Hutan mangrove itu riuh. Saya bisa mendengar bunyi berbagai jenis burung. Kuntul, raja udang biru, cekakak, dan entah apa lagi. Di antara itu semua, saya mencoba menangkap sebuah suara. “Coba kamu dengar itu” kata Ipung. Saya memejamkan mata, mencoba menajamkan indera pendengaran. Terdengar bunyi “klak” kecil—saya tak tahu lagi harus menyebutnya apa. Ipung melihat saya. “Dengar, kan? Itu suara kerang,” katanya.
Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali saya mencari kerang. Biasanya, saya menunggu waktu-waktu tertentu di mana orang kampung berbondong-bondong ke pantai untuk mengumpulkan kerang. Oleh karena itu, saat Bibi mengajak saya ikut mencari kerang, saya bertanya, memangnya sekarang musim kerang?
Kami berangkat sore hari. Usai azan Asar berkumandang, kami menenteng ember dan kursi kecil. Dengan topi di kepala, saya siap beraksi.
Hanya lima menit mengayuh sepeda, saya tiba di tepi pantai. Angin berembus. Burung-burung terbang di atas mangrove. Saya mengamati mereka. Ada dara laut, cekakak suci, cangak merah, dan… ah, tidak, ini bukan saatnya birdwatching. Tak lama, Bibi, Elly, Ipung, dan Syifa menyusul. Air surut, kami turun ke laut.
“Di mana tempatnya?” tanya saya.
“Di situ, di mangrove,” jawab Elly.
“Bukannya biasanya di pasir, ya?”
“Enggak, kita cari di situ saja.”
Berburu Kerang
Kami melangkah ke hutan mangrove. Tanpa alas kaki, saya harus waspada memilih pijakan. Salah sedikit, tiram atau cangkang siput bisa melukai telapak kaki. Biasanya, orang-orang menggunakan kaus kaki atau sepatu. Namun, saya lebih suka bertelanjang kaki dan merasakan lumpur menyentuh kulit. Benar saja, tak butuh waktu lama saya merasakan goresan-goresan kecil di tapak kaki. Lama-lama perih juga.
Lumpur menelan setiap langkah. Benar-benar lambat, tetapi kami tiba juga. Pohon api-api menyambut. Akar-akarnya mencuat ke permukaan. Jika lazimnya akar tunduk pada gravitasi, tumbuhan dari genus Avicennia ini memiliki akar napas yang malah tumbuh ke atas. Geotropisme negatif, kata buku biologi. Bagus, setelah menghindari tiram, sekarang saya harus berhati-hati agar kaki saya tak tertancap akar-akar itu.
“Ini serius mau cari kerang di sini?” saya setengah protes.
“Iya, kemarin aku juga ke sini dan dapat satu ember,” jawab Elly.
“Ini tempat rahasia. Coba lihat, sepi, kan?” Ipung menimpali.
Ya, tempat itu sepi karena hanya orang bodoh yang mau menyiksa kakinya dengan masuk ke situ.
Ipung langsung mencari tempat. Ia mengenakan sarung tangan, membenamkan tangannya ke lumpur sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia tersenyum. Anak muda itu mengeluarkan tangannya dari lumpur dan memperlihatkan tangkapannya.
“Ini kerang minnyan, dagingnya besar,” katanya.
Saya berjongkok dan turut mencari. Benar, saya di sini untuk mencari kerang, bukan bikin konten. Saya meraba-raba lumpur dan merasakan sesuatu lalu mengangkatnya. Kerang pertama saya hari ini. Saya menunjukkannya pada Ipung.
“Itu kerang parot, dagingnya kecil, tetapi enak juga,” ia menanggapi.
Saya tak tahu jenis-jenis kerang. Usai mengamatinya sejenak, saya masukkan kerang itu ke ember.
“Jadi, kalian memang sering cari kerang ke sini?” tanya saya.
“Enggak, ya, sesekali saja, buat hiburan. Hasilnya juga buat dimakan sendiri, bukan dijual,” jawab Ipung santai sambil melemparkan kerang ke ember.
Dia memberi tahu saya bahwa kerang mengeluarkan bunyi. Saya tak tahu kalau binatang itu bisa melakukannya. Apakah itu suara ketika mereka makan atau masuk ke dalam lumpur, entahlah. Namun, tetap saja itu menarik.
Ipung kemudian menunjukkan tempat-tempat yang berpotensi dihuni kerang. Jarinya menunjuk permukaan dengan serpihan cangkang kerang mati. “Biasanya di situ banyak kerang sembunyi. Pintar mereka itu, biar dikira enggak ada kerang di bawahnya,” jelasnya.
Ah, yang benar saja. Saya skeptis. Sepertinya itu logika dia saja. Meski begitu, ia terus memungut kerang demi kerang, sementara saya menjamah tanpa hasil.
Kami berpindah dari satu tempat ke tempat lain di sekitar pohon api-api. Karena tak membawa kursi kecil, saya harus berjongkok. Lutut saya pegal. Ipung sudah menanggalkan sarung tangannya. Tampaknya ia tak nyaman jika kulitnya tak merasakan target secara langsung. Jika kaki saya sudah lecet-lecet, kini giliran tangan saya yang tergores tiram atau benda tajam lainnya di dalam lumpur. Namun, saya mulai terbiasa dengan cara ini. Barangkali, beginilah yang dilakukan para leluhur dulu. Menghabiskan waktu di pantai sambil memungut kerang dan binatang laut lainnya untuk camilan jelas bukan ide buruk.
Kerang, Mangrove, dan Lautan
Kerang merupakan makanan lezat. Kecuali para pengidap alergi seafood, semua orang sepakat soal itu. Manusia rupanya telah menyukai rasa daging kerang sejak ribuan tahun lalu. Tentu saja, mengumpulkan kerang tak seperti mengejar hewan buruan besar yang butuh banyak energi. Jika hidup sebagai seorang pemburu pengumpul, saya lebih memilih menghabiskan berjam-jam di pantai mengumpulkan kerang daripada berburu mamut. James Suzman, dalam bukunya yang berjudul Work, menulis bahwa komunitas manusia awal yang tinggal di pesisir biasa mengumpulkan kerang untuk dimakan.
Tak terasa sudah satu jam kami berjibaku dengan lumpur. Ember saya sudah setengah penuh—terdengar sangat optimistis. Sesekali saya berdiri untuk menghibur kaki yang lama tertekuk. Elly dan Bibi sibuk mencari tempat yang pas. Sepertinya, mereka tak mendapat banyak tangkapan. Syifa, entah di mana anak itu. Ia sudah biasa masuk ke dalam rimbunnya mangrove bersama Ipung, kakaknya, untuk mengumpulkan berbagai jenis kerang.
“Memangnya mencari kerang bisa setiap waktu?” tanya saya.
“Kalau kerang tertentu, seperti lorjhu’, memang ada musimnya. Tapi, kalau kerang macam ini nggak usah nunggu waktu. Langsung saja,” jelas Ipung.
“Kok nggak ada orang selain kita, ya?”
“Orang-orang pada enggak tahu kalau di sini banyak kerang.”
Ipung menunjuk sesuatu di lumpur.
“Lihat itu. Dia ada di permukaan.”
“Oh, ya? Mana?”
Saya menajamkan pandangan. Itu bukan gundukan lumpur. Seekor kerang menyembul ke permukaan. Cuma sedikit, mata orang akan melewatkannya dengan mudah. Saya mencongkelnya dari lumpur. Seekor kerang parot. Barangkali ia sedang mengisap makanan atau bernapas dan harus muncul ke permukaan.
Kerang merupakan filter feeder, ia menyaring dan memakan plankton di perairan. Oleh karena itu, mereka berperan sebagai pembersih lautan, seperti ginjal di tubuh manusia. Dengan memakan ganggang mikroskopik, kerang mencegah blooming algae dan memelihara air tetap jernih. Selain itu, binatang bercangkang itu juga penting dalam siklus biogeokimia lingkungan akuatik. Lebih-lebih di daerah pesisir Madura yang memiliki banyak tambak udang.
Aktivitas budidaya udang menghasilkan limbah nitrogen. Sisa-sisa pakan mencemari lingkungan, membuat air berbau busuk dan berbuih. Keberadaan kerang di hutan mangrove bisa menjadi penyelamat ekosistem berkat perannya dalam daur nitrogen.
Namun, gaya hidup semacam itu bukan tanpa konsekuensi. Kerang akan mudah mengakumulasi polutan di suatu perairan. Itulah sebabnya banyak kerang di daerah-daerah tertentu tak layak dikonsumsi karena terpapar logam berat, seperti yang terjadi pada kerang hijau di Teluk Jakarta. Beruntung Madura bukan kawasan Industri yang punya banyak pabrik penghasil limbah beracun. Jadi, tampaknya, para kerang bisa menghirup air segar di sini. Namun, bukan berarti tak ada ancaman bagi kerang dan ekosistemnya.
Dilansir dari situs Mongabay, hutan mangrove Madura banyak dibabat untuk dijadikan tambak udang. Di daerah-daerah tertentu juga banyak reklamasi yang mencaplok lahan mangrove. Orang-orang membangun rumah di tepi laut, menimbun lahan tak bertuan dengan batu dan tanah terlebih dahulu. Jalan-jalanlah ke Sampang dan kamu akan melihat bagaimana orang membuat petak-petak di tepi laut.
Hilangnya ekosistem mangrove bukan hanya ancaman bagi biota air, tetapi juga ekosistem pantai. Daratan akan lebih rentan terkena abrasi. Saat naik bus beberapa waktu lalu, saya ngeri ketika bus melintasi jalan raya di pinggir laut. Saat itu air pasang dan hempasan ombak hampir mencapai jalan raya. Barangkali, suatu saat, Madura—dan kawasan pesisir di tempat lain—akan tenggelam. Dan, siapa sangka, meningkatnya suhu bumi juga mengancam eksistensi kerang dan kerabatnya.
Mendidihnya suhu bumi disebabkan polusi CO2. Elizabeth Kolbert dalam bukunya, Kepunahan Keenam, menjelaskan bahwa tingginya kadar CO2 di laut—benar, CO2 tak hanya terakumulasi di udara—menyebabkan pengasaman samudra. Menurunnya pH air laut mempersulit klasifikasi moluska. Akibatnya, bivalvia dan hewan lunak lainnya kesulitan membuat cangkang.
Pulang
Langit kian lembayung. Tak terasa, kami sudah dua jam di antara pepohonan api-api. Air makin surut, menyisakan gundukan-gundukan pasir yang menyembul ke permukaan. Ember saya hampir penuh. Sepertinya cukup untuk lauk esok hari.
“Sudah mau Magrib. Ayo, pulang!” seru Bibi di kejauhan.
“Apaan, masih jam segini. Tunggu sampai azan,” balas Syifa.
“Enggak asyik ngajak orang tua,” timpal Ipung.
Di bawah langit senja, kami berkelakar. Tangkapan kami cukup banyak. Kerang yang terkumpul tinggal dibersihkan lalu dimasak. Jika tak dibersihkan dengan benar, mulutmu akan penuh pasir saat memakannya.
“Ayolah, kita pulang saja,” kata Elly sambil menengok hasil tangkapannya. Rupanya setengah ember sudah cukup baginya.
“Oke, kalian bagaimana?” tanya saya pada Ipung dan Syifa.
“Kalian duluan saja, kami masih betah, nih,” jawab Ipung.
Kakak beradik itu memang tinggal tak jauh dari laut. Jadi, saya pikir tak perlu dikhawatirkan. Mereka kenal pantai itu seperti telapak tangannya sendiri. Kami menyibak rimbunnya api-api. Air surut meringankan langkah kami. Di ufuk barat, matahari tenggelam di cakrawala, meninggalkan berkas-berkas cahaya. Ia tengah pulang, begitu pula kami.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.