Sebenarnya, sebelum viral, aku sudah dengar dan coba cakweh dan odading Pak Soleh alias Mang Oleh, karena anakku dan teman-temannya pernah beli bulan lalu. Tapi tetap saja aku penasaran melihat antrean di lapak kudapan yang mangkal di kawasan Jalan Baranangsiang, sekitar Pasar Kosambi, Kota Bandung, itu.
Minggu siang, aku minta supir bus turun tepat di depan Pasar Kosambi. Menjelang pukul 11.30 WIB waktu itu, kira-kira sepuluh menit menjelang azan Zuhur. Aku berjalan melewati tempat parkir. Mobil berjejeran di sana. Kulihat ada juga yang jualan cakweh dan odading di depan, tapi beda rezeki sepertinya dari Mang Oleh. Gedung Kesenian Rumentang Siang tampak sepi. Sejak beberapa bulan lalu tak ada kegiatan di sana.
Rasa penasaranku akhirnya terjawab. Banyak orang mengantre agar bisa beli cakweh dan odading bikinan Mang Oleh. Di lapak kecil itu, beberapa orang sibuk melayani pelanggan yang sudah dapat kupon antrean. Kupikir, seperti pengambilan beras gratis saja, atau seperti mengantre berobat di rumah sakit.
Zuhur pun tiba. Kulaksanakan salat wajib itu di masjid. Usai ibadah, entah kenapa aku kembali ke tempat itu. Kukira makin siang bakal makin sepi. Rupanya tidak. Bukannya berkurang, orang-orang makin banyak. Sepeda motor pun mesti benar-benar diatur parkirnya karena lahan begitu terbatas. Untuk dapat makanan yang dipesan, pembeli mesti menunggu antara satu sampai satu setengah jam! Kalau kupaksakan beli, tentulah aku akan harus lebih lama di lapak Mang Oleh.
Bukannya memesan, aku malah memerhatikan tangan-tangan terampil yang sedang membuat adonan. Mereka berpacu dengan waktu—apalagi saat itu awan hitam menggelayut di langit. Sesekali kudengar suara awak Mang Oleh memanggil nomor antrean. Orang yang dipanggil datang membawa kupon antrean berwarna kuning.
Aku senyum-senyum sendiri melihat itu. Untuk dapat cakweh dan odading yang diecer Rp1.500 per biji itu benar-benar butuh kesabaran. Tak sabar, kesempatan merasakan camilan yang sedang viral itu bisa melayang.
Aroma kedua makanan itu sekali-sekali tercium saat sedang digoreng dengan minyak kelapa. Pastilah aroma itu juga tercium oleh dua orang wanita yang sedang menghitung cakweh dan odading untuk dibawa pulang oleh pembeli itu, juga oleh para pengojek daring yang sedang ditunggu oleh “CS” mereka yang ogah mengantre.
Lapak yang viral gara-gara Ade Londok itu menarik pembeli dari berbagai latar belakang.
“Sengaja beli, Bang?” tanyaku pada seorang lelaki muda berkulit terang yang berdiri di dekatku.
“Tidak, sih. Kebetulan mau kirim kopi ke Gunung Puntang … penasaran juga, sih. Makanya datang juga beli cakweh dan odading ini,” jawabnya.
“Memang dari mana?”
“Dari Bogor,” katanya sambil masuk antrean.
Bapak dan anak yang berdiri di sana itu lain lagi. Mereka tinggal di sini, di Kota Bandung, dan ke sana setelah Mang Oleh viral di kanal YouTube. Tadinya sang bapak tak mau ke sini, tapi anaknya menangis. Jadilah ia membawa anaknya naik motor ke Mang Oleh.
Tanpa diduga, hujan turun begitu derasnya. Orang-orang mencari berbagai cara agar tak basah kehujanan. Aku melipir ke dekat penggorengan, biar sedikit hangat. Sementara jalan mulai banjir, awak Cakweh & Odading “Nusa Sari-Pak Soleh” terus saja bekerja, membuat cakweh dan odading serta melayani transaksi. Tapi, meskipun sudah dapat makanan, pembeli pun tampaknya belum bisa pulang karena hujan masih deras.
Setengah jam kemudian hujan reda. Hanya gerimis sekarang. Orang-orang pun kembali mengantre. Kembali aku tergoda untuk bergabung di banjar itu. Perutku lapar, tapi pasti masih lama sampai aku dapat cakweh dan odading. Kalau harus menunggu selama itu, bisa-bisa perutku tak bisa lagi diajak kompromi.
Akhirnya aku pergi saja dari sana walaupun tak membawa pulang cakweh dan odading yang lagi trending itu. Aku bergeser ke warung, memesan santapan, lalu makan sampai kenyang. Warung itu sepertinya belum nongol di YouTube atau media sosial, sih.
Suka jalan-jalan dan kumpul dengan teman-teman. Penulis artikel yang juga suka nulis ide cerita di sebuah televisi swasta.