sebagai santri di pesantren yang ada di pedukuhan Ngroto, yang saat itu diasuh oleh Syekh Sirajudin. Khoiron diketahui sebagai seorang santri yang menonjol berkat ketekunannya mengaji. Ia juga dikenal sebagai santri paling pandai di antara santri yang lain.

Selepas menamatkan mengajinya, Khoiron dipercaya ikut membantu mengajar dan menyiarkan Islam di pedukuhan Ngroto. Khoiron pun mulai dikenal sebagai seorang kiai seiring banyak warga yang menimba ilmu kepadanya. Konon karena tubuhnya pendek dan kecil, yang dalam bahasa Jawa disebut gering, banyak warga yang kemudian memanggilnya dengan julukan “Kiai Gareng” atau “Mbah Gareng”. 

Sejak menjadi kiai dan ikut berdakwah di pedukuhan Ngroto, jadilah Kiai Khoiron alias Kiai Gareng menetap di Ngroto dan menikahi seorang gadis Ngroto. Dari pernikahannya itu lahirlah Asngari dan Asy’ari. Sejak kecil, kakak beradik itu dididik sendiri oleh Kiai Khoiron dalam hal pendalaman ilmu-ilmu agama. Kiai Khoiron berharap kelak kedua anaknya itu menjadi kiai atau ulama yang mumpuni.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)
Makam Kiai Khoiron di area pemakaman umum Desa Ngroto/Badiatul Muchlisin Asti

Asy’ari Menimba Ilmu ke Jawa Timur

Menurut Mbah Bejo, setelah belajar mengaji kepada ayahnya, salah seorang putra Kiai Khoiron yang bernama Asy’ari memilih meneruskan pendalaman ilmu agama ke luar daerah. Jawa Timur menjadi pilihan Asy’ari. Saat itu, Asy’ari merantau dan diketahui memperdalam ilmu agama di daerah Tuban dan kemudian menetap di Jombang. Dari Asy’ari inilah kemudian lahir seorang anak bernama Hasyim, yang kelak dikenal dengan nama Hadratussyaikh K. H. Hasyim Asy’ari dan merupakan tokoh pendiri organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU).

Silsilahnya berlanjut. K. H. Hasyim Asy’ari menurunkan Abdul Wahid alias K. H. Abdul Wahid Hasyim yang di kemudian hari menjadi tokoh besar NU dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama di era Presiden Sukarno. Selanjutnya K. H. Abdul Wahid Hasyim menurunkan Abdurrahman Ad-Dakhil, yang suatu saat orang mengenalnya dengan nama K. H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Sementara itu Asngari, putra Kiai Khoiron yang lain, memilih tetap tinggal di Ngroto. Asngari menurunkan anak bernama Baedlowi—yang nantinya menjadi lurah alias kepala desa pertama Ngroto. Baedlowi menurunkan Kiai Sukemi, yang kemudian menurunkan Kiai Zuhri alias Mbah Zuhri—terkenal sebagai seorang ulama kharismatik yang bermukim di Desa Kuwaron, Kecamatan Gubug.

Menurut Mbah Bejo, langgar yang sempat kami singgahi sesaat sebelum memasuki Desa Ngroto adalah karya dari Baedlowi. Saat menjabat sebagai kepala desa, Baedlowi tidak hanya memerhatikan nasib rakyat yang ia pimpin, tetapi juga sangat peduli dengan pengembangan syiar Islam. 

Kiai Baedlowi membangun sejumlah langgar di pinggir sawah untuk mempermudah warganya dalam beribadah. Mata pencaharian sebagian besar warganya adalah petani. Keberadaan langgar tersebut membuat para petani tidak harus pulang ke rumah untuk menunaikan salat di sela-sela bekerja. Sementara urusan makan bisa diantar oleh pihak keluarga.

Jumlah langgar yang dibangun Kiai Baedlowi waktu itu ada tujuh. Namun, sekarang masih tersisa tiga langgar dengan kondisi yang memprihatinkan. Menurut saya, meski tidak lagi fungsional, langgar itu sangat berarti karena mengandung nilai historis tinggi. Setidaknya sebagai monumen syiar islam Kiai Baidlowi sebagai lurah pertama Desa Ngroto.

Tapak Tilas Leluhur Gus Dur di Desa Ngroto (1)
Berfoto bersama Mbah Bejo di depan makam Kiai Khoiron/Badiatul Muchlisin Asti

Kiai Khoiron sendiri, menurut cerita Mbah Bejo, diriwayatkan mengabdikan hidupnya mengajar mengaji dan menyiarkan dakwah Islam di Ngroto hingga wafatnya. Semasa hidup, Gus Dur pernah berziarah ke makam leluhurnya itu. Dan pada akhir September 2019, putri Gus Dur, Yenni Wahid, juga sempat berziarah ke makam Kiai Khoiron. Ia berkunjung selepas menghadiri acara pengajian akbar di Alun-alun Kota Purwodadi yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang Muslimat NU Kabupaten Grobogan.

Sekitar sepuluh menit lebih sedikit saya berbincang santai dengan Mbah Bejo terkait riwayat dan silsilah Kiai Khoiron. Masih banyak hal yang ingin kami perbincangkan, tetapi hujan deras keburu turun. Kami harus segera cari naungan alias tempat ngiyup agar tidak basah. Setelah hujan agak reda, perbincangan kami lanjutkan sembari menyeruput kopi di warung yang tak jauh dari makam Desa Ngroto.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Badiatul Muchlisin Asti Penulis lepas di media cetak dan online, menulis 60+ buku multitema, pendiri Rumah Pustaka BMA, dan penikmat (sejarah) kuliner tradisional Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Hikayat Sate Ayam Madura