Sudah lima bulan aku bolak-balik Jatinangor-Tasikmalaya, menapaki episode hidup Unpad Jatinangor. Aktivitasku berkutat di dunia akademik—menulis jurnal, merancang penelitian, rapat dengan mahasiswa, melakukan pengukuran-pengukuran dalam penelitian, dan sesekali berbicara di depan kelas. Intinya, aku sedang magang.
Bus Primajasa menjadi andalan. Seperti angkot, ia dapat dinaiki dan diberhentikan di mana saja. Fleksibel. Ia juga tidak menuntut komitmen untuk tetap bersama hingga tujuan akhir. Titik ternyaman bagiku untuk berhenti atau naik adalah di Dangdeur. Ia menjadi penghubung antara Jalan Raya Jatinangor dengan jalan utama trans Jawa Barat jalur selatan: Bandung-Garut-Tasikmalaya.
Sore itu aku menunggu bus seperti biasanya di Dangdeur, untuk pulang ke Tasikmalaya. Cukup ramai, ada sekitar sepuluh calon penumpang selain aku. Karena sore itu hujan, bersama para calon penumpang lain aku menunggu di emper sebuah toko, di samping kedai pangkas rambut yang (kebetulan) selalu kosong. Sudah biasa aku menunggu bus dengan mengemper begini. Aku nikmati lalu-lalang kesibukan manusia di daerah trans antarkota itu. Setelah sekitar sepuluh menit menunggu, bus Primajasa jurusan Tasikmalaya-Bekasi melintas pelan.
Aku berharap yang datang adalah bus Primajasa kelas bisnis AC karena lebih nyaman untuk dinaiki. Sayangnya tidak. Bus yang melintas adalah kelas ekonomi non-AC, dengan susunan jok 2-3 yang padat. Aku tidak punya pilihan karena hari sudah terlalu sore. Khawatirnya, jika lebih lama menunggu, aku akan sampai di Tasikmalaya tengah malam. Setelah yakin bahwa itu adalah busku, aku pun melangkah naik.
Ramai sekali di dalam. Jok hampir penuh. Namun aku tetap berusaha mencari jok yang kosong hingga aku mencapai seperempat bagian belakang bus. Untungnya aku menemukan bangku kosong di jok 3 (telah aku sebutkan bahwa bus ekonomi non-AC memiliki susunan jok 2-3) dan aku duduk seketika. Aku bersyukur dan menghela napas—ini adalah sebuah berkah. Bus mulai melaju perlahan.
Seketika itu, di jok depanku muncul kepulan asap putih sangat tebal. Aku cukup terkejut karena khawatir terjadi kerusakan pada mesin bus sehingga muncul asap. Namun, setelah aku menarik napas, aku menyadari bahwa itu adalah asap rokok. Oh iya, ini ‘kan bus ekonomi non-AC! Jujur, aku sempat lupa. Dalam pikiranku, yang membedakan bus ekonomi dengan bus AC hanyalah keberadaan AC dan suhu dalam bus. Namun, rupanya tingkah laku penumpangnya pun berbeda.
Kemudian pikiranku mengawang. Betapa sulitnya bagi orang-orang tersebut untuk menghargai orang lain yang tidak ingin menghisap asap rokok di dalam bus yang sumpek. Betapa sulitnya bagi mereka untuk berempati kepada wanita paruh baya yang menggendong anak, dan terpaksa menutupi hidungnya dan hidung anaknya karena enggan menghisap asap rokok. Aku tidak melarang orang untuk merokok. Aku bahkan tidak peduli. Tapi merokok di dalam bus yang sumpek karena ventilasi yang minim, kondisi jalan yang macet sehingga angin dari luar tidak mengalir, dan di depan seorang ibu yang menggendong bayi? Yang benar saja?!
Betapa sulitnya mengubah pola pikir manusia. Betapa sulitnya untuk menjadi dewasa. Betapa sulitnya membangun sensitivitas seseorang terhadap kondisi orang lain. Betapa sulitnya untuk menjadi tidak egois. (Kemudian, setelah aku mencoba menghitung sumber kepulan asap, ternyata terdapat sekitar 5-6 orang yang mengepulkan asap rokok secara simultan dalam satu rentang waktu. Ampun!)
Beberapa menit kemudian, kondektur bus Primajasa itu mendatangiku untuk menagih ongkos. Kuberikan uang pas Rp16.000 sembari mengeluh padanya bahwa udara sumpek karena perokok. Dia hanya tersenyum dan berlalu, kemudian mendatangi penumpang lain untuk menagih ongkos. Aku pun menyerah untuk memikirkannya lagi. Bodo amat!
Setelah selesai berurusan dengan kondektur, aku mencari earphone kemudian memasangnya ke ponselku. Kusetel album Greatest Hits II Queen secara acak, lalu kudengar lagu “It’s a Hard Life” dan vokal Freddie yang sayup namun selalu terasa spesial bagiku. Lalu aku mengeluarkan sebutir tablet Antimo dan menelannya bersama air putih. Setelah sekitar sepuluh menit menoleh ke luar jendela, aku terlelap tidur.
Pemandangan di luar jendela yang kuingat terakhir sebelum tidur adalah kondisi jalanan yang gelap dan terendam air hujan setinggi pembatas jalan, lalu lintas yang macet, dan pengendara motor yang menaikkan motornya ke pembatas jalan demi menghindari rendaman air. Ketika kembali membuka mata, aku sudah tiba di Jalan R.E. Martadinata, Tasikmalaya. Kemudian aku beranjak pulang menutup malam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.