Suka Duka di Balik Panen Raya

by Arsiya Wenty

“Panen (raya) harus meriah, karena abis itu kita miskin lagi,” ujar seorang petani jagung di Blitar.

Panen raya sangat identik dengan ritual suka cita, terikat dengan sejarah dan budaya. Di Sulawesi Selatan, masyarakat Bugis menyambut mappadendang dengan ritual penumbukan gabah sebagai simbol agar beras “suci” dan “aman” dikonsumsi. Perayaan ini juga menjadi ungkapan rasa syukur atas hasil yang diperoleh. Di Jawa Barat, seren taun dirayakan oleh masyarakat Sunda, sebagai simbol kerja keras atas usaha sepanjang masa tanam dan pengharapan agar hasil yang baik terulang di masa-masa mendatang. Harapan yang sama juga dipanjatkan di Jawa Timur dalam perayaan methik. Di Flores, ada perayaan penti. Simbol-simbol seperti itu yang menjadikan panen raya sebagai fenomena sosial budaya yang ditunggu-tunggu dan dirayakan setiap tahun.

Sayangnya, konsep panen raya tidak sepenuhnya menguntungkan petani, terutama dari sudut pandang ekonomi.

Sebagai ilustrasi, panen raya menyebabkan persediaan komoditas pertanian menjadi terkumpul pada satu periode waktu, sedangkan permintaan terhadap komoditas tersebut cenderung konstan. Singkat cerita, ketika supply (penawaran) di pasar begitu masif, sedangkan demand (permintaan) tidak meningkat, harga akan cenderung terjun bebas ke titik yang sama sekali tidak menguntungkan. Itu sebabnya kita sering mendapat berita petani A atau B membuang hasil panennya karena harga pasar terlalu rendah untuk sekadar menutup modal kerja yang sudah dikeluarkan selama masa tanam.


“Kita mah udah gak pake panen raya lagi, bisa mati kita,” tutur seorang petani kentang di Garut.

Beberapa petani menyiasati dampak negatif panen raya dengan membentuk kelompok tani. Secara sukarela mereka membuat jadwal tanam dan panen untuk setiap anggota kelompoknya. Hal ini cukup membantu mereka dalam mengendalikan harga di pasar lokal. Tetapi tetap tidak bisa berkompetisi dengan harga saat panen raya. Sebagian besar petani tidak dapat berkutik jika berhadapan dengan budaya petik tahunan ini. Yang bisa dilakukan hanyalah memaksimalkan keuntungan di luar masa panen raya, berharap keuntungan tersebut bisa menutup kebutuhan modal di masa tanam setelah panen raya.

Petani memanen jagung saat panen raya di Desa Pilolalenga, Kecamatan Bongomeme, Provinsi Gorontalo, Kamis, 19 April 2012 via TEMPO/Dasril Roszandi

Di samping itu, sistem pergudangan acap kali menjadi solusi. Petani padi, misalnya, menggunakan sistem resi gudang secara berkelompok untuk dapat menunda penjualan hasil panennya sampai batas waktu tertentu. Sayangnya, tidak semua komoditas pertanian bisa menggunakan konsep resi gudang. Sistem ini berlaku dengan sejumlah syarat, antara lain: komoditas yang disimpan memiliki standar produk (bisa distandardisasi) dan komoditas tersebut tidak akan mengalami penurunan kualitas secara signifikan saat penyimpanan.

Teknologi pergudangan yang masih tradisional tidak bisa diimplementasikan untuk semua komoditas pertanian. Penyimpanan juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan punya risiko menurunkan kualitas simpanan, yang juga akan memengaruhi harga jual. Selain itu, kebanyakan petani tidak bisa menunggu; mereka membutuhkan dana segar untuk melanjutkan hidup dan meneruskan kegiatan tanam musim berikutnya. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan sejumlah oknum untuk meraup keuntungan, dengan memberikan pinjaman dengan bunga tinggi, mengepul komoditas dengan harga beli rendah, atau menerapkan sistem ijon.

Suka cita petani pun pindah haluan ke harapan kosong dan lilitan hutang.


“Yang penting masuk koran, foto sama Bupati XX, siapa tau dapat bantuan mesin,” curah seorang petani nanas di Subang.

Ternyata, konsep panen raya tidak hanya dimanfaatkan oleh oknum-oknum kelas teri. Sejak dulu, panen raya juga digunakan oleh sejumlah politisi untuk pamer kontribusi. Pejabat turun ke sawah sambil mengangkat padi menjadi simbol kesuksesan pemerintah dalam “mengangkat” nasib petani. Politisasi budaya ini ternyata tidak otomatis berakhir ketika penguasa orde turun tahta. Simbol budaya ini punya model estafetnya sendiri, tidak tergerus kemajuan zaman; budaya ini seolah terhenti pada suatu titik tanpa solusi. Atau dibuat seakan tidak butuh solusi. Petani dibuai oleh kesemuan ingar-ingar panen raya, dibuat bahagia dengan foto-foto di media massa, narasi-narasi politis yang tidak jelas juntrungannya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengoperasikan mesin pemotong padi atau “harvester” saat panen raya padi di Desa Masamba, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, Selasa, 13 Desember 2016 via TEMPO/Iqbal Lubis

“Kita banyak utang karena rugi besar pas impor dari India masuk, padahal kentang mereka jelek,” kata seorang petani kentang di Lembang.

Duka yang membuntuti panen raya tidak hanya gentayangan di level “bawah.” Hantu yang lebih menyeramkan dan berbahaya datang ketika pemerintah, dengan alasan memenuhi permintaan pasar, membuka keran impor saat panen raya, tanpa proteksi. Pada akhirya, petani tidak bisa berharap pada regulasi. Lagipula, siapa yang sanggup mengendalikan pasar? Kekuatannya sering membuat orang tamak dan tidak peduli siapa untung siapa rugi. Mungkin, panen raya sengaja diingarbingarkan untuk menghidupkan suka cita sesaat dan mengaburkan duka yang akan menyertainya.

Suka duka memang bersifat subjektif. Pada satu periode waktu yang sama, orang bisa memiliki motif dan makna yang berbeda. Tidak ada yang keliru dari seremonial budaya; petani juga butuh hiburan setelah lelah berhari-hari di sawah dan ladang. Namun, praktik budaya tidak selalu harus dilanjutkan sepenuhnya jika dirasa merugikan. Mungkin bukan dihentikan, tetapi disiasati, untuk memberikan opsi agar lebih banyak suka dan sedikit saja dukanya. Mungkin bisa.

Senang membaca, makan, dan jalan-jalan.

You may also like

Leave a Comment