Random banget seharian bosan di rumah, lihat berita tentang COVID-19 tak ada habisnya. Saya putuskan ikut keluar bersama 3 pasang teman yang sudah berumahtangga. Berusaha menjadi jomblo happy dengan mengendarai motor sendiri.
Setelah mengadakan diskusi ringan, dan menyelesaikan makan siang kami memutuskan untuk mengunjungi pantai. Sebuah pantai yang sudah lama menjadi pusat perhatian warga Sumatera, khususnya Kota Medan, namanya “Pantai Bali Lestari”. Letaknya juga tak jauh dari kota Medan. Kurang lebih 1 jam untuk sampai di lokasi, tepatnya di Serdang Bedagai.
Matahari bersahabat hari ini, saya yang mengendarai motor sendiri harus sabar menyaksikan genggaman erat para istri di belakang supirnya masing-masing, yang tak lain adalah suami mereka sendiri. Sedangkan saya, harus bergenggaman dengan setir motor. Tak apa, pikir saya. Kelak juga akan merasakan yang sama.
Setelah menempuh jalanan penuh debu dan angin yang kian masuk ke tubuh, kami pun sampai di Pantai Bali-nya Sumatera. Baru saja memarkirkan motor, lagu khas Jawa sudah berdendang di telinga. Padahal jarak parkiran dengan pintu masuk cukup jauh. Kami pun disambut dengan ramah oleh pelayan yang mengenakan bunga tepat di belakang telinganya, lengkap dengan pakaian khas Jawa.
Berdirinya pohon pinus dengan sejajar menambahkan suasana yang damai di tepi pantai. Tidak hanya itu, berbagai patung yang diukir menjadikan pantai ini benar-benar ingin mengenalkan budaya Bali. Di pintu masuk saja sudah berdiri kokoh beberapa patung besar beserta gapuranya. Bukan cuma patung Bali yang menjadi daya tarik, akan tetapi payung-payung yang bergantungan menjadi hal unik. Saya tidak mengerti filosofi payung warna-warni tersebut, yang saya tahu payung berfungsi untuk melindungi diri dari buruknya cuaca.
Perlahan saya mulai mendekati suara yang sedari tadi sudah memanggil ketenangan jiwa. Itu adalah deburan ombak. Meskipun air lautnya tidak sebening Bali, tapi angin laut tetap memberikan ketenangan yang sama. Alam sungguh magis, sebab mampu menyejukkan hanya dengan sekali tarikan napas.
Deburan ombak beradu keras dengan suara kapal-kapal kecil mencari penumpang yang ingin menyeberang. Tak banyak yang menaiki kendaraan laut tersebut, mungkin karena cuaca yang tak menentu akhir-akhir ini menjadi alasannya. Atau tidak ada pulau di seberang yang bisa dikunjungi. Meski begitu, beberapa remaja terlihat bermain banana boat dengan serunya. Sesekali teriakan dan tawa terdengar nyaring.
Saya urungkan niat untuk bermain air dan meninggalkan mereka Saya memilih berjalan mengitari tepi pantai, melihat senja mulai menunjukkan rupanya. Perlahan matahari mulai turun, pertanda malam akan segera turun. Semilir angin menyadarkan saya dalam lamunan, bahwa yang saya lihat adalah senja, bukan kenangan bersama mantan.
Ketika mengitari tepi pantai, saya melihat sebuah patung wanita yang sangat tak asing tokohnya dalam cerita Indonesia. Rambutnya diukir begitu panjang, dengan mengenakan pakaian duyung. Di satu sisi patung itu mirip dengan putri duyung, di sisi lain ia juga terlihat seperti Ratu Roro Kidul. Saya tak memahami apa maksud patung tersebut berdiri kokoh di tepi pantai. Untung saya tak mengenakan baju hijau, seperti yang dikisahkan. Konon katanya Ratu Laut tersebut akan membawa siapa saja ke dunianya yang memakai baju hijau jika di laut. Tak perlu untuk dipercaya, tapi tak salah juga jika tak ingin mengenakan warna baju yang dimaksud. Hidupkan pilihan, apa lagi soal keyakinan.
Setelah menikmati alam dan segala kemistisannya, saya dan tiga pasang suami istri mulai mengabadikan gambar dan beberapa video. Sudah dipastikan saya yang akan memotret mereka dan sudah jelas bahwa mereka juga yang mengambil gambar saya. Namanya juga manusia, harus saling membutuhkan. Mereka perlu gambar untuk mengenang kebersamaan di pantai, saya perlu juga untuk mengabadikannya di sosial media.
Angin sepoi-sepoi membuat daun pinus menari ke kanan dan kiri seirama. Menyejukkan mata melihatnya. Saya pun duduk tepat dikelilingi pohon-pohon tersebut. Ternyata perut mulai menggerutu, waktunya menyantap makanan sesuai dengan isi kantong masing-masing. Kalau di pantai enaknya makan seafood, akan tetapi cuan tak mencukupi. Saya hanya memesan semangkuk mie instan dan secangkir kopi. Perpaduan yang dapat mengenyangkan dan mengurangi rasa kantuk ketika berkendara akan pulang. Maklum, saya masih mahasiswa. Bisa liburan di pantai saja sudah bahagia, apa lagi adanya kopi dan semangkuk mie, inilah definisi jomblo happy.
Langit semakin gelap, matahari tak lagi terlihat. Waktunya untuk pulang. Saya lupa, kalau semakin sedikit cahaya, semakin sulit untuk melihat. Silindris ini menjadi tantangan bagi saya agar bisa menaklukan rasa takut. Bila saat perjalanan menuju Pantai Bali Lestari memakan waktu 1 jam. Untuk pulang ke rumah saya harus sabar menempuh waktu kurang lebih 2 jam.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Anggi Kurnia tinggal di tanah kelahiran Batak. Saat ini selain sibuk memasak, Anggi menyukai petualangan dan dunia travelling serta menulis.
Sangat memotivasi agar destinasi wisata lokal menjadi tujuan utama para wisatawan