“Kam tra tau corona ka? Ada corona malah datang ke pulau. Mau bikin apa?” tanya seorang mama yang sedang membantu suaminya membersihkan kapal di pantai kepada rombongan Ekspedisi Raja Ampat yang berjalan di dermaga kayu Pulau Arborek, kampung wisata di Raja Ampat yang menjadi salah satu tujuan para penyelam.
Dengan kikuk, kami pun bergegas ke balai desa yang berada tepat di depan Gereja Eben Haezer. Kalau saya perhatikan, sepanjang perjalanan dari dermaga menuju balai desa, tak ada papan informasi COVID-19.
Sesampainya di Balai Desa Arborek, kami disambut oleh beberapa orang. Mereka mempersilahkan untuk melaksanakan dua agenda yang telah direncanakan, yakni sosialisasi COVID-19 kepada pemilik/pengelola homestay, pemeriksaan kesehatan, dan pemberian dinding daun nipah kepada anggota asosiasi homestay.
Sebelum pandemi, Kampung Wisata Arborek cukup ramai oleh wisatawan, baik mereka yang hanya singgah ataupun menginap di penginapan-penginapan di pulau. Dulu,wisatawan asing yang lalu-lalang di jalan-jalan kecil Arborek adalah pemandangan lazim.
Ketika kami berada di Arborek, kampung itu terlihat sepi. Tak banyak aktivitas di sana. Alhasil, tak banyak pula yang datang ketika kegiatan pemeriksaan kesehatan dilakukan. Menurut Dokter Nanda, pasien yang diperiksa tidak sampai 20 orang. Padahal, di desa-desa sebelumnya jumlah pasien bisa mencapai 30 orang sampai-sampai kami mesti membatasi kuota. Namun, meskipun kegiatan pemeriksaan itu sepi, masyarakat tetap saja tertib melaksanakan protokol kesehatan. Mereka benar-benar menjaga jarak.
Ketika melakukan penyuluhan COVID-19 kepada pemilik/pengelola homestay yang tergabung dalam Perjampat (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli raja Ampat), kami juga mendapati bahwa warga sudah cukup sadar mengenai pandemi COVID-19. Mereka bahkan tak segan-segan menolak kunjungan wisatawan, meskipun dulu pernah keluar anjuran dari pemerintah daerah untuk membuka kembali pariwisata Raja Ampat.
Rasa-rasanya tidak berlebihan untuk menyebut bahwa Arborek sudah sadar tentang COVID-19. Sebelum tim ekspedisi datang untuk sosialisasi COVID-19, mereka sudah menjalankan protokol kesehatan secara mandiri.
Kembali bercocok tanam
Menurut Naftali Mambrako, pemilik homestay Mawar, COVID-19 mengubah kondisi Arborek. Sebelum ini, hampir semua kegiatan yang mereka lakukan tak terpisahkan dari wisata. Bahkan, ketersediaan bahan makanan di kampung juga tergantung pada arus keluar-masuk wisatawan ke pulau. Jika hendak menjemput tamu, misalnya, mereka biasanya menyempatkan untuk membeli kebutuhan beras dan sayur di Sorong atau Waisai. Sejak bulan Februari, pariwisata tak lagi bisa menjadi sumber pendapatan utama. Homestay Mawar yang dahulu menjadi sumber pendapatan utama Naftali kini sepi.
“Kalau sudah begini, kami kembali lagi ke aktivitas sebelumnya, melaut dan berkebun,” ujar Naftali sambil menghela napas.
Mereka berkebun di pulau seberang. Di sana, mereka menanam kasbi, betatas, dan sayuran. Karena jarak tempuh dari Arborek ke pulau seberang cukup jauh—perlu 20 liter bensin untuk perjalanan pulang-pergi—mereka membuat rumah-rumah sementara untuk ditinggali di sana dalam proses bercocok tanam.
“Pulau Arborek kecil dan berpasir, susah untuk menanam,” ungkap Naftali.
Mama Regina Sauyai, salah seorang warga senior Arborek, merasa ia tak terlalu merasakan dampak COVID-19, khususnya terkait terhambatnya proses distribusi makanan.
“Su biasa makan kasbi. Kasih ikan saja cukup,” ujarnya. Ia justru merasa kasihan pada anak-anak muda di pulau. Terbiasa menyantap beras dan makanan instan, mereka tentu perlu uang untuk mengisi perut.
Kenyataan bahwa masyarakat Arborek kembali berkebun dan melaut seperti sekarang, bagi Mama Regina, adalah bukti bahwa sebenarnya warga Arborek bisa hidup mandiri. Selama ini, kehidupan masyarakat Arborek seolah terlalu bergantung pada Sorong dan Waisai.
Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.