Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo

“Main ke Solo, kalau mau jajanan murah, banyak macam di Pasar Gede. Ke sana dahulu mumpung masih pagi!” begitu arahan seorang rekan setibanya saya di Kota Solo.

“Paham banget, kalau pengen kulineran,” pikir saya.

Perjalanan saya ke Solo sengaja untuk keplek ilat atau memanjakan lidah. Tujuan utama saya adalah kuliner olahan kambing alias tengkleng Solo. Bagi saya, olahan tengkleng merupakan kekayaan kuliner lokal yang tercipta berkat kreativitas wong cilik di kota ini.

Saking kreatifnya, sampai-sampai mereka mampu menciptakan olahan berbahan tulang dan jeroan kambing. Tentu sayang kalau dilewatkan begitu saja, karena main ke Solo cari olahan lokal apa pun ada. Murah dan enak. 

Hanya saja mereka berjualan tidak di tepi jalan protokol, tetapi di dalam kampung atau pusat keramaian, seperti Pasar Klewer. Tentu bukan karena persaingan bisnis yang mereka pikirkan, melainkan olahan mereka menjadi ciri khas penuh filosofi dan makna. Keplek ilat olahan tengkleng saya mulai selepas membeli biji kopi di Kopi Pojok Pasar Gede Solo.

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Bu Edi di Pasar Klewer Solo
Tampak depan warung Tengkleng Klewer Bu Edi di Pasar Klewer. Tampak foto Ediyem di sudut kanan atas spanduk/Ibnu Rustamadji

Kuliner Tersembunyi di Sudut Pasar Klewer

Mendengar kata “olahan tulang kambing” mungkin kurang lazim bagi sebagian orang. Namun, kalau diolah dengan bumbu dasar turun-temurun dan memiliki ciri khas tersendiri, akan luar biasa daya tarik dan rasanya.

Keplek ilat olahan tengkleng tujuan saya berada di pojok gapura Pasar Klewer. Sebelah tenggara Masjid Agung Keraton Surakarta. Satu area dengan parkiran mobil pedagang dan jamaah masjid.

Karena berada dekat dengan masjid agung dan Pasar Klewer, pelanggan warung Tengkleng Klewer Bu Edi didominasi keluarga dari luar kota. Mereka sekadar singgah dan beristirahat, maupun berbelanja batik di Pasar Klewer.

Setibanya saya di warung, rasa takjub bercampur bingung langsung menyergap. “Keren! Sudah penuh pelanggan, pasti mantap!”

Betapa tidak, warung mulai buka sekitar pukul 11 siang, tetapi sudah ada yang mengantre untuk makan di tempat. Mereka rela menunggu supaya mendapat tempat yang nyaman untuk menikmati sepincuk tengkleng. Banyak juga di antaranya yang makan di area parkir karena keterbatasan lincak untuk duduk.  

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo
Seporsi varian tengkleng komplet ala Ediyem dengan pincuk daun pisang/Ibnu Rustamadji

Memesan Paket Tengkleng Lengkap

Dewi keberuntungan memihak saya kali ini. Saya tidak perlu menunggu pelanggan lain untuk mendapat tempat duduk. Saya segera memesan sepincuk tengkleng dan segelas teh panas.

Jangan berharap mendapat tempat duduk yang luas. Kita harus mau berbagi dengan pelanggan lain. Sekitar lima menit kemudian, pesanan saya terhidang di atas pincukan yang terbuat dari daun pisang. Menambah kenikmatan tersendiri dalam setiap gigitan.

Setiap pelanggan yang datang langsung menghadap tiga panci besar berisi sajian olahan tulang dan jeroan kambing. Jadi, kita bisa memilih isian tengkleng sesuai selera. Termasuk jika menghendaki sate daging kambing tanpa tulangan dan jeroan. Begitu pun sebaliknya. 

Karena sengaja keplek ilat, saya memesan tengkleng lengkap dengan sate daging kambing sehingga lebih bervariasi dan komplet. Akan tetapi, kenikmatan dalam sepincuk tengkleng tidak berhenti di sini saja. Ngrikit atau menggigit daging yang menempel di tulang, lalu mengisap sedikit demi sedikit sumsum tulang, menggugah selera siapa pun yang menikmati tengkleng khas Bu Edi.

Tengah asyik menyantap sate kambing, tiba-tiba muncul Heri Priyatmoko, seorang kawan lama saya. Karena tidak membuat janji dahulu, kami sama-sama terkejut. “Wah, bro, tumben nengkleng!” sapanya.

“Iya, niat jajan tengkleng, je, Mas!” saya menyahut. Setelah bertegur sapa, kami akhirnya duduk di satu meja dan mulai berbagi cerita mengenai tengkleng Bu Edi yang melegenda ini.

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Bu Edi di Pasar Klewer Solo
Mbak Tri dan suami tengah menyiapkan pesanan pelanggan/Ibnu Rustamadji

Perjalanan Hidup Tengkleng Bu Edi

Heri, sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa Ediyem, nama lengkap sang penjual, pertama kali berjualan tengkleng di Solo sekitar tahun 1970. Ia berjualan dengan cara memikul keliling kampung. Setelah kira-kira 20 tahun berjualan keliling, Bu Edi mulai menetap di bawah gapura Pasar Klewer tahun 1990-an hingga wafat 2001. Warung Bu Edi menempati lokasi saat ini sekitar tahun 2015, di bawah pengelolaan Mbak Tri, sang anak yang meneruskan usaha Bu Edi.

Tiba-tiba saya teringat Bu Edi ketika berjualan di bawah gapura Pasar Klewer. Pelanggan saling duduk berimpitan di sebuah bangku panjang–biasa disebut dingklik–tepat di depan bu Edi.

“Sudah sejak pertama kali Bu Edi jualan tengkleng dengan pincukan daun pisang, makanya rasanya berbeda,” ungkap Heri. Hal ini dibenarkan Mbak Tri. Ia menjelaskan, meski dengan pincukan, diharapkan pelanggan datang lagi karena sensasi khasnya tersendiri. 

Sembari menikmati sumsum tulang, Heri mengungkapkan fakta di balik tengkleng yang tidak diketahui banyak orang. Menurut Heri, kehadiran olahan tengkleng tidak dapat dilepaskan dengan orang Arab Hadramaut di Solo. “Nah, kalau tengklengnya [adalah] bukti kreatifnya orang Solo di zaman Jepang,” kata Heri.

Akan tetapi, sejatinya orang Jawa sudah mengenal olahan kambing sejak era Mataram Kuno. Kala itu daging kambing merupakan santapan keluarga raja, sedangkan rakyatnya menyantap bagian tulang dan jeroan. Mereka mengolah kembali dengan bumbu tradisional, lalu terciptalah tengkleng sebagai wujud kreativitas wong Solo. Pantas apabila olahan sate daging kambing identik dengan santapan orang berpunya, karena mahal dan kualitas pilihan.

Mungkin bagi sebagian orang akan berpikir, kere sekali, makan kok balungan kambing. Namun, jangan salah. Jika diolah dengan benar rasanya tidak kalah maknyus. Maka nikmat Tuhan mana yang engkau dustakan?

Menikmati sumsum tulang atau tengkleng kambing dengan nyesepi, sejatinya memiliki makna yang cukup dalam. Bagaimanapun keadaan kita, jangan mudah menyerah dengan roda kehidudupan yang selalu berputar. Sesulit apa pun itu. Jangan mudah menyerah dan putus asa. Selama ada kemauan pasti ada jalan.

Selama mengobrol tentang olahan tengkleng, tidak ada lauk-pauk yang menemani. Hanya kerupuk yang menjadi pendamping keplek ilat kami. Inilah arti sepincuk tengkleng yang sejati. Di sisi kiri warung tengkleng Bu Edi tersedia lauk-pauk dan para pelanggan boleh membelinya. Namun, banyak pelanggan lebih memilih menikmati tengkleng tanpa lauk-pauk. Sederhana dan nyawiji, istilahnya bagi orang Jawa.

Tapak Tilas Kuliner Tengkleng Klewer Bu Edi di Kota Solo
Persediaan jeroan kambing sebagai tambahan lauk/Ibnu Rustamadji

Upaya Menjaga Warisan Kuliner

Puas berbagi cerita dengan Heri, saya menyadari satu hal mengenai tengkleng. Tidak hanya soal rasa, keunikan cerita, dan sajiannya. Lebih dari itu. Kita dituntut untuk mampu mengupayakan menjaga warisan kuliner jaman dahulu agar tidak punah tertelan zaman. Serta mampu mensyukuri nikmat pemberian Tuhan sebagai bagian dari kenikmatan hidup kita saat ini.

Makin siang, pelanggan makin berjubel. Puas menikmati sepincuk tengkleng, kami melanjutkan perjalanan tapak tilas warung tengkleng Bu Edi pertama di bawah gapura Pasar Klewer. Saat ini menjadi pos keamanan pasar.

“Nah, di sini mas setiap minggu kedua bulan Ramadan, aku sama ibu ke Klewer tujuannya cuma beli tengkleng Bu Edi untuk buka puasa!” kenang saya..

Heri membenarkan, setiap Ramadan warung Bu Edi selalu kewalahan menerima pelanggan. Sekitar tahun 2004, harga satu pincuk tengkleng lengkap adalah Rp15.000. Murah, sampai-sampai antreannya hingga keluar warung.

Bagi saya, lebih nikmat menyantap tengkleng di tempat dengan pincukan daun pisang yang menambah cita rasa. Kalau tidak percaya, silakan membandingkan makan tengkleng pincukan di warung kaki lima dengan restoran. 

Meski dengan bumbu tradisional, tentu akan terasa berbeda. Jika kalian singgah atau liburan di Solo, wajib untuk menikmati sepincuk tengkleng di kota ini. Terserah mau memilih warung mana pun, tetapi usahakan yang masih mempertahankan pincukan daun pisang sebagai wadahnya.

Sebelum kami berpisah, Heri tiba-tiba bercanda mengajak saya untuk keplek ilat tengkleng di tempat lain. Namun, kondisi saat itu tidak memungkinkan. “Kapan-kapan lagi, Mas. Kebanyakan tengkleng [bikin] tekanan darah tinggi naik, tidak bisa jajan lagi nanti,” canda saya. Puas keplek ilat dan tapak tilas tengkleng Bu Edi, akhirnya kami memutuskan berpisah arah karena urusan masing-masing. Semoga saja, tengkleng Bu Edi tetap eksis menjajakan pincukan tengkleng di tengah gempuran inovasi kuliner yang sangat pesat di era modern ini.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar